Gila Berjamaah Lima Tahun Sekali

Ilustrasi/kawanhukum.id
Di abad pertengahan, ada wabah sangat aneh, yang belakangan terkenal dengan sebutan “wabah menari”. Ratusan orang tiba-tiba menari tanpa henti, tanpa kendali, hingga berhari-hari, sampai akhirnya mereka mati karena stroke, serangan jantung, atau kelelahan akibat menari. Wabah yang mungkin terdengar tak masuk akal itu terjadi di Jerman, Belanda, sampai Prancis. 

Catatan sejarah yang dianggap paling valid terkait fenomena gila itu terjadi pada tahun 1518, tepatnya pada pertengahan Juli. Di sebuah jalanan sempit Kota Strassbourg, Prancis, seorang wanita bernama Frau Troffea tiba-tiba menari dengan liar, hingga empat sampai enam hari lamanya. Di ujung minggu, 30-an orang mulai mengikuti yang dilakukan Frau Troffea, menari-nari tanpa henti, dan satu bulan kemudian ratusan orang telah ikut menari.

Lompat ke tahun 1962, ada wabah lain yang sama-sama aneh, kali ini terjadi di Tanganyika, sebuah daerah di Afrika Timur, yang kelak bergabung dengan Zanzibar, dan menjadi Republik Tanzania.

Wabah yang terjadi di Tanganyika bukan wabah menari, tapi wabah tertawa. Wabah yang sangat aneh itu dimulai pada 30 Januari 1962, ketika tiga pelajar putri yang sedang belajar di ruang kelas di Desa Kashasha mulai tertawa, hingga mengeluarkan air mata. Mereka tidak bisa menghentikan tawa, dan tindakan yang waktu itu dilakukan adalah mengisolasi tiga pelajar putri tersebut.

Tetapi, tindakan itu rupanya tidak membawa hasil, karena tiga pelajar putri tadi masih terus tertawa-tawa di ruang isolasi, dan wabah aneh itu—entah bagaimana—ternyata telah menulari para pelajar lain. Seminggu kemudian, ratusan pelajar di sekolah yang sama mengalami hal aneh serupa; mereka tertawa-tawa tanpa henti. 

Sekolah tempat kejadian itu pun ditutup pada 18 Maret 1962, dan wabah tawa itu lalu menular ke orang-orang di luar sekolah, khususnya pada orang-orang terdekat para pelajar yang terjangkit “virus tawa” tersebut. Akibatnya, ratusan orang mengalami fenomena yang sama, tertawa-tawa tanpa henti, atau tak mampu menghentikan tawa mereka. Belakangan, fenomena itu dikenal sebagai “wabah tawa Tanganyika”.

Memasuki era internet, ada wabah lain yang sama aneh, dan kali ini terjadi di Indonesia. Lima tahun sekali, menjelang Pemilu, ada banyak orang Indonesia yang—entah bagaimana—mengalami kegilaan massal atau gila berjamaah. Tanda-tanda yang biasa muncul dari para pengidapnya adalah kehilangan logika, kesulitan berpikir waras, dan mudah ngamuk pada orang yang dianggap berbeda. Kita bisa lebih jelas menyaksikan kegilaan-kegilaan itu di media sosial internet, secara langsung atau melalui berita-berita yang meliputnya.

Ada suatu masa, ketika kegilaan berjamaah itu terjadi, sebagian orang sampai mengancam orang lain dengan ancaman mengerikan, “Kalau pilihan kalian berbeda dengan pilihan kami, kelak jenazah kalian tidak akan kami shalatkan.”

Bagaimana hal mengerikan semacam itu bisa terjadi? Jawabannya, berdasar konteks peristiwa, karena akal waras telah menghilang, provokasi menyulut kebencian, dan kegilaan massal telah menjangkiti banyak orang. Mereka yang terkena virus “gila berjamaah” itu sudah tidak bisa lagi menggunakan akal sehatnya, sehingga siapa pun yang dianggap berbeda dengan mereka beralamat di neraka. 

Sayangnya, hal mengerikan semacam itu belakangan tidak hilang begitu saja dari negeri ini. Virus-virus kegilaan yang dulu pernah menjangkiti banyak orang rupanya hanya mengalami dormansi, lalu muncul kembali tiap lima tahun sekali, menulari orang-orang lain, dan... seperti yang kemudian kita saksikan, Indonesia mengalami wabah “gila berjamaah” tiap menjelang Pemilu. 

