Gap dan Adaptasi

Ilustrasi/wallpaperbetter.com
Ketika saya kecil dulu, orang tua saya sering ngasih tahu bahwa saya harus selalu menghabiskan makanan di piring, karena, “Nasi yang tersisa akan menangis jika tidak dimakan.”

Anak-anak lain di zaman saya pasti juga pernah mendengar nasihat semacam itu, hingga berusaha menghabiskan makanan di piring, agar tidak ada nasi yang tersisa. Kita percaya, waktu itu, bahwa nasi di piring akan menangis jika tidak kita makan. Karena itu, kita pun tidak menyia-nyiakan makanan. Nasihat bagus untuk generasi kita.

Nasihat semacam itu—“nasi akan menangis jika disisakan”—relevan dan berfungsi untuk anak-anak zaman kita. Tetapi belum tentu berfungsi dan relevan untuk anak zaman sekarang. Jika kita sekarang ngasih tahu anak-anak bahwa “nasi akan menangis jika tidak dimakan”, bisa jadi mereka akan menjawab, “Nasi kok menangis?”

Anak-anak zaman sekarang mempertanyakan nasihat itu, bukan karena kurang ajar, tapi karena mereka hidup di zaman yang berbeda dengan zaman kita. Dulu, ketika kita masih kecil, kita kesulitan mengakses informasi, sehingga pengetahuan pun terbatas. Ketika diberi tahu bahwa “nasi akan menangis jika disisakan”, kita percaya, dan menurut, tanpa banyak ribut.

Tapi anak-anak sekarang hidup di zaman yang jauh berbeda dengan zaman kita. Kalau kita menasihati mereka agar menghabiskan makanan karena “nasi yang tersisa akan menagis”, mereka dapat membuka ponsel dan bertanya, “Benarkah nasi akan menangis jika disisakan?” Akibatnya, alih-alih akan menurut pada yang kita katakan, mereka bisa berpikir kalau kita berbohong. 

Dulu, kita tidak bisa mempertanyakan apa pun, sehingga semua yang dikatakan orang tua akan kita telan mentah-mentah. Tetapi, sekarang, anak-anak kita dapat mempertanyakan apa pun dengan mudah, sehingga kita tidak bisa lagi menggunakan nasihat seperti yang dulu dikatakan orang tua kepada kita.

Cerita lain. Dulu, waktu SD, saya pernah bertanya pada guru di sekolah, “Mengapa langit tidak runtuh, padahal tidak ada tiang yang menyangga?” 

Guru saya menjawab, “Itu adalah bukti kebesaran Tuhan. Keagungan Tuhan mampu menciptakan langit yang kokoh tanpa tiang penyangga.”

Saya mengangguk puas dengan jawaban guru saya waktu itu, dan saya percaya itulah jawabannya. 

Tetapi, sekarang, umpama saya jadi guru SD, dan ada murid yang menanyakan hal sama, apakah murid saya akan puas dengan jawaban serupa? Kemungkinan besar, tidak! 

Jika murid saya bertanya kenapa langit tidak runtuh padahal tanpa tiang penyangga, dan saya menjawab bahwa itu adalah bukti keagungan Tuhan (sebagaimana guru saya dulu menjawab pertanyaan saya), murid saya tidak akan puas. Dia akan kembali mempertanyakan jawaban itu.

Murid saya bisa kembali bertanya, misalnya, “Saya percaya bahwa langit tidak runtuh adalah bukti keagungan ciptaan Tuhan. Tapi bagaimana mekanismenya? Bagaimana penjelasannya?” 

Murid saya mempertanyakan jawaban saya, bukan karena kurang ajar, tapi karena dia hidup di zaman yang berbeda dengan zaman saya dulu.

Ini adalah gap (“jarak antara”) yang sering terjadi antara orang zaman dulu dengan orang zaman sekarang, khususnya di dunia pendidikan. Para guru, orang tua, atau pendidik di zaman sekarang, kadang lupa bahwa anak sekarang menghadapi zaman berbeda dengan zaman mereka dulu.

Di zaman saya kecil dulu, misalnya, mendapat jawaban sederhana bisa langsung membuat saya puas. Tapi bagi anak zaman sekarang, jawaban sederhana tidak akan membuat mereka puas, dan mereka akan terus bertanya sampai puas. Kenapa? Karena kita kini hidup di zaman informasi!

