Teman Sejiwa

Ilustrasi/islampos.com
Dari semua teman yang saya miliki, setidaknya ada dua teman yang sejiwa, dalam arti teman yang benar-benar menjalani kehidupan serupa, sejak kecil sampai dewasa, hingga kami menjadi teman yang benar-benar bisa saling memahami dengan sepenuh empati. Salah satu dari dua teman itu adalah Thariq, teman zaman SMA.

Di SMA, sebagian bocah suka nongkrong di toilet sekolah, untuk merokok bareng, ketika jam istirahat. Saya dan Thariq “anggota tetap” di sana, dan kami sering “join”—istilah untuk dua orang yang menikmati sebatang rokok bersama. Belakangan, saya tahu, bocah-bocah yang suka merokok di toilet SMA itu sebagian besar—mungkin sampai 90 persen—berasal dari keluarga bermasalah. Termasuk saya dan Thariq, tentu saja.

Suatu waktu, ketika jam istirahat sekolah, saya dan Thariq nongkrong di toilet seperti biasa, untuk join merokok. Thariq menyodorkan botol obat merah ke saya, dan meminta agar saya mengoleskan obat merah itu ke punggungnya—dia tidak bisa melakukannya sendiri. Waktu saya akan mengoleskan obat merah sebagaimana yang ia minta, saya mendapati luka-luka memanjang di punggung Thariq.

“Kamu kenapa, Riq?” tanya saya.

Thariq menjawab, dia baru dianiaya ayahnya, saat tadi akan berangkat sekolah. “Dia mungkin stres mikir hidup,” ujar Thariq, “jadi melampiaskan kemarahannya ke aku.” 

Setelah saya mengoleskan obat merah ke luka di punggungnya, sebagaimana yang ia minta, kami lalu ngobrol sambil menikmati rokok. Thariq pun menceritakan soal luka mengerikan di punggung itu, dan saya mendengarkan. Waktu itu hanya ada kami berdua di sana.

Jadi, malam harinya, Thariq mengingatkan orang tuanya bahwa dia perlu bayar SPP (biaya sekolah yang dibayar per bulan). Thariq sudah beberapa kali ditagih petugas TU di sekolah, terkait keterlambatan SPP yang nunggak beberapa bulan. Orang tuanya menyatakan belum ada uang. Besok paginya, Thariq merasa enggan berangkat sekolah, karena khawatir kalau kembali ditagih petugas TU. Jadi, dia termenung usai sarapan di rumah, antara mau berangkat atau tidak.

Ayahnya bertanya kenapa dia belum juga berangkat. Thariq menjawab jujur kalau dia bingung mau berangkat sekolah, karena takut kembali diundang ke kantor TU. Entah bagaimana, ayahnya lalu marah, dan mengambil sapu, dan menghantamkannya pada Thariq. Dia menyuruh Thariq agar segera berangkat sekolah, sambil terus menghantamkan gagang sapu bertubi-tubi ke tubuh Thariq.

Penganiayaan semacam itu bukan pertama kali dialami Thariq—ia sudah biasa menghadapi kekerasan orang tuanya, ayah dan ibunya, hanya karena hal-hal sepele. Dan luka yang ia alami bukan hanya luka fisik, tapi juga luka psikis. Ayah maupun ibunya tidak hanya sering menganiaya secara fisik, tapi juga menganiaya dia secara psikis, dengan hinaan, caci-maki, sikap merendahkan, dan semacamnya.

Banyak orang—dan bisa jadi termasuk kalian—mungkin bertanya-tanya, “Apa iya ada orang tua yang sampai menganiaya anaknya hanya gara-gara masalah sepele seperti ditagih bayar SPP sekolah?”

Itulah masalah yang dihadapi anak-anak miskin yang teraniaya orang tuanya. Sangat jarang ada orang yang bisa berempati, karena kebanyakan orang mengukur orang lain dengan dirinya sendiri. Kebanyakan orang mengasumsikan semua orang tua di dunia ini baik pada anaknya, karena kebetulan memiliki orang tua yang baik, dan mengira semua orang tua sebaik orang tua yang dimilikinya. Padahal, ada banyak orang tua yang buruk dan kejam pada anak-anaknya.

Thariq juga bisa leluasa menceritakan nasib yang dialaminya kepada saya, karena... saya juga mengalami hal serupa! Fakta mengerikan tentang manusia; kebanyakan kita baru benar-benar bisa memahami sesuatu, jika mengalaminya sendiri. 

Sebelum luka di punggung itu, saya dan Thariq sudah sering bercerita tentang perlakuan orang tua kami di rumah. Kami sama-sama menyadari bahwa orang tua kami sangat pemarah karena tekanan kemiskinan. Mereka stres dan marah menghadapi kehidupan yang berat, dan melampiaskan kemarahannya pada anak-anaknya. [Kalau kamu berasal dari keluarga berkecukupan, dengan orang tua yang baik, kamu tidak akan bisa berpikir sejauh itu.]

Karena memiliki latar belakang yang sama, Thariq dan saya menjadi teman dekat selama di SMA. Karena saya hanya bisa bercerita kepada Thariq, dan Thariq hanya bisa bercerita kepada saya. Kami tidak mungkin bisa bercerita pada teman-teman kami yang lain, karena mereka tidak mengalami yang kami alami. Dan karena mereka tidak mengalami, mereka pun biasanya cenderung “menggampangkan”—misal mengatakan, “Orang tua galak itu biasa.”