Ini mengerikan, karena Pemilu yang mestinya menjadi pesta demokrasi berubah jadi kegilaan demokrasi, ketika kebersamaan tercerai berai, kerukunan berubah saling curiga, persatuan terkoyak-koyak oleh perbedaan dan saling benci. Tidak ada lagi akal sehat, tidak ada logika waras, dan orang-orang hanya ingin menyerang, menghabisi, mengalahkan, dengan penuh kebencian dan caci-maki.

Catatan ini bisa sangat panjang sekali jika saya harus menuliskan kasus per kasus dari kegilaan-kegilaan yang pernah terjadi, yang melanda Indonesia tiap lima tahun sekali. Karenanya, mari gunakan contoh-contoh terbaru, yang masih segar dalam ingatan, sebagai bahan introspeksi bersama.

Ketika saya menulis catatan ini, di Twitter sedang ramai cuitan dari seseorang yang menggunakan nama Dokter Tifa. Merujuk timestamp di Twitter—13 September 2023, pukul 3.26 PM—Dokter Tifa menulis, “10 tahun rakyat dibuat tolol karena setiap hari lihat orang tolol. Kalau orang ini menang maka abis tolol jadi gila semua.” [Teks sesuai aslinya.]

Cuitan itu dilengkapi foto yang memperlihatkan Ganjar Pranowo sedang berjongkok membersihkan tempat wudhu di sebuah tempat. Karenanya, sebutan “orang ini” pada cuitan tadi merujuk pada Ganjar Pranowo. Dan Dokter Tifa mengatakan, “Kalau orang ini menang maka abis tolol jadi gila semua.” Apa maksud Dokter Tifa menulis cuitan yang seoleh mendiskreditkan Ganjar Pranowo semacam itu?

Mari kita lihat faktanya, dan apa sebenarnya yang dilakukan Ganjar dalam foto yang di-framing oleh Dokter Tifa dalam cuitannya. 

Pada 19 Februari 2022, Ganjar Pranowo, yang waktu itu menjabat Gubernur Jawa Tengah, berkunjung ke Pondok Pesantren Sukawarah Roudlotus Sholichin Sholichat di Desa Kalijaran, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga. Pondok pesantren itu didirikan oleh KH Hisyam Abdul Karim, yang merupakan kakek mertua Ganjar. Dan tujuan Ganjar datang ke sana dalam rangka bertakziyah atas meninggalnya seorang kerabat.

Karena kedekatan Ganjar dengan keluarga mertuanya, pondok pesantren itu pun jadi rumah kedua bagi Ganjar. Karenanya, di sana, dia tidak sungkan melakukan hal-hal keseharian seperti membersihkan lumut yang kebetulan tumbuh di tempat wudhu para santri. Ketika itu, Ganjar mengundang santri di sana, dan menunjukkan cara membersihkan tempat wudhu dan menyikat lumut, agar tempat wudhu selalu bersih. 

Itu hal biasa, sebenarnya. Dan peristiwa itulah yang terekam dalam foto, yang kemudian disebarkan oleh Dokter Tifa di Twitter.

Gilanya, Dokter Tifa mem-framing foto yang sebenarnya baik itu jadi seperti hal jahat dan tercela. Padahal peristiwa itu terjadi 1,5 tahun yang lalu, sebelum Ganjar dicalonkan jadi presiden, dan, jika ditelusuri, foto itu sebenarnya justru merekam hal terpuji yang dilakukan Ganjar Pranowo. Inilah yang saya maksud “gila berjamaah lima tahun sekali”—orang-orang waras berubah gila hanya karena Pemilu, sampai melakukan hal-hal buruk, jahat, dan kehilangan akal sehat.

Di bio Twitter-nya, Dokter Tifa menyebut dirinya, “Medical Doctor, Scientist, Activist. Master & Doctorate Program at Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran.” Bagaimana bisa orang berpendidikan tinggi seperti itu sampai kehilangan akal sehatnya?

Berbeda pilihan bahkan sampai debat dalam demokrasi itu biasa, saling unjuk program demi menjaring pemilih dalam pemilu juga biasa. Tapi mem-framing seseorang seolah melakukan kejahatan padahal ia justru sedang melakukan kebaikan adalah tindakan jahat dan sangat tercela.

Selain kegilaan yang ditunjukkan Dokter Tifa lewat cuitan tadi, ada pula orang-orang yang tak mampu menggunakan akal sehat ketika berhadapan dengan sesuatu yang sebenarnya biasa. Kali ini adalah reaksi berlebihan yang ditunjukkan sebagian orang pada pertanyaan sederhana Islah Bahrawi.

