Tukang Obat dan Dongeng Makhluk Ajaib

Ilustrasi/suarabaru.id
Salah satu hal yang dulu sering saya lihat tapi sekarang jarang terlihat adalah tukang obat di pinggir jalan. Zaman saya SD, sering ada tukang obat yang membuat “pertunjukan” di pinggir jalan, dan menarik perhatian orang-orang yang lewat hingga berkumpul mengelilingi si tukang obat. Itu pemandangan biasa ketika saya masih kecil, dan saya juga sering ikut menyaksikan pertunjukan tersebut.

Biasanya, si tukang obat tampil sendirian, kadang pula bersama beberapa orang kalau pertunjukannya dilengkapi atraksi sulap atau semacamnya. Yang khas dari pertunjukan semacam itu adalah kemampuan si tukang obat ngoceh panjang lebar dan membuat penasaran orang-orang. Biasanya pula, si tukang obat memegang mic, dan suaranya dikeraskan loudspeaker atau toa, sehingga mampu menarik perhatian.

Dalam beberapa menit saja, orang-orang yang kebetulan lewat biasanya tertarik dengan keberadaan si tukang obat, dan mereka berhenti, mengerumuni si tukang obat, menyimak ocehan-ocehannya, sekaligus menantikan pertunjukan atau atraksi yang akan dimainkan. Mungkin, yang menjadikan orang-orang tertarik pada pertunjukan tukang obat karena di masa itu acara hiburan masih sangat jarang. Sehingga pertunjukan tukang obat di pinggir jalan mampu menarik perhatian banyak orang.

Nyatanya banyak tukang obat di masa itu mampu mempertunjukkan hal-hal menarik. Ada yang menyuguhkan atraksi sulap, ada yang bermain organ tunggal, ada yang hanya ngoceh tapi ocehannya menarik dan bikin penasaran, dan lain-lain.

Salah satu pertunjukan tukang obat yang masih sangat membekas di ingatan saya adalah tukang obat yang pernah saya saksikan di trotoar depan bioskop. Dia, tukang obat itu, seorang pria berusia 40-an, pintar ngoceh, dan dia menyembunyikan “makhluk aneh” yang waktu itu ia simpan dalam karung goni. Sampai cukup lama dia ngoceh tentang “makhluk aneh” itu, bikin orang-orang makin penasaran ingin melihatnya. Tapi si tukang obat sengaja mengulur-ulur waktu, tidak segera mengeluarkan “makhluk aneh” itu, dan menunggu sampai penonton sangat berjubel.

Di antara banyak orang yang berkumpul, saya berdiri memandangi si tukang obat dan karung goni di dekatnya, tertarik sekaligus penasaran ingin melihat “makhluk aneh” yang terus menerus ia ocehkan tapi tidak juga ia tunjukkan. Sepertinya, begitu pula yang dirasakan orang-orang di sekeliling saya waktu itu, mereka pasti ingin melihat “makhluk aneh” apa sebenarnya yang akan ditunjukkan si tukang obat.

Setelah cukup lama menunggu, dan setelah penonton yang datang kian berjubel, akhirnya si tukang obat mulai mengeluarkan “makhluk aneh” yang sedari tadi ia sembunyikan di dalam karung goni. Ia tarik “makhluk aneh” itu perlahan-lahan, dengan cara yang dramatis, dan para penonton berdebar.

Akhirnya, “makhluk aneh” itu benar-benar keluar dari karung goni—sesosok makhluk berupa hewan, berwarna kecokelatan, seukuran kucing, tapi seluruh tubuhnya dipenuhi duri-duri panjang yang tampak tajam. Para penonton tercekam. Saya ikut tercekam. Seumur-umur, baru kali ini saya menyaksikan hewan seaneh itu. Makhluk apakah gerangan?

Si tukang obat berkata, dengan nada dramatis, “Makhluk ini mendatangi saya ketika sedang bertapa di tengah hutan. Makhluk inilah yang memberi tahu saya mengenai obat yang saya cari-cari, obat yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Dan sekarang saya ingin mengenalkan obat itu kepada Anda semua.”

