Bukti Twitter Mudah Menyulut Keributan dan Salah Paham

Ilustrasi/volkpop.id
Sebuah grup musik era ’90-an—sebut saja band X—mengadakan konser, dan didatangi banyak orang. Itu sesuatu yang hebat, karena menunjukkan grup musik yang mungkin sudah dianggap “kuno” masih mampu menarik banyak penonton untuk datang ke konsernya. Karenanya, banyak orang di Twitter yang membicarakan konser tersebut, waktu itu.

Salah satu pengguna Twitter menulis tweet, yang isinya kira-kira seperti ini, “Hebat ya, band X. Masih tetap eksis dan tetap digemari. Jadi ingat, si Anu sekarang kabarnya gimana, ya?”

“Si Anu” yang dimaksud dalam tweet itu adalah salah satu personil band lain yang juga pernah eksis di era ’90-an.

Tweet tadi masuk ke timeline saya, karena rekomendasi Twitter. Ketika membaca tweet itu, perasaan saya netral saja, dan memahami maksud tweet itu sepenuhnya. Bahwa si penulis tweet mengapresiasi band era ’90-an yang masih eksis dan digemari, lalu dia ingat band lain yang juga eksis di era ’90-an yang kebetulan tidak dia tahu kabarnya sekarang. 

Tweet itu, setidaknya bagi saya, tidak tendensius. Sebutan “Si Anu” yang ada di tweet-nya juga tidak dimaksudkan sebagai serangan atau semacamnya.

Tetapi, kemudian muncul sesuatu yang tidak terduga. Si Anu, yang disebut di tweet tadi, tiba-tiba muncul dan terkesan menyerang tweet tadi. Rupanya dia juga menggunakan Twitter, dan mendapati tweet yang tadi menyebut namanya. Dan, entah bagaimana, dia sepertinya tersinggung dan menyerang si penulis tweet. Saya tahu hal itu, karena tweet-tweet Si Anu juga muncul di timeline saya, karena rekomendasi Twitter.

Si penulis tweet awal tadi sepertinya tidak menanggapi “serangan” Si Anu. Mungkin dia bingung, kenapa tweet-nya yang netral mendapat tanggapan seprovokatif itu.

Kisah itu hanyalah satu dari banyak kisah lain yang pernah terjadi di Twitter. Orang nge-tweet secara netral, dalam arti tidak bermaksud menyerang siapa pun, lalu ada pihak lain yang merasa diserang, lalu marah. Ini seperti kita tidak sengaja papasan dengan orang lain di jalan, dan sedikit kesenggol, dan dia langsung ambil celurit. Twitter kadang-kadang bisa semengerikan itu.

Saya sendiri pernah jadi korban “pembacokan” di Twitter, gara-gara kesalahpahaman.

Sekitar enam tahun lalu, saya mem-follow seorang penulis yang juga terkenal di Twitter. Selain punya banyak follower, tweet-tweet penulis itu juga sering di-retweet banyak orang, hingga sering muncul di timeline saya. Saya pun mem-follow dia karena menyukai tweet-tweet-nya, selain juga membaca buku-bukunya. Karena rasa suka pula, saya me-retweet beberapa tweet-nya, waktu itu. Untuk memudahkan cerita, mari sebut dia dengan nama Si Ana.

Kebetulan, bersamaan dengan itu, saya sedang ngobrol (lewat mention) dengan Klara Virencia di Twitter (saat ini, akun Twitter Klara Virencia sudah tidak ada.) Waktu itu, Viren dan saya sedang membicarakan suatu berita perkosaan, namun isi berita itu terkesan menyalahkan si korban. Bahkan, judul berita itu sudah menghakimi si korban. Kalau tidak salah ingat, judul berita itu berbunyi, “Karena ke warung cuma pakai handuk, wanita ini diperkosa”.

Judul berita semacam itu jelas tidak objektif, karena memosisikan [atau setidaknya mengesankan] korban sebagai pihak yang bersalah. Sudah judulnya kacau, isi beritanya juga sama; mengesankan korban sebagai pihak yang bersalah. 

