Uus, Coki, dan Panduan Penting Masuk Twitter

Ilustrasi/suara.com
Twitter terkenal sebagai media sosial paling intelek sekaligus paling brutal di dunia maya, khususnya di Indonesia. Jika Facebook identik dengan pertemanan atau biasa disebut “silaturrahmi”, dan Instagram serupa etalase untuk memamerkan hal-hal indah dan menawan, Twitter bisa dibilang seperti arena pertarungan, dan siapa pun bisa berdarah-darah di sana.

Bagi banyak orang, Twitter adalah tempat melemparkan ide-ide, gagasan, perspektif, dan aneka kegelisahan sosial. Karena sifatnya yang terbuka, lemparan tweet di Twitter bisa direspons atau disambar siapa pun, bisa setuju dan bisa tidak. Dari situ, tidak jarang terjadi “keributan”, dari diskusi yang akademis sampai debat yang berdarah-darah.

Karena banyaknya orang yang saling bersahut-sahutan di timeline, dengan aneka kepentingan masing-masing, saya merasa suasana Twitter selalu panas. Kapan saja saya masuk ke Twitter, hampir bisa dipastikan ada keributan di timeline. Bahkan hal seremeh apa pun bisa jadi keributan besar di Twitter. Karena banyak pengguna Twitter yang tidak hanya intelek, tapi juga brutal, dan sebagian mereka juga sepertinya kurang kerjaan.

Makanya, salah satu jargon populer di Twitter adalah, “Aku suka keributan!”

Jika sehari saja tidak ada keributan di Twitter, orang-orang seperti merasa “hampa”. Karenanya di Twitter sampai ada akun bernama Info Twitwor & Drama, yang suka memancing keributan di Twitter. Kamu salah ngetwit sedikit saja, bisa jadi menimbulkan masalah, lalu kamu [atau twitmu] akan diributkan banyak orang. Tidak jarang, orang yang diserang habis-habisan di Twitter sampai memilih “kabur” (tutup akun).

Karena isi timeline Twitter hampir selalu panas dan provokatif, siapa pun dapat mudah terpengaruh untuk ikut terjun dalam keributan, khususnya kalau kita sedang dalam kondisi badmood. Setidaknya, itulah yang pernah saya alami. 

Sekian waktu lalu, saya masuk Twitter ketika sedang badmood [karena stres mikir banyak masalah], dan berharap menemukan hal-hal lucu di timeline yang bisa menghibur. Tapi yang saya temukan di timeline waktu itu justru keributan yang dipicu Coki Pardede. Jadi, waktu itu lagi heboh Covid, dan Coki ngetwit dengan gayanya yang provokatif. 

Ketika saya masuk Twitter, timeline sudah heboh dengan twit Coki, dan orang-orang lagi menyerang Coki habis-habisan. Saya, yang waktu itu dalam kondisi badmood, langsung terpengaruh, dan ikut menyerang Coki, dengan me-retweet banyak tweet orang lain yang isinya seperti desingan peluru ke arah kepala Coki.

Saat keributan itu hampir reda, Uus (Rizky Firdaus Wijaksana) menulis tweet yang terkesan membela Coki. Sebenarnya, tweet Uus waktu itu mungkin tidak dimaksudkan untuk membela Coki, dalam arti dia ngetwit secara netral. Tweet Uus sampai di timeline saya, dan lagi-lagi saya terprovokasi. Saya menyerang tweet Uus waktu itu, terkait keributan yang dipicu Coki. Timeline kembali panas. 

Beberapa hari setelah keributan itu, saya menyesali yang saya lakukan. Saya melihat timeline, waktu itu, dan berpikir, “Mestinya aku tidak harus seperti ini.”

Ya, mestinya saya tidak mudah terprovokasi oleh tweet di timeline, karena bagaimana pun saya tidak bisa memastikan tujuan atau perspektif orang yang menulis tweet itu. Sayangnya, saya dalam kondisi badmood—dengan pikiran lagi butek—ketika masuk Twitter kala itu, hingga tidak bisa berpikir jernih dan objektif, sekaligus mudah terprovokasi.

Andai waktu itu saya dalam keadaan waras, dalam arti pikiran sedang jernih dan tidak sedang badmood, kemungkinan besar reaksi saya tidak akan sebrutal itu. Mungkin, ketika membaca tweet Coki waktu itu, saya paling akan berpikir, “Biasa, lah, Coki, suka bikin onar.” Sudah, paling begitu.

Sayangnya, seperti yang tadi saya sebutkan, saya masuk Twitter dalam kondisi kepala panas, sedang badmood, dan tweet provokatif apa pun jadi seperti pemantik api pada sumbu mercon. Latar belakang itulah yang kemudian menyebabkan saya akhirnya masuk Twitter hanya pada pukul 22.00, ketika saya dalam kondisi santai, dan pikiran sudah adem. Karena, sering kali, suatu tweet terkesan menjengkelkan atau tidak, tergantung kondisi pikiran kita.

Itu benar. 

Kalau kita—setidaknya saya—masuk Twitter dalam kondisi badmood, tweet apa pun bisa tampak menjengkelkan, dan selalu ada kemungkinan tweet yang tampak menjengkelkan itu terasa provokatif. Tetapi, kalau saya masuk Twitter dalam kondisi pikiran adem, tweet di timeline jadi tampak netral. Kalau pun memang nyata-nyata provokatif, saya tidak akan langsung terpengaruh. Kalau saya kemudian merespons, respons saya juga netral.

