Ganjar Pranowo, TikTok Shop, dan Nasib UMKM Indonesia

Ilustrasi/borobudurnews.com
TikTok Shop dinilai “bermasalah”, setidaknya karena tiga hal. Pertama, mereka menciptakan “ketidakadilan” dalam perdagangan, menempatkan orang terkenal dan orang biasa di satu platform yang sama, dan berdagang barang yang sama. Karena TikTok berjalan sesuai algoritma, lapak milik orang terkenal [semisal artis] akan lebih mudah menarik pembeli, sementara lapak orang biasa yang tidak terkenal akan kesulitan menjual apapun. 

Kedua, TikTok Shop dicurigai sedang berusaha membangun monopoli dengan cara “menjatuhkan harga”. Caranya, mereka “menyuntik” harga-harga barang yang dijual di platform TikTok Shop hingga harga jualnya sangat murah. Jadi, mereka memberikan “subsidi” pada si penjual, agar harga barang yang dijual di TikTok Shop bisa lebih murah dari harga di pasaran.

Misalnya, bawang goreng dalam stoples di pasaran dijual dengan harga Rp35-37 ribu. Sementara di TikTok Shop, harga bawang goreng dengan ukuran yang sama dijual dengan harga Rp35 ribu untuk 3 stoples. Selisih harga yang gila-gilaan! 

Bagaimana penjual di TikTok Shop bisa menjual dengan harga semurah itu? Sebagian kalangan mencurigai, harga bawang goreng di TikTok Shop “disubsidi” oleh pihak TikTok, agar si penjual bisa menurunkan harganya. Dalam hal ini, si penjual sama sekali tidak rugi meski menjual dengan harga yang lebih murah dari harga kulakan, karena “kerugian” itu ditutup oleh TikTok.

Mengapa TikTok melakukan hal semacam itu? Jawaban paling logis, mereka ingin memonopoli perdagangan. Dengan harga-harga barang yang sangat murah, orang-orang akan meninggalkan pasar lain, dan beralih ke TikTok Shop. Ini tak jauh beda dengan ojek online saat mereka dulu baru muncul. Pihak aplikator sengaja mensubsidi biaya layanan, agar harganya sangat murah. Begitu pelanggan sudah “ketergantungan”, harga dinaikkan. Teknik yang sama sedang dilakukan TikTok.

Hal ketiga yang membuat TikTok Shop dianggap “bermasalah”, karena mereka juga dicurigai melakukan praktik curang terkait perdagangan di platform mereka. Dengan algoritma, TikTok bisa tahu barang-barang apa saja yang laris di platform mereka, lalu membuat sendiri barang itu di China, dan menjualnya dengan harga lebih murah, karena produksinya dalam skala besar. Hasilnya, pembeli lebih tertarik pada barang yang mereka sediakan, apalagi ditunjang algoritma yang sengaja menggiring pembeli ke sana.

Tiga hal itulah yang membuat banyak kalangan resah, termasuk pemerintah Indonesia. Karena jika indikasi praktik-praktik semacam itu tidak segera ditangani, ekonomi Indonesia sedang ada dalam masalah besar, pasar-pasar akan semakin sepi, pedagang-pedagang kecil akan sekarat, dan jurang ketimpangan antara yang kaya dan miskin akan makin mengerikan.

Disrupsi memang terus terjadi, dan tak terhindarkan. Seiring kemajuan teknologi, kita menghadapi perubahan-perubahan dalam skala “revolusioner”, khususnya dalam bidang ekonomi, hingga membuat kita tergagap-gagap menghadapinya. Jika pemerintah juga ikut tergagap menghadapi perubahan-perubahan zaman yang sangat cepat ini, kita semua bisa ada di ujung tanduk. Karena, jika pemerintah saja ikut bingung, kita harus mengandalkan siapa lagi?

Terkait hal itu, Ganjar Pranowo—calon Presiden Indonesia—sempat ditanya dalam podcast Merry Riana. 

“Belakangan ini,” kata Merry Riana, “ada perbincangan tentang UMKM yang sekarang terancam karena adanya TikTok Live, terus para artis jualan. Gimana menurut Pak Ganjar?”

Ganjar Pranowo menjawab panjang lebar, namun ringkas dan sistematis. “Kalau situasi itu sudah mengganggu, maka negara atau pemerintah harus segera mengintervensi,” katanya.

