Seorang Pria Membeli Prangko

Ilustrasi/koranbernas.id
Di zaman SMA sampai masa kuliah, saya sering bertandang ke kantor pos, untuk membeli prangko, mengirim surat, mencairkan weselpos, dan lain-lain. Ini terkait kesukaan saya mengirim tulisan ke majalah-majalah yang terbit di era itu.

Pada era ’90-an, ketika saya SMA, ada majalah-majalah yang sangat terkenal di kalangan remaja, semisal ANEKA Yess!, MODE, HAI, Ceria, dan lain-lain. Majalah-majalah itu menerima tulisan dari pembaca—cerpen, puisi, atau artikel populer—dengan honorarium yang bisa nambah uang jajan. Saya suka mengirim tulisan ke majalah-majalah itu, dan karenanya sering datang ke kantor pos untuk mengirim surat/naskah.

Sebenarnya, tanpa harus ke kantor pos, saya juga bisa mengirim surat, yaitu lewat bis surat. Anak sekarang mungkin tidak tahu apa itu bis surat. 

Bis surat adalah sarana yang disediakan kantor pos untuk memudahkan siapa pun mengirim surat tanpa harus datang ke kantor pos. Jadi, pihak kantor pos menempatkan semacam kotak tertutup berukuran cukup besar, terbuat dari besi, dengan lubang yang cukup untuk memasukkan surat yang tebal. Bis surat itu ada di mana-mana, di seluruh penjuru kota, dan biasa berdiri di tempat-tempat strategis, tempat banyak orang berlalu lalang. 

Orang yang mau kirim surat bisa memanfaatkan bis surat di daerahnya masing-masing, tanpa harus datang ke kantor pos. Cukup masukkan surat dalam amplop yang rapi, tuliskan alamat yang dituju, dan bubuhkan prangko secukupnya. 

Setiap hari, biasanya sekitar pukul 08.00 dan pukul 16.00, ada petugas pos yang berkeliling memeriksa bis-bis surat, dan mengambil surat-surat yang masuk ke situ, untuk kemudian dikirimkan ke alamat yang dituju. Jika kita memasukkan surat ke bis surat pada pukul 11.00, misalnya, surat itu akan diambil dan ditangani sore hari.

Lalu bagaimana dengan prangkonya? Banyak toko yang juga menyediakan prangko, sehingga tidak perlu ke kantor pos untuk mendapatkannya. Namun, prangko yang dijual di toko biasanya memiliki selisih harga dibanding kalau beli langsung di kantor pos. Faktor itu pula yang menyebabkan saya sering ke kantor pos, demi menghemat pengeluaran dalam urusan beli prangko. 

Pada masa itu (ketika saya masih SMA), setiap datang ke kantor pos, saya kerap ketemu seorang pria yang tampaknya juga sering berurusan dengan kantor pos. Pria itu berpenampilan sederhana, dan usianya jelas lebih tua dari saya. Kadang kami ketemu di loket waktu akan beli prangko, kadang pula kami ketemu di depan kantor pos. Karena sering ketemu, kami pun saling mengenal wajah.

Di depan kantor pos ada tempat parkir yang sangat luas, juga pohon-pohon yang rindang. Di bawah pohon ada tempat duduk panjang, yang biasa diduduki tukang parkir di sana, dan kadang saya ikut duduk kalau pas capek dan ingin menikmati silir-silir angin di bawah pohon rindang. Pria yang biasa saya temui tadi juga suka duduk di tempat yang sama, jadi kami pun kadang terlibat percakapan.

Suatu hari, ketika lagi duduk bersama di depan kantor pos, sambil menikmati angin silir-silir, pria itu bertanya, “Kayaknya sering beli prangko di sini, ya?”

“Iya, Bang,” jawab saya. “Soalnya saya sering kirim naskah ke majalah, jadi sering butuh prangko.”

Pria itu manggut-manggut, sepertinya dia paham apa itu “kirim naskah ke majalah”, sehingga tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Dia juga sering beli prangko ke kantor pos, dan kemungkinan juga sering melakukan korespondensi, jadi dia mungkin orang yang relatif berpendidikan.

Menyambung percakapan tadi, saya bertanya, “Abang juga kayaknya sering beli prangko. Buat apa, Bang?”

“Ngirim lamaran kerja,” jawabnya.

Di depan kantor pos, ada papan besar yang dilindungi kaca—mirip majalah dinding di sekolah—berisi lowongan kerja, yang digunting dari aneka koran. Jadi mirip kliping, namun hanya berisi lowongan kerja. Tujuan kantor pos memasang papan pengumuman itu tentu bukan hanya untuk membantu orang-orang yang sedang butuh lowongan kerja, tapi juga untuk meningkatkan penjualan prangko.

