Ustaz Zainuddin MZ, Buya Syakur, dan Kedewasaan Beragama
https://www.belajarsampaimati.com/2023/08/ustaz-zainuddin-mz-buya-syakur-dan.html
Ilustrasi/asiasociety.org |
Anak-anak Indonesia yang sudah cukup besar pada era ’90-an pasti mengenal Ustaz Zainuddin MZ, penceramah paling terkenal di masa itu, bahkan dijuluki “Dai berjuta umat”. Bukan hanya mengenal, rata-rata orang di zaman itu bahkan menyukai ceramah-ceramah Ustaz Zainuddin MZ, karena ceramahnya memang asyik—narasinya mengalir lancar, orasinya kadang menggelegar, dan selalu ada bagian-bagian lucu yang bikin orang tertawa.
Ustaz Zainuddin MZ, tak bisa dipungkiri, adalah penceramah hebat yang tahu cara menyampaikan materi-materi agama dengan bahasa sederhana hingga mudah dipahami siapa pun, menyentuh hati, sekaligus menghibur. Di antara jutaan penggemar ceramah-ceramahnya, saya termasuk di antaranya.
Waktu itu saya masih SD, dan kenal ceramah-ceramah Ustaz Zainuddin MZ lewat radio. Di rumah saya ada radio kuno, dan ayah saya waktu itu suka banget menyimak ceramah-ceramah Ustaz Zainuddin MZ. Kebetulan, ada banyak stasiun radio yang juga sering menyetel ceramah Ustaz Zainuddin MZ. Jadi, setiap hari saya selalu terpapar ceramah-ceramahnya. Karena ceramahnya menarik, saya pun senang menyimaknya, bahkan jika ceramah yang saya dengar adalah ceramah yang sama.
Di masa itu, ceramah-ceramah Ustaz Zainuddin MZ direkam lewat kaset pita, dan stasiun-stasiun radio tentu menyiarkan ceramah si ustaz lewat rekaman kaset tersebut. Karenanya, sering kali, suatu ceramah telah saya dengar di stasiun radio A, lalu besoknya saya dengar di stasiun radio B, dan besoknya lagi di stasiun radio C, dan seterusnya. Isi ceramahnya sama persis, karena berasal dari rekaman yang sama. Meski begitu, saya tetap senang menyimak dan mendengarkannya, bahkan sampai hafal!
Sewaktu-waktu, Ustaz Zainuddin MZ muncul di televisi, dan berceramah secara live. Sudah jelas, saya senang sekali menyaksikannya. Waktu saya SMP, masjid besar di kota saya juga pernah mengundang Ustaz Zainuddin MZ—kalau tidak salah ingat, pas acara Maulid Nabi—dan saya datang ke pengajian akbar itu, bersama teman-teman yang juga penggemar ceramah Ustaz Zainuddin MZ.
Di sana, ada puluhan ribu orang yang datang, laki-laki dan perempuan, anak-anak sampai orang tua, berjubel namun tertib, dan saya pun benar-benar memahami kenapa dia disebut “Dai berjuta umat”.
Saya masih terus mengikuti ceramah-ceramah Ustaz Zainuddin MZ—di radio, di televisi, dan belakangan saya juga mengoleksi kaset-kaset ceramahnya yang bisa disetel lewat tape recorder. Sampai kemudian Ustaz Zainuddin MZ meninggal, saya tetap senang menyimak ceramah-ceramahnya. Itu sama seperti saya menyukai buku-buku tertentu, lalu membacanya berulang-ulang, sampai tak terasa seperti hafal isinya.
Sedari SD sampai SMA, saya bersekolah di sekolah Islam, yang memiliki pelajaran agama sangat padat. Sekadar ilustrasi, saya hafal surat Yaasin dan beberapa surat Alquran lain ketika SD, karena memang ada pelajaran yang mewajibkan hal itu.
Di SD pula saya pertama kali kenal apa itu fiqih, akidah akhlak, shorof, nahwu, tajwid, sampai cara membaca Arab pegon (bahasa Jawa yang ditulis dengan abjad Arab), serta aneka pelajaran lain yang sangat terkait dengan agama Islam. Jika hal-hal semacam itu saja diajarkan, apalagi tata cara wudhu (thaharah/bersuci), tata cara shalat, dan hal-hal lain yang sifatnya penting dan wajib.
Sejak masa SD pula, saya ngaji pada guru ngaji di kampung, dan kebetulan guru ngaji saya berlatar pesantren. Jadi, guru ngaji itu tidak hanya mengajar tata cara membaca Alquran dengan tartil sesuai tajwid, tapi juga mengajarkan aneka hal lain yang terkait ajaran Islam, semisal bacaan tahlil, serta aneka doa dalam kehidupan sehari-hari, dari doa setelah mendengar suara azan, doa mendengar petir dan halilintar, dan lain-lain yang daftarnya sangat panjang. Yang jelas, kegiatan ngaji saya seperti saling melengkapi dengan pelajaran agama yang saya dapat dari sekolah.