Belajar dari hal itu, saya akhirnya membatasi diri hanya masuk Twitter pada pukul 22.00, dan itu pun tidak lama, cuma sebatas “menghabiskan udud”. 

Belakangan, saya memahami pola pikir Coki—yang rada-rada absurd itu—saat dia ngobrol dengan Deddy Corbuzier di Close The Door. Coki menjelaskan bahwa dia sengaja ngetwit seprovokatif itu, karena dia pikir itulah “timing” yang tepat. Cara menggugah kesadaran orang tentang pandemi Covid, menurut Coki, adalah dengan ngetwit sesuatu yang provokatif, tepat ketika pandemi jadi sorotan banyak orang.
 
Dia sadar risikonya, bahwa tweet-nya yang provokatif kemungkinan akan menyeretnya ke jurang—dihujat banyak orang—tapi namanya Coki, dia tidak peduli. Karena artinya tujuannya sudah tercapai, yaitu perhatian orang-orang terfokus pada masalah pandemi Covid, sebagaimana yang diinginkannya.

Begitu pula ketika dia tampak “mengejek” anak-anak kelaparan di Afrika, yang muncul di layar televisi, dia juga kembali diserang banyak orang. Tapi, seperti pola pikirnya yang tadi, dia sengaja melakukan hal itu untuk menarik perhatian orang-orang pada kasus kelaparan di Afrika. Bagi Coki, cara paling efektif menarik perhatian orang-orang adalah dengan melakukan sesuatu yang “menjengkelkan”—dia tidak peduli dihujat, yang penting tujuannya tercapai.

Dalam Close The Door, kira-kira Coki ngomong seperti ini, “Apakah dengan menghujat saya, kelaparan di Afrika kemudian teratasi? Tidak! Karena inti masalahnya bukan apa yang saya lakukan, inti masalahnya adalah kelaparan di Afrika! Dan orang-orang baru peduli kelaparan yang melanda anak-anak Afrika, setelah saya melakukan kegilaan itu.”

Kita tentu boleh setuju atau tidak dengan pola pikir Coki, atau hal-hal yang dilakukannya. Tetapi, saya akhirnya memahami perspektif Coki, dan menyadari bahwa dia tidak sekadar “suka bikin onar”. Ada latar pikiran tertentu di balik keonaran yang dia lakukan. [Ya meski sesekali dia mungkin sengaja bikin onar, sih.]

Kembali ke Twitter.

Di Twitter memang sering ada bajingan, dalam arti sebenarnya—orang-orang yang melakukan korupsi, pemerkosaan, pelecehan seksual, atau melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, lalu viral. Penjahat-penjahat itu pun diserang dan dihujat banyak orang, tapi kejahatannya bisa dibilang sudah jelas. Karenanya, menghujat para bajingan seperti itu bisa dianggap “sudah sewajarnya”.

Tapi kalau sekadar seseorang ngetwit sesuatu, atau menyampaikan pandangan tertentu, sepertinya kita—khususnya saya—perlu menahan diri, dan tidak mudah ngamuk. Karena tweet seseorang, yang mungkin kita anggap provokatif, bisa jadi netral. Tapi karena kita sedang badmood akibat banyak masalah, kita jadi menganggapnya provokatif. Pandangan seseorang di Twitter mungkin berbeda dengan cara berpikir kita, dan sepertinya kita tidak perlu buru-buru ngamuk.

Kini, saya sengaja masuk Twitter hanya pada saat pikiran dalam kondisi segar atau santai, hingga tidak mudah terpengaruh atau terprovokasi isi timeline. Karena nyatanya timeline Twitter memang “mengerikan”—penuh keributan, kontroversi, perdebatan, spill drama yang bikin jengkel, dan aneka hal lain yang selalu bisa memicu reaksi negatif. Jika kita menghadapi semua itu dengan kondisi badmood, reaksi kita bisa berlebihan, dan belakangan kita akan menyesalinya. Setidaknya, saya sudah membuktikan.

Kalaupun kita masuk Twitter dalam kondisi badmood, dan melihat-lihat isi timeline dengan maksud mencari hiburan, usahakanlah untuk tidak merespons apa pun. Jangan terpengaruh pada spill drama yang mungkin menjengkelkan, jangan terprovokasi keributan apa pun yang sedang melanda timeline. Karena, sekali lagi, merespons apa pun dalam kondisi pikiran lagi butek, biasanya akan membuat kita menyesalinya.

Kini, saya berjanji pada diri sendiri, hanya akan merespons apa pun di Twitter ketika saya lagi santai, dan pikiran sedang jernih. Pada pukul 22.00, dan sambil nunggu udud habis tentu saja.

Akhir kata, saya ingin menyampaikan maaf kepada Uus dan Coki atas keributan yang pernah terjadi di Twitter, sekian waktu lalu. Kalian mungkin sudah melupakan peristiwa itu, tapi saya tidak. Karenanya, saya perlu menyampaikan permintaan maaf ini, agar pikiran dan hati saya lebih nyaman. Seharusnya saya tidak seburuk itu, dan saya sangat menyesalinya.

Related

Hoeda's Note 5090455331034478435

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item