“Kok kayaknya sering banget beli prangko, Bang?” tanya saya lagi. “Apa emang sering ngirim lamaran kerja?”

“Iya,” dia menjawab. “Di papan sana itu kan ada banyak lowongan kerja. Saya kirim beberapa lamaran. Kalau ditunggu nggak ada kabar, saya kirim lagi beberapa lamaran, dan gitu seterusnya.”

“Dan sampai sekarang belum ada yang nyantol?”

“Belum. Makanya saya terus beli prangko, buat ngirim lamaran kerja yang lain. Udah nggak kehitung berapa lamaran yang saya kirim. Tapi sampai sekarang belum ada satu pun yang nyantol.”

“Mungkin belum rezekinya, Bang,” kata saya, mencoba menghibur.

Pria itu tertawa. “Belum rezekinya kok sampai puluhan kali. Belum rezekinya itu satu dua kali. Kalau sudah puluhan kali, kayaknya bukan ‘belum rezekinya’, tapi mungkin rezeki saya memang bukan di situ.”

“Jadi, rencana Abang gimana?”

“Saya mau mutusin berhenti, nggak akan kirim surat lamaran lagi. Ini kayaknya hari terakhir saya ke kantor pos. Kalau surat lamaran yang tadi saya kirim tetap nggak ada kabar, ya udah, saya nggak akan nyoba lagi. Mungkin saya mau jualan aja.”

Itu menjadi percakapan terakhir saya dengan pria tersebut di kantor pos. Sejak itu, setiap kali saya datang ke kantor pos untuk beli prangko, saya tidak pernah melihatnya lagi. Mungkin dia menunaikan janjinya bahwa jika surat lamaran terakhir yang ia kirim tidak mendapat balasan—sebagaimana surat-surat lamaran sebelumnya—ia akan berhenti mengirim surat lamaran, dan “mau jualan aja”. Mungkin waktu itu dia sudah melakukan upaya lain, mulai berjualan, entah apa dan di mana. Saya tidak tahu siapa pria itu, saya tidak tahu namanya, juga tidak tahu di mana dia tinggal.

Sampai beberapa tahun kemudian, ketika kuliah, saya masih sering bertandang ke kantor pos. Keperluannya masih sama; beli prangko, kirim surat atau naskah, atau mengirim paket buat teman. Dan selama bertahun-tahun itu, saya tidak pernah lagi menjumpai pria yang dulu sering saya temui di kantor pos saat membeli prangko.

Kantor pos di kota saya masih ada, berdiri di tempat yang sama, bahkan bangunannya telah dimodernisasi hingga jauh lebih baik dibanding saat saya masih SMA. Namun, kantor pos sekarang menghadapi gempuran persaingan luar biasa dengan perusahaan-perusahaan ekspedisi swasta. Saya tahu hal ini saat ngobrol dengan petugas kantor pos, juga dari berita-berita yang saya baca.

Dulu, ketika saya masih SMA, bisa dibilang kantor pos mendominasi jasa pengiriman surat dan barang. Untuk keperluan pengiriman surat, dokumen, atau barang apa pun, masyarakat hanya kenal kantor pos untuk urusan itu. Tetapi, makin ke sini, makin banyak perusahaan ekspedisi swasta yang bergerak di bidang sama, dan kantor pos mungkin “terlalu tua untuk bersaing keras”. 

Seperti yang kita saksikan sekarang, makin sedikit toko yang menjual prangko, karena makin sedikit orang yang kirim surat lewat kantor pos. Bis-bis surat yang dulu ada di mana-mana, kini tak lagi ada.

Saat ini, kalau orang butuh mengirim surat, dokumen, atau barang, mereka bisa mendatangi kantor-kantor biro ekspedisi swasta yang ada di mana-mana. Apalagi setelah meroketnya marketplace di internet, jasa ekspedisi jadi mirip warung rokok. Ada di setiap seratus meter. Karena tiap hari ada banyak orang yang butuh mengirim barang. Karenanya pula, sekarang kedatangan tukang pos tergantikan oleh kedatangan kurir ekspedisi.

Dulu, tukang pos mengantarkan surat ke rumah orang-orang dengan mengendarai sepeda. Saya tidak menyaksikan masa itu. Karena, sejak pertama mengenal urusan pos, petugas yang datang ke rumah saya sudah naik motor. Yang jelas, naik sepeda atau naik motor, kedatangan tukang pos selalu disambut ramah orang yang didatangi, karena petugas pos membawakan surat dari orang-orang yang dirindukan—saudara di tempat jauh, famili yang merantau, atau setidaknya sahabat pena yang dikenal lewat majalah.

Saya termasuk yang senang melihat tukang pos datang ke rumah, karena sering menerima kiriman surat. Dari majalah-majalah yang saya kirimi naskah, juga dari orang-orang yang jadi sahabat pena di luar kota. 