Karena latar belakang itulah, saya merasa “related” ketika menyimak ceramah-ceramah Ustaz Zainuddin MZ. Ketika Ustaz Zainuddin MZ berceramah tentang sesuatu, misalnya, saya bisa memahami detail-detailnya lewat pelajaran-pelajaran yang saya dapat dari guru ngaji dan guru di sekolah. Saat lulus SD, saya sudah tahu semua tata cara ibadah wajib yang sifatnya dasar dalam Islam—dari tata cara berwudhu, sampai tata cara shalat, sampai tata cara membaca Alquran, bahkan sampai doa zakat fitrah.
Ketika SMP, saya juga bersekolah di sekolah Islam, yang pelajaran-pelajarannya bisa dibilang melanjutkan pelajaran-pelajaran agama dari masa SD. Beberapa nama pelajarannya masih sama, misalnya fiqih. Kalau di masa SD, pelajaran fiqih hanya membahas hal-hal mendasar, seperti jual beli dan hal-hal umum semacamnya. Ketika SMP, pembahasan dalam pelajaran fiqih semakin “rumit”, misalnya soal mawaris atau tata cara membagi waris dalam Islam, bahkan sampai urusan talak dalam pernikahan.
Memasuki SMA, lagi-lagi saya bersekolah di sekolah Islam, dan pelajaran-pelajaran agama di sana juga bisa dibilang melanjutkan pelajaran-pelajaran agama di SMP, tapi lebih luas dan lebih rumit. Yang jelas, materi pelajaran agama di SMA tetap hanya seputar Islam, karena namanya juga sekolah Islam.
Intinya, saat lulus SMA, saya merasa telah memahami hal-hal penting mengenai agama dan ajaran Islam—serta berbagai hal di dalamnya—dari yang bersifat wajib sampai yang mubah, dari cara bersuci sampai cara memakamkan jenazah, dari urusan berdagang sampai urusan perang.
Beberapa tahun setelah lulus SMA, saya kuliah, dan ndilalah juga kuliah di perguruan tinggi Islam. Lagi-lagi, karena berlatar Islam, materi-materi kuliah di sana juga bisa dibilang melanjutkan pelajaran-pelajaran agama yang telah saya terima sejak SD sampai SMA, namun kali ini lebih luas dan lebih komprehensif.
Ada mata kuliah, misalnya, bernama Ulumul Quran, yang mempelajari arti kalimat-kalimat Alquran, penjelasan ayat-ayat di dalamnya, memahami makna dan hal-hal yang samar, mengemukakan hukum-hukumnya, dan lain-lain. Ada pula mata kuliah bernama Ulumul Hadist, yang isinya mempelajari hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, cara mengetahui hadis sahih, hasan, daif, dan lain-lain, beserta kompleksitas di dalamnya.
Yang agak menantang adalah mata kuliah Filsafat Agama, yang isinya tinjauan filsafat mengenai agama-agama di dunia, wabilkhusus Islam. Ada pula mata kuliah Perbandingan Agama, yang isinya pembelajaran mengenai agama-agama di dunia. Lalu ada Ushul Fiqih, Fiqih Muamalah, Tafsir Tarbawy, Hadist Tarbawy, Metodologi Pendidikan Islam, dan lain-lain—daftarnya sangat panjang. Intinya, di masa kuliah itulah saya menyadari betapa luasnya ilmu agama, dan hal itu memantik semangat saya dalam mempelajari agama lebih dalam.
Di masa-masa kuliah itulah—hingga bahkan tidak lagi kuliah—saya membaca dan mempelajari banyak buku/kitab terkait agama, dari Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Tafsir Ibnu Katsir, Riyadhus Shalihin, Ihya Ulumuddin, Fatkhul Bari, Bulughul Maram, Arbain Nawawi, Minhaj Ath-Thalibin (Fiqih Imam Syafii), dan lain-lain. Dan itu sangat mengasyikkan bagi saya, karena kebetulan saya memang suka belajar.
Seiring proses pembelajaran itu, saya menyadari bahwa saya terus “naik kelas”, dalam arti pengetahuan saya terkait ilmu-ilmu agama terus bertambah. Jika masa SD, misalnya, saya baru sebatas tahu hal-hal terkait ibadah wajib. Ketika SMP, pengetahuan saya meluas terkait ibadah wajib dan ibadah-ibadah lain yang tidak wajib (misalnya shalat gerhana). Ketika SMA, saya mulai memahami aneka hal yang sifatnya lebih dewasa, semisal fiqih terkait pernikahan dan kehidupan luas. Ketika kuliah, semua ilmu agama dari SD sampai SMA menjadi dasar untuk belajar lebih lanjut, hingga akhirnya saya mengenal aneka kitab yang tebal-tebal bahkan berjilid-jilid, yang sebagian saya sebut tadi.
Dalam proses itu, terjadi pergeseran paradigma dalam pikiran saya, sekaligus kedewasaan dalam memahami agama. Di titik itulah saya mulai mengenali perbedaan antara agama dogmatis dan agama reflektif.
