Mengapa Orang-orang Menyukai Pengajian Gus Baha
https://www.belajarsampaimati.com/2023/08/mengapa-orang-orang-menyukai-pengajian.html
Ilustrasi/pikiran-rakyat.com |
Banyak orang menyukai ceramah-ceramah Gus Baha. Kita tahu hal itu, karena acara pengajiannya selalu penuh, dihadiri banyak orang, sementara rekaman ceramahnya ditranskrip banyak media, dan video-video pengajian Gus Baha di YouTube juga ditonton ratusan ribu hingga jutaan orang.
Jadi, mengapa banyak orang menyukai ceramah atau pengajian Gus Baha?
Setidaknya ada tiga alasan penting—dan bisa dibuktikan—kenapa jutaan orang, khususnya di Indonesia, menggemari ceramah dan pengajian Gus Baha. Pertama adalah luasnya referensi dan pengetahuan Gus Baha, khususnya dalam bidang agama. Kedua, karena Gus Baha berceramah dengan empati, bukan menghakimi. Dan ketiga, pengajian Gus Baha bersifat reflektif, bukan dogmatis.
Mari kita urai satu per satu, karena kita bisa belajar banyak hal dari tiga alasan itu, sekaligus memahami kenapa Gus Baha bisa menarik banyak orang untuk menghadiri pengajiannya, atau mendengarkan ceramah-ceramahnya.
Pertama, Gus Baha memiliki referensi dan pengetahuan yang sangat luas, khususnya di bidang agama. Secara objektif, kemampuan Gus Baha dalam retorika mungkin biasa-biasa saja—tidak memukau seperti Ustaz Zainuddin MZ [almarhum], misalnya. Tapi orang-orang senang mendengarkan ceramah Gus Baha, karena luasnya ilmu pengetahuan dan referensinya.
Saat menjelaskan sesuatu, misalnya, Gus Baha bisa mengambil penjelasan dari berbagai kitab sekaligus [karena mungkin sudah hafal di luar kepala], lalu menyampaikannya dengan “cetho” (jelas) ke peserta pengajian, lengkap dengan kesimpulan dan relevansinya untuk orang zaman sekarang. Penjelasan semacam itu mudah dipahami orang-orang tua, juga menarik bagi anak-anak muda. Karenanya, peserta pengajian Gus Baha merentang dari segala usia, karena semua orang merasa “related”.
Kedua, Gus Baha berceramah dengan empati, dan tidak menghakimi. Di YouTube, misalnya, ada banyak sekali rekaman ceramah atau pengajian Gus Baha. Ambil mana saja video itu secara acak, dan simak baik-baik. Dan saya hampir bisa memastikan, isinya penuh empati. Atau, kalau mau, simak semua video Gus Baha yang bisa kalian temukan di YouTube, dengarkan satu per satu, dan semua ceramah itu penuh empati.
Contoh yang paling terkenal adalah ceramah Gus Baha tentang puasa Ramadan. Gus Baha menjelaskan, kira-kira seperti ini, “Kalau misal ada tetangga yang tidak berpuasa, tidak perlu diributkan atau disalah-salahkan. Bisa jadi, dia sebenarnya sangat ingin berpuasa, tapi kondisinya tidak memungkinkan. Misal karena harus bekerja keras di siang hari. Dia tampak tidak berpuasa, tapi mungkin hatinya menangis, karena sebenarnya sangat ingin berpuasa.”
Tidak berprasangka atau menghakimi, tapi mengedepankan empati.
Dalam ceramah lain, Gus Baha menceritakan putri Abu Lahab, bernama Durrah, yang masuk Islam. Abu Lahab adalah penentang Nabi Muhammad yang sangat keras, sampai ada surat khusus dalam Alquran yang mengecam Abu Lahab (Surat Al-Lahab). Tetapi, putri Abu Lahab justru menjadi pengikut Nabi Muhammad. Kenyataan ini jadi problematis bagi Durrah. Di satu sisi, dia pengikut Nabi Muhammad. Tetapi di sisi lain, dia juga putri Abu Lahab, dan Alquran mengecam ayahnya terang-terangan. Tiap kali jadi makmum shalat, dan mendengar Nabi Muhammad membaca surat Al-Lahab usai Al-Fatihah, Durrah merasa dilematis.
Karena latar belakang itu, Durrah memberanikan diri menemui Nabi, dan mengatakan, “Bagaimana mungkin Anda menyakiti perasaan keluarga saya di depan saya?”
Sejak itu, tiap akan menjadi imam shalat, Nabi Muhammad memastikan terlebih dulu, apakah ada Durrah di antara makmum. Jika ada Durrah yang ikut menjadi makmum, Nabi tidak pernah membaca surat Al-Lahab, untuk menjaga perasaan Durrah.
Pesan dari kisah itu sangat jelas; empati.
Dalam banyak ceramahnya, saat membahas segala sesuatu terkait manusia, Gus Baha tidak pernah menghakimi, tapi selalu mengedepankan empati. Hasilnya, orang-orang yang ikut pengajiannya jadi adem, lebih bisa menerima perbedaan, belajar empati pada orang lain, tidak mudah menghakimi siapa pun, dan bukan malah merasa paling benar sambil menyalahkan orang lain.