Sekali lagi, ini adalah gap yang sering tidak disadari orang tua, guru, dan para pendidik. Sekian puluh tahun lalu, ketika kita masih kecil, informasi adalah barang mahal dan langka. Tapi anak-anak sekarang hidup di zaman yang jauh berbeda, di tengah arus deras informasi, ketika informasi tentang apa pun melimpah ruah, dan mudah didapatkan siapa saja.

Setiap orang tua, guru, dan pendidik, hanya punya dua pilihan: Memberikan informasi/jawaban yang benar untuk anak-anak didik kita... atau membiarkan anak-anak didik kita mencari jawabannya sendiri, dan bisa jadi mereka akan menemukan jawaban salah! 

Kita tidak bisa memperlakukan anak-anak zaman sekarang seperti kita memperlakukan anak-anak zaman dulu. Karena dunia telah jauh berubah, peradaban telah jauh berubah, dan mereka menghadapi zaman yang jauh berbeda dengan zaman kita kecil dulu.

Teknologi dan informasi mengepung anak-anak zaman sekarang dari berbagai sisi, dengan segala informasi, berita, sampai doktrinasi, yang bisa jadi keliru. Kita mungkin bisa mengekang mereka, tapi sampai kapan? Satu-satunya cara sehat hanyalah beradaptasi dengan zaman!

Beradaptasi dengan zaman artinya ikut masuk dalam arus besar informasi yang saat ini terjadi, dan memberikan jawaban yang benar untuk setiap pertanyaan, menunjukkan saran yang positif dan relevan untuk setiap masalah, menyampaikan pengetahuan yang bisa didiskusikan bersama, dan bukan hanya memaksakan suatu hal yang tak boleh dipertanyakan.
 
Seperti pertanyaan soal langit tadi. Ketika saya kecil dulu, saya puas dengan jawaban bahwa langit tidak runtuh karena itu adalah bukti keagungan Tuhan. Tapi anak zaman sekarang tidak akan puas dengan jawaban semacam itu. Sekali lagi, ini bukan karena mereka kurang ajar, tapi ini adalah zaman mereka... dan zaman mereka berbeda jauh dengan zaman saya!

Setiap generasi memiliki zaman sendiri. Kita memiliki zaman kita sendiri, dan anak-anak kita memiliki zaman mereka sendiri. Kita tidak bisa memaksa anak-anak untuk menjalani zaman kita, karena zaman itu sudah berlalu di belakang. Kita hanya bisa beradaptasi dengan zaman mereka.

Adaptasi! Itulah satu-satunya cara survival agar kita bisa menghadapi zaman yang terus berubah. Tanpa adaptasi, kita akan punah... ditinggalkan, dilupakan, atau malah ditertawakan. Tak peduli kita menganggap hal-hal di masa lalu [atau di zaman kita] sebagai sesuatu yang hebat dan luar biasa, semua itu sudah berlalu.

Jadi, sekarang, kenapa langit tidak runtuh meski tidak ada tiang yang menyangga? 

Tentu saja, saya bisa menjawab dengan sederhana, “Itulah bukti keagungan Tuhan, hingga bisa menciptakan langit yang tak butuh tiang.” Tapi kalian pasti akan ngamuk kalau saya menjawab begitu, kan?

Kalian tentu butuh jawaban rasional, yang tidak terkesan menggampangkan, sehingga jawabannya benar-benar bisa membuat kalian puas. Untuk itu, saya telah menuliskan jawabannya di sini: Mengapa Langit Tidak Runtuh, Padahal Tanpa Tiang Penyangga? 

Kalau kamu kebetulan guru sekolah, dan sewaktu-waktu ada muridmu yang menanyakan kenapa langit tidak runtuh, dan kamu ingin memberi jawaban yang “aman”, kamu bisa menyatakan, “Langit tidak runtuh meski tanpa tiang, karena itu adalah bukti keagungan Tuhan. Tapi jika kalian ingin penjelasan ilmiahnya, mari kita mulai...”

Kamu bisa mengutip jawaban saya tadi, dan kamu bisa menggambarkan penjelasan saya dengan mudah di papan tulis. Uraiannya sangat sederhana, hingga bisa dipahami anak SD sekalipun. 

Inilah adaptasi. Dan adaptasi terbaik yang bisa kita lakukan sepanjang zaman—khususnya di zaman sekarang—adalah belajar tanpa henti. 

Related

Hoeda's Note 3863511887022213582

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item