Penonton terdiam, menyimak. 

Si tukang obat membuka koper, mengeluarkan kotak berisi botol-botol kecil dengan cairan-entah-apa di dalamnya. Dia ambil salah satu botol, membuka tutupnya dengan dramatis, lalu berkata dengan sama dramatis, “Adakah di antara Anda yang lagi sakit, atau mengalami penyakit tertentu?”

Dari kerumunan penonton, muncul seorang pria yang mengeluhkan lehernya yang terasa kaku. Pria itu tampak tegang, dengan ekspresi seperti orang menahan sakit. Si tukang obat lalu mengoleskan cairan dari dalam botol pada leher penonton tadi, memijat-mijatnya sesaat, dan... ajaib, pria yang lehernya sakit itu langsung bisa menggerakkan kepalanya dengan santai, dan sekarang dapat tersenyum.

“Bagaimana sekarang? Sudah baikan?” tanya si tukang obat.

Pria yang sakit leher itu mengangguk. “Sekarang sudah tidak sakit sama sekali.”

Si tukang obat menyodorkan botol obatnya, dan mengatakan, “Anda bisa membeli obat ini, sebagai jaga-jaga kalau sakit leher Anda kambuh kembali. Cukup oleskan di bagian yang sakit, pijit-pijit sedikit kayak tadi, dan Anda akan langsung sembuh.”

Pria yang sakit leher langsung membeli obat ajaib itu.

Lalu si tukang obat kembali ngoceh sambil memegang mic, dan diakhiri dengan, “Ada lagi yang sakit atau menderita penyakit tertentu?”

Satu per satu orang dari kerumunan penonton maju ke depan, mengeluhkan aneka sakit yang dirasakan—di tangan, di kaki, di punggung, di kepala—dan si tukang obat mengoleskan cairan ajaibnya, dan mereka semua, yang sakit tadi, langsung sembuh seketika. Seiring dengan itu, semakin banyak orang yang membeli obatnya.

Klimaksnya terjadi ketika seorang pria datang menggendong pria temannya yang lumpuh, dan membawanya pada tukang obat tersebut. Sama seperti sebelumnya, tukang obat itu mengoleskan cairan ajaibnya pada bagian-bagian tubuh si orang lumpuh, memijat-mijatnya sesaat, dan orang yang lumpuh itu langsung bisa berdiri, berjalan, dan... selanjutnya adalah obat yang laris terjual.

Selama menyaksikan semua itu, jujur saja, saya terpesona. Para penonton yang lain mungkin sama terpesona seperti saya, buktinya obat yang dijual waktu itu langsung ludes dalam waktu singkat. Mereka pasti terpesona pada ocehan si tukang obat yang sangat meyakinkan, mereka pasti percaya pada keampuhan obat yang ditawarkan. Wong yang lumpuh saja langsung sembuh! 

Bertahun-tahun kemudian, ketika sudah dewasa, saya tersenyum sendiri kalau mengingat peristiwa itu... juga ngeri membayangkan bagaimana kebodohan—atau setidaknya ketidaktahuan—bisa dieksploitasi, dan pelakunya bisa mendapat banyak uang atau keuntungan dengan membodohi orang-orang lain.

“Makhluk aneh” yang dulu saya saksikan, yang berukuran seekor kucing, berwarna kecoletakan, dengan tubuh penuh duri panjang—yang diklaim si tukang obat sebagai makhluk ajaib yang memberinya obat ajaib—ternyata landak! Tapi waktu SD dulu saya belum tahu apa itu landak, dan belum pernah menyaksikan wujudnya, atau setidaknya gambarnya. Karenanya, ketika melihat hewan dengan bentuk seaneh itu, saya pun percaya itu “makhluk aneh” yang ajaib.

Lalu obat apa yang dijual si tukang obat waktu itu? Entahlah, mungkin air sumur yang dimasukkan botol. 

Tapi kenapa air dalam botol itu bisa mengobati aneka macam penyakit, yang dibuktikan orang-orang di waktu itu? Penjelasannya sederhana saja; para penonton yang mengeluh sakit—dari yang lehernya kaku sampai yang lumpuh tidak bisa berjalan—sebenarnya teman-teman si tukang obat! 