Dalam perspektif saya, Gus Baha sengaja mengedepankan empati dalam setiap ceramahnya, karena menyadari bahwa manusia tidak punya hak mengakimi manusia lain, karena yang berhak menghakimi manusia hanyalah Tuhan. Jadi, alih-alih mengedepankan doktrinasi untuk merasa benar sendiri—yang mudah menggelincirkan orang untuk menghakimi orang lain—Gus Baha sengaja mengedepankan empati, agar orang-orang lebih mampu menerima setiap perbedaan dengan orang lain.
Karenanya, ketika mengikuti pengajian atau menyimak ceramah-ceramah Gus Baha, orang-orang merasa “dipahami”, bukan malah merasa “dihakimi”. Karena merasa dipahami, orang-orang pun semakin giat mengikuti pengajian dan menyimak ceramah-ceramah Gus Baha. Jadi wajar kalau jemaah Gus Baha semakin banyak dan semakin banyak. Karena orang-orang itu “merasa dipahami”. Itulah kunci menarik siapa pun, yang daya tariknya melebihi kekuatan magnet!
Kalau seseorang ngobrol denganmu, dan dia merasa dipahami, dia akan semakin senang ngobrol denganmu. Tetapi, kalau seseorang ngobrol denganmu, dan dia merasa dihakimi, dia akan menjauh darimu. Ini hukum psikologi yang bisa dibuktikan di mana pun, kapan pun, pada siapa pun. Tidak ada daya tarik yang lebih kuat di muka bumi, selain kemampuan membuat seseorang “merasa dipahami”.
Gus Baha melakukan hal itu; tidak pernah menghakimi, tapi mengedepankan empati, sehingga orang-orang merasa dipahami.
Ketika mendengarkan ceramah-ceramah Gus Baha, kita seperti menemukan ajaran agama yang teduh, menyadarkan sekaligus menenteramkan hati. Pengajian Gus Baha bersifat “memberi tahu dengan empati”, bukan “mendoktrin sambil menghakimi”, juga bukan “menyalahkan sambil merasa benar sendiri”.
Saat mengikuti pengajian Gus Baha, kita tidak akan merasa dimarahi, disindir, dikecam, atau semacamnya. Sebaliknya, kita akan merasa dipahami, diberi tahu dengan cara yang menyenangkan. Hasilnya, orang-orang makin mendekat pada pengajian, bukan malah menjauh dari pengajian.
Faktor ketiga yang menyebabkan banyak orang suka mengikuti pengajian Gus Baha, karena ceramahnya reflektif—bukan dogmatis. Perhatikan saat Gus Baha mengisi pengajian. Ketika berceramah, Gus Baha menggunakan cara yang santai, hingga lebih mirip obrolan, bahkan kerap diselingi guyon-guyon ringan seperti orang lagi “nyangkruk” biasa. Tidak ada nada keras yang terkesan mengancam atau menakut-nakuti ala ceramah dogmatis.
Terkait hal itu, Gus Baha pernah menjelaskan, kira-kira seperti ini, “Orang ikut pengajian itu kan karena ingin sinau (belajar) sekaligus melepas penat. Bapak-bapak yang ikut ngaji mungkin sudah lelah setelah seharian bekerja mencari nafkah. Ibu-ibu yang ikut ngaji juga mungkin sudah lelah setelah seharian mengurus rumah tangga. Kalau mereka datang ke pengajian, lalu saya mengancam mereka dengan siksa kubur dan siksa neraka, yo mesakno (kasihan).”
Jadi, dalam pengajian-pengajiannya, Gus Baha menempatkan diri sebagai “teman melepas penat”, bukan penceramah yang mendoktrin dengan setumpuk dogma. Tetapi, meski begitu, orang-orang selalu mendapat ilmu baru, pengetahuan baru, pemahaman baru, sekaligus kesadaran baru, tiap mengikuti pengajian Gus Baha. Siapa yang tidak suka pengajian adem dan menenteramkan hati seperti itu?
Dengan tiga kombinasi itulah, Gus Baha mampu menarik jutaan orang untuk ngaji bersamanya, dan orang-orang—dari segala usia—tidak bosan “ngangsu kawruh” (mendengarkan pengetahuan) dari Gus Baha. Bahkan, orang-orang nonmuslim juga ikut menyimak pengajian Gus Baha, karena tiga kombinasi tadi. Kita bisa membuktikan hal itu di YouTube. Di video-video Gus Baha, sering ada orang-orang nonmuslim yang berkomentar dengan nada positif, bahwa mereka nonmuslim tapi suka mendengar ceramah-ceramah Gus Baha.
Setiap zaman memiliki guru yang didengar, dan Gus Baha adalah salah satu guru yang didengar di zaman sekarang. Ceramah-ceramahnya yang empatik, tidak menghakimi, dan bersifat reflektif, benar-benar relevan dengan zaman sekarang.
Karena empatik, orang-orang tertarik. Karena tidak menghakimi, orang-orang merasa nyaman mengikuti pengajiannya. Dan karena tidak dogmatis, ceramah Gus Baha mempersatukan umat, bukan malah memecah-belah. Seperti ungkapan Ali bin Abi Thalib, “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”
Selalu sehat dan panjang umur, Gus Baha.