Ganjar melanjutkan bahwa artis-artis tentu punya hak untuk berjualan, untuk bekerja, dan pemerintah tidak perlu melarang mereka. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengatur. Dalam hal itu, menurut Ganjar, ada tiga hal yang perlu diajukan. Pertama adalah filosofi. “Apa filosofinya? Kalau filosofinya ingin melindungi pedagang kecil, maka mari kita lindungi.” 

“Kedua, sosiologis,” lanjut Ganjar. Disrupsi sedang terjadi, dan kita tergagap. Karenanya, kita perlu segera melakukan upskilling. Pemerintah harus turun tangan, mendengarkan berbagai kepentingan dari semua pihak, dan dari situ pemerintah kemudian bisa tiba pada hal ketiga, yaitu membuat regulasi yang adil.

Apakah Ganjar cuma omdo—atau sedang ndakik-ndakik? Itu pertanyaan menggelitik, dan saya akan senang sekali menjawabnya. Jauh-jauh hari sebelum ribut TikTok Live atau TikTok Shop, bahkan jauh sebelum jadi calon presiden, Ganjar Pranowo sudah melakukan yang ia katakan. 

Ketika menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar menggandeng Bank Jateng, dan meluncurkan berbagai inovasi yang memudahkan pelaku usaha mengakses modal dengan bunga ringan. Sejumlah program yang diluncurkan di antaranya program Kredit Lapak yang ditujukan untuk pedagang pasar tradisional dan ibu-ibu rumah tangga, dengan plafon kredit Rp2 juta. Lalu ada Kredit Mikro Sejahtera (Mitra) Jateng, dengan plafon Rp25 juta. 

Kredit itu hanya dikenai bunga ringan, antara 2 hingga 3 persen per tahun, dengan jangka waktu pinjaman hingga 3 tahun. Belakangan bahkan ada program Kredit Mitra Jateng Startup Milenial, yang ditujukan untuk pelaku usaha rintisan. Program ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat anak-anak muda agar melahirkan ide usaha yang dibutuhkan seiring perkembangan zaman. 

Ganjar juga mendorong pengembangan UMKM, yang merupakan salah satu strateginya dalam mengentaskan kemiskinan di Jateng. Di bawah kepemimpinan Ganjar, Dinas Koperasi dan UMKM memfasilitasi pelatihan dan pendampingan bagi pelaku UMKM agar naik kelas. Pelatihan dilakukan dengan menggandeng sejumlah pihak yang berkompeten, di antaranya marketplace, Baznas, dan CSR, untuk memberikan pelatihan serta akses modal. 

Pelatihan dan pendampingan yang dilakukan Pemprov Jateng menunjukkan hasil yang gemilang. Selama kepemimpinan Ganjar, jumlah UMKM meningkat drastis. Berdasarkan data Pemprov Jateng, jumlah UMKM binaan mengalami kenaikan sejak 2018 sebanyak 143.738, kemudian bertambah menjadi 178.821 pada 2022. Sedangkan jumlah tenaga kerja UMKM binaan mencapai 1.320.953 orang. 

Kenaikan UMKM binaan juga diikuti kenaikan omset dan aset. Untuk omset, tahun 2018 sebesar Rp55,69 triliun, meningkat jadi Rp68,48 triliun di tahun 2022. 

Visi Ganjar dalam membangun ekosistem ekonomi digital berbasis UMKM juga diwujudkan dengan membangun hetero space, co-working space, dan creative hub, hasil kolaborasi antara Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Tengah bersama Impala Network.

Hetero space berfokus pada penyediaan ruang dan wadah berjejaring untuk para industri kreatif, UMKM, startup, pemuda, serta stakeholder lainnya. Sebagai ekosistem builder, hetero space tidak hanya sebagai fasilitas tempat, tetapi juga program pengembangan, misalnya pelatihan, kompetisi, hingga inkubasi untuk sektor UKM kreatif atau startup digital. 

Pemprov Jateng, di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo, juga berkomitmen mendukung perkembangan UMKM dengan pemberian sertifikat halal. Sejak 2012 hingga akhir 2022, sudah ada 2.144 pengusaha kecil dan menengah di Jateng telah tersertifikasi halal. 

