Tiga Wanita, Tiga Cinta
https://www.belajarsampaimati.com/2023/07/tiga-wanita-tiga-cinta.html
Ilustrasi/dawainusa.com |
Berapa kali seseorang mengalami peristiwa “jatuh cinta” dalam hidupnya? Mungkin sekali, dua kali, tiga kali, atau lebih. Berapa kali seseorang menjalin hubungan istimewa dengan orang yang dicintainya? Mungkin sekali, dua kali, tiga kali, atau lebih. Itu fenomena yang dialami banyak orang di mana-mana, dengan berbagai kisah yang bisa jadi berbeda-beda.
Kisah cinta dalam hidup saya dimulai ketika kelas 2 SMP. Waktu itu saya jatuh cinta pada seorang perempuan adik kelas, sebut saja namanya Nadia. Tapi ya sebatas itu, bahwa saya jatuh cinta kepadanya—titik. Karena bersekolah di SMP yang sama, kami saling kenal, dalam arti saling mengenal wajah—sudah, hanya itu.
Ketika SMA, dia kembali jadi adik kelas saya, dan saya masih jatuh cinta kepadanya. Tapi, seperti yang terjadi di SMP, kami hanya saling tahu atau saling kenal, dan tidak terjadi apa-apa. Namanya anak SMA, waktu itu, ketemu atau melihat orang yang dicintai saja sudah sangat senang.
Lulus SMA, Nadia kuliah di sebuah perguruan tinggi, sementara saya tidak bisa melanjutkan kuliah. Belakangan, ketika kehidupan saya lebih baik hingga punya biaya untuk kuliah, saya pun mendaftar kuliah di kampus tempat Nadia kuliah. Waktu itu dia sudah menggarap skripsi, yang artinya hampir lulus. Tapi di kampus itulah kami mulai saling kenal secara wajar—mungkin karena sudah sama-sama dewasa, jadi tidak malu-malu lagi seperti ketika masih remaja.
Saya masih jatuh cinta kepadanya, seperti ketika SMP hingga SMA. Dan dia juga sepertinya tahu kalau saya jatuh cinta kepadanya, dan memberikan respons yang baik. Mestinya happy ending seperti kisah-kisah dalam novel, kan?
Sayangnya tidak. Waktu itu, bisa dibilang saya baru kenal [secara wajar] dengan Nadia, dan saya merasa tidak etis kalau tiba-tiba menyatakan niat menjalin hubungan serius dan bla-bla-bla. Saya pikir, jauh lebih baik kalau kami saling mengenal terlebih dulu. Tetapi, sebelum saya sempat melangkah lebih jauh, Nadia dijodohkan orang tuanya dengan seseorang, yang sepertinya masih famili.
Tidak perlu saya jelaskan bagaimana patah hati saya waktu itu—kalian bisa membayangkannya. Saya mendapat undangan resepsi pernikahannya, dan saya datang. Meski tanpa hal-hal dramatis seperti video yang biasa muncul di Twitter.
Sekitar satu tahun setelah itu, saya naksir perempuan lain, teman sekampus, sebut saja namanya Dian. Kami seangkatan, tapi beda kelas, dan saling kenal. Dia perempuan bersahaja, dengan sikap dewasa, dan, makin sering melihatnya, saya makin jatuh cinta kepadanya. Singkat cerita, kami kemudian dekat. Tapi belakangan saya tahu kalau dia sudah bertunangan dengan pria yang jadi pacarnya sejak SMA.
Kami tetap dekat, waktu itu, tapi bagaimana pun dia sudah tunangan, dan saya tentu harus tahu diri. Dian juga tahu kalau saya jatuh cinta kepadanya, dan kami sama-sama tahu “harus berhenti di sini”.
Lalu, suatu hari, Dian menikah—dengan tunangannya, tentu saja. Dan saya merasa kehilangan. Bagaimana pun, saya mencintainya, dan kami juga punya hubungan dekat. Jadi, ketika dia menikah, saya merasa kehilangan. Saya datang ke resepsi pernikahannya, merasa sedih, tapi juga sadar sejak awal bahwa saya akan kehilangan dia.
Waktu-waktu berlalu. Menginjak semester lima, saya dekat dengan perempuan lain, bernama Karina. Dia adik angkatan saya di kampus, dan sejak awal sudah sangat terkenal di kalangan para mahasiswa—kalian pasti paham alasannya. Saat Karina berjalan, cowok-cowok di kampus memandanginya dengan tatapan memuja. Saya tidak punya perasaan apapun kepadanya, karena sadar, “Siapalah aku ini?”
Berdasarkan yang saya dengar waktu itu, sudah tak terhitung banyaknya cowok di kampus yang menyatakan cinta kepadanya, dan ditolak—sebagian bahkan teman-teman saya sendiri. Karenanya, saya cukup tahu diri untuk tidak menambah panjang daftar itu.
Sejak awal, saya hanya sekadar tahu Karina, bahwa dia adik angkatan saya di kampus, bahwa cowok-cowok memujanya, dan saya, dengan segala kesadaran, merasa tidak perlu mendekatinya, karena... ya buat apa? Jadi, saya tidak punya perasaan apa-apa kepadanya, selain sadar bahwa dia—meminjam ungkapan teman-teman di kampus—“ayune ora umum” (cantiknya tak masuk akal).