Viren dan saya membicarakan berita itu di Twitter, melalui mention. Kami sama-sama sepakat bahwa berita itu ditulis asal-asalan, tidak memenuhi kaidah jurnalistik yang benar, dan sepertinya memang dimaksudkan untuk mengundang klik (clickbait). Waktu itu, saya sempat menulis mention, mengatakan pada Viren, bahwa tulisan itu (berita yang kami baca) benar-benar kacangan.

Rupanya, Si Ana—penulis yang saya follow tadi—stalking ke akun saya. Karena waktu itu saya sedang ngobrol dengan Klara Virencia, dia pun mungkin mendapati mention-mention saya, dan dia salah paham. Ketika saya menyebut istilah “kacangan” di mention, Si Ana mengira kami sedang membicarakannya, dan dia tersinggung.

Mungkin ini terdengar lucu. Tapi dia benar-benar marah. Saat itu pula, Si Ana menulis rangkaian tweet yang sangat jelas ditujukan kepada saya, dan menyebut-nyebut istilah “kacangan” di tweet-nya. Mungkin, dia mengira saya dan Viren menyebut tulisannya sebagai “kacangan”, padahal yang kami bicarakan waktu itu adalah berita yang kami baca—bahkan link berita itu nempel pada mention kami, sehingga mudah dilihat. Terkait tulisan Si Ana, saya justru menyukai tulisannya, karena karya-karyanya memang bagus.

Apa yang terjadi setelah itu?

Karena rangkaian tweet Si Ana tadi sangat jelas, saya pun jadi tidak nyaman. Saya pikir, “Nih orang kenapa nggak klarifikasi dulu, sih?” Karena jengkel pula, saya pun unfollow akun dia di Twitter, dan menghapus tweet-tweet miliknya yang tadi sempat saya retweet. 

Itu bukti kalau Twitter sepertinya memang rentan menyulut kesalahpahaman sekaligus kemarahan orang. Hal ini mungkin terjadi karena tweet atau penulisan yang tidak rapi, sehingga rentan menimbulkan salah paham. Atau tweet-nya rapi—dengan tanda baca yang tepat, dan mestinya bisa dipahami maksudnya dengan mudah—tapi kita kebetulan membaca tweet itu ketika sedang badmood, hingga salah paham, lalu terprovokasi.

Kenyataannya, menulis di Twitter itu susah-susah gampang, mengingat jumlah karakter yang disediakan Twitter memang terbatas [kecuali kalau kita langganan Twitter Blue.] Dengan karakter terbatas per tweet, kita harus mampu menyampaikan maksud kita dengan jelas, lengkap, plus tanda baca yang tepat, hingga maksud tweet itu bisa dipahami siapa pun tanpa mengundang salah paham. Sejujurnya, itu bukan hal mudah bagi setiap orang. 

Karenanya, saya kadang curiga, Twitter sengaja membatasi karakter tweet [untuk non-pelanggan Blue] dengan tujuan agar terus terjadi keributan di platformnya, agar orang-orang terus menggunakan Twitter.

Tentu saja, di Twitter memang ada orang-orang yang suka memancing keributan, dengan tweet-tweet provokatif, dan sengaja mengundang kemarahan orang lain. Sebagian mereka bahkan ada di Twitter dengan tujuan itu, entah apa motivasi atau latar belakangnya. Kalau tidak suka dengan tweet-tweet provokatif yang memancing keributan semacam itu, mute atau blokir saja. Itu lebih baik bagi kesehatan mental kita.

Ada banyak akun positif di Twitter, yang mendidik, menginspirasi, menambah wawasan dan pengetahuan, atau setidaknya lucu dan menghibur. Yang mana pun kita follow, itu hak kita sepenuhnya. Begitu pun, kita bisa menggunakan Twitter untuk hal-hal positif atau sebaliknya, dan itu pilihan kita. 

Related

Hoeda's Note 8428408514465111253

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item