Sertifikasi halal menjadi jembatan bagi pengusaha kecil dan menengah untuk naik kelas. Selain meningkatkan kepercayaan konsumen, sertifikasi halal juga memberikan ketenangan berusaha bagi produsen, memperbaiki manajemen produksi, meningkatkan daya saing produk, hingga kejelasan sumber bahan baku produk. 

Ganjar secara serius mendorong kebiasaan penggunaan produk lokal atau dalam negeri, sebagai upaya mewujudkan cita-cita ketahanan ekonomi berdikari. Upaya itu diaplikasikan dengan menciptakan tradisi menggunakan produk dalam negeri, terutama dari UMKM di lingkungan Pemprov Jateng. Tercatat, realisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) di Provinsi Jateng telah mencapai 98,26 persen. Sekitar 85,6 persen dari capaian tersebut menggunakan produk dari UMKM. 

Dengan semua hal yang dilakukan Ganjar, UMKM Jateng terus berkembang. Pendampingan dan dukungan Pemprov Jateng kepada pelaku UMKM mulai menunjukkan hasil, ditandai dengan banyaknya produk UMKM Jateng yang sukses menembus pasar dunia. Pemprov Jateng, melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan, memberikan pendampingan bagi para pelaku UMKM agar produknya dapat diekspor. 

Melalui program Export Coaching Program Training of Exporters (TOX), para pelaku UMKM mampu memahami persiapan ekspor, melakukan pengembangan pasar ekspor, dan penetrasi pasar ekspor. 

Sejumlah produk UMKM yang sudah menembus pasar ekspor di antaranya produk kayu, produk pertanian, minyak atsiri, gula kelapa organik, bunga palm, sapu glagah, mi, soun, emping, dan berbagai produk lainnya. Produk-produk unggulan UMKM di Jateng itu sudah diekspor ke sejumlah negara; Amerika, Arab, Jepang, Tiongkok, hingga sejumlah negara di Eropa.

Ada kisah tentang Lyna Windiarti, penjahit wanita asal Semarang yang suka memanfaatkan kain perca menjadi kerajinan kreatif. Dia memberi merek “Double Eight Craft” untuk hasil karyanya. Produknya meliputi sarung bantal, taplak meja, badcover, hingga cover sofa. Semula, dia hanya menjual karyanya ke teman-temannya sendiri. Sampai kemudian Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah memberikan pendampingan untuknya, dan usahanya meningkat pesat.

Lyna Windiarti mengisahkan, “Kontribusinya (Pemprov) sangat bagus. Jadi, pertama itu saya dikasih pelatihan-pelatihan yang awal-awal itu saya ikut pelatihan HAKI untuk mematenkan merek, supaya mereknya tidak dipakai orang. Kemudian saya ikut lagi pelatihan manajemen, yaitu pelatihan digital marketing. Kemudian saya ikut lagi pelatihan public speaking. Waktu itu saya juga dapat dana hibah untuk mengelola Instagram untuk medsos [bisnis saya].”

Dari situlah kemudian brand “Double Eight Craft” mulai dikenal secara nasional, bahkan mancanegara. Bagi Lyna, kemajuan UMKM di Jawa Tengah tidak lepas dari sosok Ganjar Pranowo. Selama ini, Gubernur Jawa Tengah itu sangat memperhatikan UMKM. “Sangat support,” ujarnya. “Ada Lapak Ganjar juga yang membantu para UMKM. Kemudian kalau pameran-pameran itu beliau selalu datang, gitu. Support-nya pada kami itu luar biasa.”  

Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah, saat ini ada sekitar 3.528 UMKM binaan. Pembinaan dilakukan di antaranya dengan memberikan pelatihan-pelatihan. Dari peningkatan kualitas produk, packaging, marketing, dan manajemen.

Tidak hanya memberikan pelatihan dan bantuan dana, Ganjar Pranowo juga mengajak seluruh bupati/walikota menjadi off-taker produk-produk UMKM. Jika ada kegiatan, belanja bisa dilakukan pada pelaku usaha kecil di daerah masing-masing.

“Sudah ada aturannya,” kata Ganjar menjelaskan hal itu, “empat puluh persen dari APBD digunakan untuk pengembangan UMKM. Maka kalau ada acara, belilah di UMKM. Apakah makanan kecil, baju, sepatu, ATK (alat tulis kantor), dan lainnya.”