Kini, semakin jarang saya menerima surat dari tukang pos, sebagaimana saya juga semakin jarang melihat petugas pos melewati jalanan kampung seperti yang saya lihat bertahun-tahun lalu, dengan sepeda motor berwarna kecokelatan khas kantor pos. Ya, perusahaan pos tidak hanya bersaing dengan perusahaan-perusahaan ekspedisi swasta, tapi juga bersaing dengan teknologi. E-mail sampai media sosial, juga sarana chatting di ponsel, telah banyak menggantikan surat menyurat. Kantor pos makin sepi, tukang pos makin jarang terlihat, dan prangko mungkin kini koleksi kuno yang berharga.

PT Pos Indonesia berada di persimpangan zaman, antara masa lalu dan masa sekarang. Kantor pos pertama, yang didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) oleh Gubernur Jenderal G.W Baron van Imhoff pada 26 Agustus 1746, menjadi tonggak awal bagi berlangsungnya sebuah bisnis tertua di Indonesia yang masih beroperasi... hingga bisnis raksasa itu sekarang berhadapan dengan disrupsi dunia modern. 

Selama dua setengah abad, kantor pos menjadi perusahaan mirip gurita di Indonesia, karena tentakel atau cabangnya ada di mana-mana, di setiap kota, di setiap kabupaten, bahkan yang paling pelosok sekalipun. Sepertinya tidak ada bisnis lain yang terstruktur dengan skala lebih besar dari kantor pos. Selain usianya yang sangat tua, kantor pos adalah perusahaan raksasa dalam arti sebenarnya. Tetapi, usia tua dan ukuran raksasa itu tampaknya “sempoyongan” ketika harus berhadapan dengan kemajuan zaman. 

Seperti yang saya sebut tadi, kantor pos di kota saya masih ada sampai sekarang, dan tetap berfungsi sebagai kantor pos. Tetapi, konon, ada kantor pos di kota-kota lain yang telah beralih fungsi—disewakan untuk retail minimarket, atau bahkan hotel. Jika itu benar, sepertinya agak menyedihkan. Tapi bisa jadi pula pihak kantor pos memahami bahwa “rezeki mereka sekarang bukan di bisnis surat menyurat”. 

Omong-omong soal rezeki, saya hampir melupakan pria yang dulu sering ketemu di kantor pos, karena sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Sebenarnya, saya bahkan tidak tahu siapa dia, saya juga tidak tahu siapa namanya, dan di mana dia tinggal. Tetapi, suatu hari, saya kembali bertemu dengannya secara tak terduga.

Saya penggemar batagor. Jadi, tiap lewat di suatu tempat dan mendapati penjual batagor, saya selalu tergoda untuk mampir, ingin mencoba batagor di sana. Suatu waktu, tanpa sengaja saya mendapati penjual batagor di pinggir jalan yang saya lewati. Saya pun berhenti, mampir di sana. Ternyata, penjual batagor itu pria yang dulu sering saya temui di kantor pos, ketika saya masih SMA.

Dia masih mengenali saya, meski saya hampir tak mengenalinya, karena dia telah jauh berubah. Ketika melihat saya, pria itu menatap saya sejenak, lalu berkata, “Ini yang dulu sering ketemu saya di kantor pos itu, kan?”

Saya langsung nangkep kalau dia adalah “pria yang itu”. Jadi, saya pun mengangguk, dan menyahut, “Iya, Bang. Nggak nyangka ketemu di sini.”

Kami pun lalu bercakap-cakap, sambil saya menikmati batagor. Dia cerita, karena dulu surat lamaran terakhirnya tidak mendapat tanggapan, dia pun memutuskan untuk jualan batagor, dan belakangan menetap di tempat yang saya temukan waktu itu. “Sepertinya rezeki saya di sini,” ujarnya.

Ketika saya akan pergi setelah menghabiskan batagor dan sebatang rokok, dia berkata dengan senyum ramah, “Sering-sering ke sini, lah, sambil bernostalgia.”

Batagornya enak. Dan, ya, saya akan sering menemuinya di sana.

Related

Hoeda's Note 5086680493726251448

Posting Komentar

  1. pengalaman yang keren
    dan ingatan bapak itu juga keren
    benar2 langka
    aku sampe saat ini belum ketemu tukang jualan sari kedelai waktu SD ku dulu, yang sering aku beli

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang Jawa suka ngomong "durung rejekine" (belum rezekinya) ke orang yang terus terusan gagal atau belum juga berhasil. Dari kisah ini, aku sadar bahwa kalau berkali-kali gagal bukan berarti "durung rejekine", tapi mungkin karena rejekinya bukan di situ.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item