Tapi namanya “jodoh”, jalannya benar-benar tak terduga. Waktu itu saya mengalami kecelakaan parah—seperti yang saya sebutkan di catatan ini—dan harus cuti kuliah sampai satu semester. Ketika masuk kuliah kembali, ada beberapa mata kuliah yang tertinggal, dan saya harus mengikuti mata kuliah itu bersama para mahasiswa yunior [yang semesternya di bawah saya].
Kampus saya menerapkan sistem pendidikan student center; para mahasiswa menulis makalah, mempresentasikannya di kelas, dan dosen hanya berperan sebagai fasilitator. Saat mengikuti beberapa mata kuliah bersama mahasiswa yunior itulah, tanpa sengaja saya sekelas dengan Karina.
Ketika mendapat giliran mempresentasikan makalah, saya pun melakukannya seperti biasa—duduk di depan kelas, ngoceh panjang lebar, menjelaskan isi makalah, menjawab pertanyaan-pertanyaan rekan sekelas terkait isi makalah, dan... waktu itu saya berdebar-debar, karena berkali-kali bertemu pandang dengan Karina.
Saat melakukan presentasi, saya sebenarnya sudah biasa ditatap banyak orang. Di luar presentasi untuk urusan kuliah, waktu itu saya juga sering diundang jadi pembicara untuk acara-acara ekstra kampus—terkait kampus sendiri maupun kampus-kampus lain—jadi sudah terbiasa mendapat fokus atau perhatian dari audiens saat sedang berbicara atau presentasi. Tapi waktu melakukan presentasi di kelas Karina, dan mendapati tatapannya, saya merasa... salah tingkah.
Ketika mata kuliah itu selesai, dan para mahasiswa keluar dari kelas, Karina mendekati saya, dan berkata, “Aku suka sekali melihatmu presentasi tadi.”
“Thanks.” Saya tersenyum, sambil berharap hidung saya tidak mimisan.
Dari situlah kemudian kami mulai akrab. Sejak itu, setiap saya presentasi untuk mata kuliah lain, dan kebetulan bersama kelas Karina, saya mulai terbiasa dengan tatapannya. Tetapi bahkan sampai di situ, saya belum memiliki ketertarikan khusus kepadanya. Sebagai pria, saya hanya menyadari bahwa dia wanita yang sangat cantik. Tetapi apakah saya jatuh cinta kepadanya? Saya tidak yakin.
Perasaan cinta itu baru tumbuh ketika kami mengikuti acara Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Alam, yang berkemah di suatu tempat, selama tiga hari. Selama di tempat kemah, saya melihat sosok Karina yang lain—bukan wanita mempesona yang membuat para mahasiswa mimisan, tapi sosok perempuan sederhana yang kesehariannya tampak bersahaja. Selama acara kemah itu saya bisa menyaksikannya secara intens, dan akhirnya benar-benar mengenalnya.
Ada waktu-waktu saat saya bercakap-cakap dengan Karina, di acara kemah itu, dan saya mulai merasakan ketertarikan khusus kepadanya. Yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang adalah suatu pagi, ketika kami duduk-duduk di atas beton yang memisahkan lokasi perkemahan dengan perkampungan penduduk, lalu lewat seorang ibu penjual sarapan. Kami membeli beberapa jajan, lalu menikmatinya di sana, sambil bercakap-cakap. Diam-diam, saya berpikir, “Hidupku akan indah sekali jika bisa menikmati pagi seperti ini setiap hari.”
Pulang dari acara kemah, kami semakin dekat di kampus, dan saya mulai sering dolan menemuinya. Lanjutannya, seperti yang sudah kalian duga, kami lalu jadian.
Tetapi, hidup saya waktu itu sedang jatuh di titik nol [seperti yang saya ceritakan di sini], dan saya sedang berusaha membangun kembali kehidupan saya yang runtuh. Karenanya, saya tidak bisa fokus memberikan seluruh waktu dan perhatian saya kepada pacar, karena saya juga harus membangun hidup saya kembali. Karina tidak mempersoalkan hal itu, dan hanya mengatakan, “Aku percaya kepadamu.”
Itulah saat-saat ketika saya merasa mencintai sekaligus dicintai seseorang dengan sepenuh hati. Karina tahu kondisi saya saat itu, dan dia tidak mempersoalkan ketika saya tidak datang menemuinya di malam Minggu, atau tidak mengajaknya keluar di akhir pekan. Belakangan, ketika saya akhirnya memutuskan drop out dari kampus agar lebih fokus membangun hidup, kami semakin jarang ketemu. Tetapi, ucapan Karina selalu menenteramkan saya, “Aku selalu percaya kepadamu.”
Dia percaya kepada saya... dan saya merasa “mengkhianati” kepercayaannya. Setelah dia lulus kuliah dan wisuda, saya masih fokus mengerjakan sesuatu yang saat itu sedang saya bangun. Dia mulai menyinggung pernikahan, dan saya mengatakan, “Kalau kamu mau menungguku, kita akan menikah, setelah aku menyelesaikan yang sedang kukerjakan.”