Ceritanya, seperti yang juga kalian tahu, ada baliho yang memasang foto Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka (anak Presiden Jokowi, yang menjabat Walikota Surakarta). Pada baliho terdapat tulisan, “MAJU BERSAMA LINTAS GENERASI”. Foto baliho itu diposting seseorang di Twitter, dan Islah Bahrawi mengomentari, “Kenapa bukan anaknya sendiri yang dipamerin?”

Sebelum melangkah lebih jauh, mari lihat konteksnya terlebih dulu. Di baliho, Prabowo tampak bersanding dengan Gibran, kenapa? Ada yang bisa menjawab? Gibran adalah anak Presiden Jokowi, dan, sejauh ini, bukan calon wakil presiden untuk Prabowo. Gibran juga kader PDIP, sementara PDIP telah memilih Ganjar untuk menjadi calon presiden. Berdasarkan konteks itu, kita kembali ke pertanyaan, mengapa Prabowo bersanding dengan Gibran di baliho?

Jadi, ketika mendapati tweet-foto tadi, serta komentar Islah Bahrawi, saya menganggap itu biasa saja. Seseorang memposting foto Prabowo dan Gibran di Twitter, dan ada yang heran hingga bertanya, kenapa Prabowo tidak berfoto dengan anaknya sendiri tapi malah dengan anak orang lain?

Tetapi, pertanyaan sederhana [dan sebenarnya penting] itu belakangan mengundang keributan dan serangan dari orang-orang yang tampak kehilangan akal sehat. 

Padahal, andai orang-orang tetap menggunakan akal sehatnya, mereka bisa menjawab dengan netral, misalnya, “Didit, anak Pak Prabowo, tidak terjun ke dunia politik, dan bla-bla-bla...” Itu jawaban yang sangat mudah dan sederhana.

Sekadar catatan, anak Prabowo Subianto itu bukan anak muda sembarangan. Nama lengkapnya Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo, dan dikenal sebagai Didit Hediprasetyo. Dia belajar di Parsons School of Design, New York, dan École Parsons à Paris, Prancis. Setelah lulus, ia mendapat gelar sarjana seni rupa dalam rancang busana.

Belakangan, karya-karya Didit dalam rancang busana sering ditampilkan di panggung Paris Fashion Week (PFW). Nama Didit bahkan masuk daftar Official Calendar PFW. Ia juga menjadi satu-satunya desainer Indonesia yang gaun rancangannya muncul di majalah Vogue Inggris.

Tidak hanya dipamerkan di panggung peragaan busana, gaun karya Didit juga pernah dikenakan oleh sejumlah musisi ternama dunia, dari Carly Rae Jepsen sampai Anggun C. Sasmi. Selain merancang busana, Didit juga tercatat pernah ikut merancang desain mobil BMW seri 7 Facelift, yang hanya diproduksi lima unit pada 2012. 

Itu baru prestasi-prestasi yang saya tahu. Di luar itu, bisa jadi dia punya banyak prestasi lain. Tapi intinya jelas, anak Prabowo Subianto adalah orang berprestasi, bahkan dalam skala internasional. Karenanya, ketika kemudian Islah Bahrawi menanyakan kenapa Prabowo malah berfoto dengan Gibran dan bukan dengan Didit—yang merupakan anaknya sendiri—saya pikir itu pertanyaan yang wajar.

Tapi rupanya tidak semua orang berpikir seperti saya. Ada orang-orang yang menanggapi pertanyaan itu dengan prasangka, lalu melemparkan aneka tuduhan. Mereka mengamuk dan menyerang, bukan menjawab dan menjelaskan. Tidak ada lagi akal waras, tidak ada lagi dialog yang sehat, dan akibatnya pertanyaan tetap tak terjawab. 

Itulah sebagian potret kegilaan berjamaah lima tahun sekali, setiap kali Pemilu datang. Orang-orang melepas akal sehatnya, digantikan fanatisme tak masuk akal. Logika berganti prasangka, orang melakukan kebaikan di-framing dengan kejahatan, sementara pertanyaan sederhana ditanggapi serangan membabi buta. Tidak ada lagi dialog yang waras, tidak ada dialektika, karena yang tersisa tinggal “kami” dan “mereka”.

Akan sampai kapan?

Related

Hoeda's Note 4254820970908006440

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item