Semua bagian pertunjukan itu telah dirancang dengan sempurna, hingga mampu membodoh-bodohi orang-orang di zamannya. Mula-mula, si tukang obat memilih tempat strategis, yang dilewati atau didatangi banyak orang. Dia siapkan loudspeaker untuk mengeraskan suaranya, lalu ngoceh pakai mic hingga menarik perhatian orang-orang. 

Setelah orang-orang mulai berkumpul, dia mulai ngoceh soal “makhluk aneh” yang ia sembunyikan di karung goni, hingga orang-orang makin penasaran. Dia sengaja mengulur waktu, tidak segera mengeluarkan “makhluk aneh” itu, menunggu sampai penonton sangat banyak dan berjubel.

Setelah penonton sudah sangat banyak, dia lalu mengeluarkan “makhluk aneh” yang disembunyikannya, mengklaim apa saja yang dia inginkan, lalu mengenalkan obatnya. Di antara penonton yang berjubel, ada teman-teman si tukang obat yang telah menunggu moment itu, lalu muncul satu per satu dan mengeluhkan aneka penyakit. Si tukang obat mendemonstrasikan obatnya di hadapan penonton, dan satu per satu orang yang sakit itu sembuh semua. Ending-nya, obat yang ia jual segera laris dan habis, dan dia dapat cuan besar! 

Bagaimana pembodohan yang sangat vulgar semacam itu bisa dipercaya banyak orang? Karena di masa itu informasi dan pengetahuan masih sangat sulit diperoleh—wong landak saja belum dikenal orang-orang! Ingat, waktu itu belum ada internet, sementara koran dan majalah adalah konsumsi mahal. Bahkan televisi masih jadi barang mewah. Karenanya, pengetahuan orang-orang di masa itu bisa dibilang masih “terbelakang”, dalam arti belum semaju sekarang.

Andai tukang obat itu muncul sekarang, lalu ngoceh panjang lebar di pinggir jalan, orang-orang tidak akan terlalu mempedulikan, karena ada banyak kesibukan dan hiburan lain yang lebih menarik daripada mendengarkan ocehan tukang obat. Andai tukang obat itu muncul sekarang, dan mengeluarkan hewan yang ia klaim “makhluk ajaib”, orang-orang akan menertawakannya, karena tahu itu landak! Makhluk ajaib apaan?

Dan jika si tukang obat menawarkan obat yang ia klaim ajaib karena “dapat menyembuhkan penyakit apa pun”, orang-orang tidak akan langsung percaya. Mereka akan melakukan verifikasi untuk tahu apa obat yang ia tawarkan tersebut. Apakah obatnya sudah terdaftar di BPOM? Apa kandungan yang ada di dalam cairan botol itu? Siapa produsennya? Apa efek sampingnya? Dan lain-lain, dan lain-lain.

Orang-orang zaman dulu mudah dikelabui, karena masih minimnya persebaran informasi dan pengetahuan. Wong landak saja tidak tahu. Orang-orang zaman dulu masih percaya pada hal-hal ajaib ala tukang obat, tapi orang zaman sekarang makin skeptis dengan hal-hal semacam itu. Bagi orang zaman sekarang, jika sesuatu diklaim ajaib, sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen biasanya bohong. 

Ada orang-orang yang mendapat keuntungan dari kebodohan orang-orang lain. Karenanya, mereka pun berupaya agar orang-orang terus bodoh dan terbelakang, agar bisa terus dibodohi, dibohongi, dan dikelabui. Mereka sangat khawatir kalau orang-orang rajin belajar hingga makin pintar, karena akan sulit untuk dibohongi dan dibodohi lagi, sebab itu artinya keuntungan mereka akan terhenti.

Di saat zaman semakin maju dan modern, ada sebagian orang yang justru khawatir dan ketakutan... dan berusaha mati-matian untuk menarik kita kembali ke belakang.

Related

Hoeda's Note 3834484557481097095

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item