Padahal, masalahnya tidak sesederhana “orang tua yang galak”. Masalah yang saya dan Thariq hadapi adalah orang tua yang terus menerus tertekan menghadapi kemiskinan dan tekanan hidup, dan tekanan stres tanpa henti itu menjadikan mereka sangat pemarah, hingga anak-anaknya menjadi korban. Luka-luka di tubuh kami adalah sebagian bukti yang kami alami. Dan ada lebih banyak luka lain yang tidak terlihat... karena tersimpan di dalam psikis dan jiwa kami.

Dan semua itu bukan tanpa dampak. Akibat penganiayaan fisik dan psikis yang hampir tiap hari kami alami sejak kecil, kami menjadi dua bocah yang brutal, pemarah dan temperamental. Di masa-masa SMA itulah kami pertama menyadari betapa kami bisa berubah menjadi “monster” ketika kemarahan yang mengendap di dalam diri kami berubah jadi energi yang sangat mengerikan. [Kelak, butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk “menjinakkan” monster di dalam diri saya sendiri.]

Lulus SMA, kami berpisah. Thariq merantau ke Thailand, melalui biro penyalur tenaga kerja. Tujuan dia merantau sebenarnya sederhana; ingin menjauh dari orang tuanya, sejauh-jauhnya. Sementara saya masih tinggal bersama orang tua, tapi tidak lama kemudian—sekitar dua tahun setelah lulus SMA—saya keluar dari rumah orang tua dan mengontrak rumah sendiri. [Ini terkait dengan keberhasilan bisnis yang saya ceritakan di catatan ini.]

Empat tahun kemudian, Thariq pulang dari perantauannya, dan membeli sebuah tanah, lalu membangun rumahnya sendiri. Saya dan Thariq kembali sering bertemu, menjalin kembali pertemanan seperti dulu, dan kami masih menjadi teman sejiwa—dua orang yang berteman karena saling memahami, saling bisa berempati, karena memiliki latar belakang yang sama. Bahkan sampai hari ini, kami masih memiliki kemiripan seperti di SMA dulu; sama-sama memiliki wajah murung. 

Ikhwal kemurungan yang sering menghiasi wajah itu bukan hanya karena trauma masa kecil yang ditimbulkan orang tua, tapi juga karena berbagai masalah yang ditimpakan orang tua kepada kami, ketika kami dewasa. Sekali lagi, inilah kesamaan yang menjadikan kami seperti teman senasib. 

Sedari kecil sampai SMA, kami sama-sama menghadapi kekerasan demi kekerasaan orang tua, sikap mereka yang menyakitkan, hingga kami merasa mengalami kerusakan fisik dan psikis. Selepas SMA, kami keluar dari rumah orang tua karena sadar bahwa orang tualah sumber penderitaan kami. Belakangan, ketika kami dewasa, orang tua menimpakan masalah demi masalah kepada kami.

Bagi banyak orang, kemiskinan serupa kutukan. Ia tidak hanya menekan orang untuk menghadapi aneka kesulitan dan kekurangan, tapi juga memerangkap orang untuk menghadapi masalah demi masalah yang nyaris tanpa henti. Jika kalian punya teman yang miskin dan orang tuanya kebetulan bodoh, tanyakan hal ini pada mereka, dan kemungkinan kalian akan mendengar penuturan yang sama. Saya dan Thariq menghadapi hal serupa, dan itulah yang merampas senyum dari wajah kami.

Selalu ada masalah, kata Thariq, suatu hari, dan masalah itu datang dari orang tua. Karena kami anak pertama, apalagi laki-laki, kamilah yang kemudian harus menanggung masalah demi masalah itu, hingga kami tidak sempat memikirkan hidup kami sendiri. Fakta bahwa kami sama-sama tidak menikah sampai sekarang, salah satunya karena khawatir... jika telah menikah lalu orang tua menimpakan masalah serupa, beban yang kami hadapi akan berkali lipat, karena kali ini ada istri [dan mungkin anak] yang juga harus diperhatikan.

“Kadang-kadang aku berpikir,” kata Thariq suatu malam, “orang tua melahirkanku hanya untuk menganiaya, merusakku sedemikian parah sejak aku kecil sampai besar, lalu menimpakan masalah demi masalah ketika aku dewasa.”

Ucapan semacam itu mungkin terdengar mengerikan bagi rata-rata orang, dan bisa jadi ada yang menilai Thariq melebih-lebihkan, lalu ngoceh dan ceramah panjang lebar, dan menghakimi Thariq anak durhaka dan bla-bla-bla. 

Tapi saya tahu semua kepahitan yang dialaminya, karena saya juga mengalaminya. Jadi, alih-alih menghakimi Thariq tanpa empati—sebagaimana yang mungkin dilakukan orang lain—saya hanya diam dan mendengarkan. Karena, bersama Thariq, saya menyadari, kami dua orang terluka yang saling menguatkan... dan saling menyadarkan bahwa kami tidak sendirian.

Related

Hoeda's Note 8639907124071790644

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item