Untuk dapat melakukan itu, tentu harus ada pendampingan pada pelaku UMKM. Karena untuk bisa jualan menggunakan anggaran negara harus masuk e-katalog. Terkait hal itu, Ganjar mengatakan, “Provinsi Jateng sudah punya aplikasi Blangkon [untuk tujuan tadi]. Daerah mungkin bisa meniru dengan membuat aplikasi lain, untuk mewadahi para pelaku UMKM jualan. Kita terus dampingi UMKM bisa maju.”

Dengan semua pencapaian itu, apakah Ganjar lalu berpuas diri? Tidak—belum. Upayanya dalam memajukan UMKM, khususnya di wilayah Jateng, terus dilakukannya, sampai di akun Instagram pribadinya. 

Di akun Instagramnya, yang diikuti jutaan orang, Ganjar menginisiasi program yang disebut #LapakGanjar. Program itu ditujukan untuk membantu usaha-usaha kecil (UMKM) di berbagai daerah agar makin dikenal, dan mendapat pasar yang lebih luas. Caranya simpel. Para pemilik UMKM tinggal mengunggah foto usahanya, dilengkapi hastag #LapakGanjar, dan Ganjar Pranowo akan me-repost unggahan tersebut. 

Belakangan, karena banyaknya peminat program ini, #LapakGanjar dibuatkan akun sendiri di Instagram, dan telah membantu ribuan pedagang dan pemilik usaha kecil. Itu ide yang mudah, sederhana, dengan dampak luar biasa. Ketika pandemi Covid melanda beberapa tahun lalu, program #LapakGanjar bahkan jadi semacam “penyelamat” untuk banyak pemilik usaha kecil atau UMKM.

Florist Asagift di Semarang, milik pasangan Abiyuda dan Safhira Wirahadi, adalah salah satu contoh. Biasanya, usaha perajin buket bunga ini hanya mendapat 3-4 pesanan per hari. Setelah masuk program #LapakGanjar, pesanan meningkat jadi 30-40 per hari, dengan pelanggan sampai dari luar kota.

Asanah, warga Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, punya usaha cuci sepatu. Semula, pengguna jasanya hanya orang-orang dari lingkungan sekitar. Tetapi, setelah masuk #LapakGanjar, para pengguna jasanya berdatangan dari tempat-tempat lain yang relatif jauh. Usahanya semakin ramai, omsetnya meningkat, dan dia mulai melebarkan usaha pencucian tas, helm, hingga jaket kulit.

Di Batang, tetangga Pekalongan, ada Siti Yaenah yang punya usaha pembuatan terasi. Semula, dalam sebulan, dia menjual 100-120 potong terasi. Setelah masuk #LapakGanjar, penjualannya meningkat jadi 500 potong per bulan. Jika semula pelanggannya hanya orang-orang dari kota sendiri, kini pelanggannya berasal dari Semarang, Solo, Purwokerto, Tegal, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. 

Masih di Pekalongan, ada usaha batik yang dimiliki seorang wanita bernama Wulan Utoyo, dan dia memberi nama “Bulan” untuk produk batiknya. Ketika bergabung dengan #LapakGanjar, dia mengaku cuma iseng. Tapi hasilnya, dia mendapat banyak pelanggan baru, bahkan dari Italia. Sebelumnya, dia hanya menjual sekitar 100 lembar batik tulis per bulan. Setelah masuk #LapakGanjar, penjualannya meningkat jadi 200 lembar batik per bulan.

Ada pula wanita bernama Siti Nurazyila, yang punya usaha pembuatan kue kering. Dia tinggal di pelosok, tepatnya di Dukuh Gondang Tengah, Desa Karangsari, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati.

Tinggal di pelosok dan usahanya relatif kecil, penjualan Siti Nurazyila pun relatif sedikit, karena jauh dari pusat kota. Namun, setelah masuk #LapakGanjar, usahanya dikenal banyak orang dari berbagai tempat, pesanan mulai berdatangan, penjualan meningkat, dan usahanya perlahan membesar, hingga ia mulai merekrut para tetangga untuk membantunya.

Di Magelang, ada Theresia Dwi Utami, yang punya usaha pembuatan brownis. Ketika pandemi Covid melanda, dia nyaris putus asa karena produknya menumpuk tanpa ada yang beli. Lalu dia ikut program #LapakGanjar, dan usahanya mulai bangkit kembali, bahkan belakangan sampai menambah karyawan, dan dia mulai mengembangkan usahanya ke kota-kota lain. Jika kalian kenal brownis merek “Telo n’Dukun”, itulah usaha yang saya maksud.