Dia mungkin mau menunggu, tapi orang tuanya tidak. Karena saya belum juga memberikan kepastian, orang tua Karina menjodohkannya dengan pria lain. Saya tidak bisa menyalahkan, karena nyatanya memang belum mampu memberi kepastian. Itu saat-saat yang paling menyakitkan, ketika saya harus memilih antara mengejar impian hidup... atau menikah dengan wanita yang saya cintai. Dan saya memilih yang pertama.
Life must go on. Untuk ketiga kalinya, saya menghadiri resepsi pernikahan wanita yang saya cintai, dan kali ini yang paling terasa menyakitkan. Saat menyaksikannya, hari itu, saya merasa itu menjadi saat terakhir saya melihatnya. Dan rasanya seperti mimpi. Wanita yang begitu dekat dengan saya, yang pernah membuat saya jatuh cinta, yang membuat saya merasa begitu dicintai... kini pergi. Melanjutkan hidupnya. Dan saya harus melanjutkan hidup saya sendiri.
Itu menjadi kisah cinta terakhir dalam kehidupan saya.
Sejak itu, hingga bertahun-tahun kemudian, setiap kali merasa tertarik pada seorang wanita, saya selalu menahan diri. Saya tidak ingin hal sama terulang; menjalin hubungan, lalu belakangan sama-sama merasa sakit karena harus berpisah. Ini bukan trauma, tapi kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sebelum saya “siap lahir batin” untuk berbagi hidup dengan seorang wanita, saya tidak akan menjalin hubungan apapun dengan wanita... bahkan jika saya jatuh cinta kepadanya. Saya pikir itu lebih baik, daripada memaksa diri menjalin hubungan dan kemudian berakhir sama.
Saya akan tahu ketika saat itu tiba, ketika saya benar-benar siap untuk berbagi hidup dengan seseorang yang saya cintai dan mencintai saya. Dan ketika saat itu tiba, saya akan mulai membuka hati, dan jatuh cinta... sekali lagi.
Ora umum, aku jadi keinget sama bisnis skema ponzi yang itu. Hehe.
BalasHapusOmong-omong soal cinta, memang sering kali bikin sakit hati. Bukan karena tidak saling mencinta, namun ada hal-hal yang memang harus berpisah. Keputusan yang berat.
Waktu sama Enny, aku juga mengambil keputusan yang super berat. Saat itu kuliahku belum selesai. Tinggal skripsi doang. Ada sih pekerjaan freelance, tapi akhirnya tutup juga startup tempatku bekerja ini karena modalnya habis gara2 investornya kurang perhitungan, dia juga invest di bidang lain dan zonk. Akhirnya terdampak di tempat kerjaku juga.
Bahkan setelah menikah dengan Enny, banyak hal berat terjadi. Untungnya, dia mempercayaiku, dia memberikan dukungan moral dan semangat. Kita saling menguatkan. Dan tahun 2015, kondisi ekonomi kami jauh meningkat.
Aku percaya, Karina adalah tipikal seperti Enny. Dia sangat mengerti apa yang pria butuhkan. Cewek kayak gini langka sekali. Beneran dah.
Maka dari itu, aku bener-bener memperjuangkan untuk dapat Enny dan aku tidak menyesalinya.
Omong-omong, dulu Enny juga akan dikenalkan dengan seseorang, adik dari tetangganya. Kok ya untungnya, aku mendahuluinya. Aku lamar di saat tetangganya itu mau mengenalkan ke adiknya. Tentu saja Enny pilih aku, yang udah 1 tahun lebih berinteraksi.
Dari tulisan ini, aku semakin tahu alasanmu mengapa tidak menikah hingga saat ini. Tentu, mendapatkan "Karina" yang lain tidak mudah. Apalagi dia punya "spek" yang mendekati sempurna.
Semoga kamu ketemu "Karina" yang lain di kemudian hari. Selalu ada potensi untuk itu. Aku percaya itu.
Yang MLM atau skema ponzi itu bukan "ora umum", John, tapi "hora umum", pakai H, hahaha.
HapusKayaknya kamu nangkep bener yang aku maksud dalam tulisan ini. Yang bikin sulit nemu pasangan tuh sebenarnya bukan sekadar "sulit nemu pasangan", tapi "sulit nemu pasangan yang tepat".
Kalau sama pacarku dulu, aku ngerasa kami benar-benar cocok, baik dalam latar belakang, gaya hidup, dan lain-lain. Makanya aku mantap banget waktu itu kalau sampai menikah sama dia, karena ya udah yakin nemu yang "cocok", hingga gak ingin yang lain. Masalahnya, nyari yang semacam itu yang sering kali sulit.
Kalau cari yang sekadar cantik itu mudah, atau cantik dan pintar pun mungkin masih mudah. Tapi kalau sudah menyangkut latar belakang, gaya hidup, pola pikir, itu yang sering kali sulit. Kayak nyari sebutir permata di antara banyak kerikil.