Agama dogmatis adalah agama yang diajarkan dengan dogma atau doktrin, yang tujuannya menanamkan keyakinan—itu sesuatu yang saya jalani dari masa SD sampai masa SMA. Seperti tata cara bersuci, tata cara shalat, menghafalkan aneka doa, itu bagian dari ajaran dogmatis, yaitu hal-hal mendasar yang harus dipahami sekaligus dikuasai oleh orang beragama, dalam hal ini Islam. Agama dogmatis adalah ajaran yang tidak perlu dipertanyakan. Karenanya cocok untuk anak SD sampai setidaknya SMA, atau untuk orang-orang yang baru belajar agama.
Ketika orang baru sampai di tahap agama dogmatis, dan ditanya kenapa dia beragama Islam, kemungkinan besar dia akan menjawab, “Ya pokoknya karena aku menganggap Islam adalah agama yang benar, karena orang tuaku beragama Islam, karena kakek dan nekek dan leluhurku beragama Islam!”
Sementara agama reflektif adalah ajaran agama yang mengajak kita berpikir—bukan hanya sekadar menerima. Proses ini diawali ketika saya kuliah. Agama reflektif tidak hanya meminta kita menerima mentah-mentah sesuatu, tapi juga mempelajari bagaimana asal usul sesuatu, mengapa dihukumi wajib atau tidak, mengapa kita harus melakukan sesuatu atau sebaliknya, sampai hal-hal lain yang sangat luas sekali.
Salah satu ulama yang berceramah dengan cara reflektif adalah Buya Syakur (Prof. Dr. KH. Abdul Syakur Yasin, MA). Ulama yang jadi pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Cadangpinggan ini berlatar akademisi, sehingga bisa membicarakan ajaran-ajaran agama dengan sangat reflektif. Saya termasuk salah satu penggemar ceramah-ceramahnya. Meski sudah sepuh, Buya Syakur bisa menjelaskan berbagai hal tentang agama dengan perspektif modern, sehingga “related” dengan orang-orang di zaman sekarang.
Ceramah atau pengajian Buya Syakur sangat cocok untuk orang-orang yang telah menguasai pelajaran dasar terkait agama (misal seperti yang saya alami, yang sejak SD sampai perguruan tinggi belajar di institusi Islam). Karenanya, ketika mendengar ceramah-ceramahnya, saya seperti mendapat “lanjutan pelajaran” dari pelajaran-pelajaran agama yang sebelumnya sudah saya dapatkan, dari SD sampai perguruan tinggi.
Karenanya pula, ketika orang sampai di tahap agama reflektif, dan ditanya kenapa dia beragama Islam, dia bisa menjelaskannya secara rasional—bukan sekadar “pokoknya!”
Selain lebih rasional, ajaran agama reflektif juga mendidik kita untuk lebih mudah bertoleransi dengan orang lain, tidak mudah menyalahkan atau mengkafir-kafirkan, karena fokusnya adalah [memperbaiki] diri, bukan orang lain.
Sebaliknya, ceramah atau pengajian Buya Syakur sepertinya tidak cocok atau kurang tepat untuk orang-orang yang baru belajar agama, karena itu sama seperti “melompat terlalu jauh”. Bukannya memberi pemahaman, ceramah-ceramah Buya Syakur justru bisa membingungkan untuk orang-orang yang baru belajar agama.
Berdasarkan uraian ini, kita melihat bahwa proses pembelajaran orang per orang, khususnya terkait agama, memiliki tahap-tahap tertentu. Seperti yang saya alami, misalnya. Mula-mula, saya belajar hal-hal penting yang mendasar, atau yang bersifat wajib dalam agama. Lalu meningkat ke tahap selanjutnya, dan begitu seterusnya, sampai masa pembelajaran yang lebih luas di masa kuliah, hingga bisa memahami dan menikmati ceramah-ceramah Buya Syakur yang reflektif dan mengajak berpikir.
Bagi saya, ceramah-ceramah Buya Syakur tidak hanya mengajarkan agama, tapi juga mengajarkan kedewasaan beragama. Di titik ini, kita sampai pada kesadaran untuk menggunakan agama sebagai cara untuk memperbaiki diri, dan bukan sarana untuk menyudutkan atau menyalahkan orang lain.
Tentu saja, seperti yang saya sebut tadi, tidak semua orang akan cocok dengan ceramah atau pengajian Buya Syakur. Jika kita baru belajar agama lalu menyimak ceramah-ceramah Buya Syakur, itu seperti anak SD atau SMP yang langsung melompat ke perguruan tinggi. Bukannya makin pintar, tapi malah bingung.
Sebaliknya, orang yang sudah belajar agama hingga tingkat perguruan tinggi, juga enggan jika diminta ikut pengajian yang isinya hal-hal dasar seperti tata cara berwudhu atau tata cara shalat. Itu seperti meminta mahasiswa mengikuti kelas anak SD—mereka sudah hafal di luar kepala. Karenanya, kalau mereka tidak tertarik, ya wajar. Kesadaran mengenai hal itulah yang disebut kedewasaan beragama, yaitu kesadaran untuk menerima kenyataan bahwa setiap orang bisa berbeda-beda dan tidak harus sama.