Terkait perkembangan bisnisnya yang terbantu #LapakGanjar, Theresia menyatakan, “Pak Ganjar itu sosok kreatif dan berjiwa muda. Saya melihat program-programnya itu membantu anak-anak muda, termasuk pelaku UMKM. Saya kebetulan ikut hetero space. Ya, semoga usaha kami lebih dikenal sampai di seluruh Indonesia.” 

Di Salatiga, ada Hani Angga Wihanditya yang punya usaha pembuatan kue kacang. Sama seperti yang dialami Theresia Dwi Utami, usaha Hani Angga juga jatuh ketika dihantam pandemi Covid. Kebangkitan usahanya dimulai ketika ia bergabung dengan #LapakGanjar, dan sejak itu mulai stabil kembali, bahkan berkembang pesat. Belakangan, usaha kue miliknya bahkan sampai dipesan oleh pelanggan dari Banjarmasin hingga Hong Kong. Dia kini juga punya agen di Jakarta, Solo, dan beberapa kota lainnya.

Kembali ke Magelang, ada Elisa Anggraini, yang punya usaha produk herbal. Dia mengikuti program #LapakGanjar, dan usahanya berkembang pesat. Berdasarkan penuturannya sendiri, penjualan produknya meningkat 250 persen, hingga ekspor ke luar negeri.

Pada 19 Agustus 2023, Elisa Anggraini mengikuti pameran UMKM yang diadakan di Brebes, menyambut HUT Jateng ke-78. Ganjar Pranowo datang ke pameran itu, dan Elisa menemui Ganjar dengan mata berkaca-kaca. 

“Pak Ganjar, terima kasih banyak, Pak,” ujarnya. “Berkat Lapak Ganjar, produk saya jadi terkenal. Sekarang ekspor ke Belanda, Venesia, Malaysia, dan Hongkong, Pak.” Dia juga menceritakan, sekarang telah bisa membeli rumah seharga Rp450 juta, secara cash.

Ganjar Pranowo, yang mungkin tidak menyangka akan mendengar pengakuan itu, tampak terkejut, lalu berkata pada Elisa dengan senyum lebar, “Njenengan top, hebat sekali. Selamat ya, saya ikut senang!”

Ketika para wartawan mewawancarai Elisa, wanita itu menyatakan, “Semoga vibe-nya Pak Ganjar menular ke pemimpin lain, dan harapannya gubernur selanjutnya jangan sampai tidak seperti Pak Ganjar. Pak Ganjar itu selalu peduli pada UMKM, mendampingi, memberikan motivasi, akses modal dan lainnya, yang membuat UMKM seperti kami bisa mandiri.”

Tidak hanya menyentuh para pelaku usaha kecil di Jawa Tengah, program #LapakGanjar juga membantu para pemilik UMKM di provinsi lain. Di Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, ada Dyan Ekawati, yang punya usaha kerajinan tas, dengan brand “Dian Art”. Bahan-bahan pembuat tas berasal dari eceng gondok, serat nanas, hingga rotan, yang dikreasikan dengan pernak-pernik lain.

Dia ikut program #LapakGanjar, dan hasilnya sama seperti orang-orang lain. Usahanya meningkat, omsetnya terus naik. Jika semula pembeli produknya hanya datang dari Surabaya dan sekitarnya, kini datang dari berbagai kota lain, bahkan sampai luar pulau dan luar negeri. Kini, dia merekrut beberapa karyawan untuk membantu usahanya.

Uraian ini, kalau saya lanjutkan, masih panjang sekali, meliputi berbagai UMKM di berbagai bidang, dari pembuatan kue sampai tukang cukur! Yang jelas, program #LapakGanjar yang telah dimulai sejak 11 Juli 2020, telah membantu lebih dari 3.365 UMKM, menjangkau 124 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Dan sekarang UMKM di Indonesia sedang berhadapan dengan TikTok. Jika harus ada orang yang menangani masalah itu, Ganjar Pranowo adalah orang yang tepat. Dia tidak hanya memiliki visi dan wawasan yang dibutuhkan, tapi juga komitmen dan pengalaman yang telah terbukti.

Related

Hoeda's Note 8273338924405780189

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item