Saat Hidup Jatuh di Titik Nol
https://www.belajarsampaimati.com/2023/07/saat-hidup-jatuh-di-titik-nol.html
Ilustrasi/greatmind.id |
Hidup sering kali tidak berjalan mulus atau selalu enak. Jangankan bagi rata-rata kita yang terlahir dari keluarga biasa, bahkan orang-orang yang lahir dari keluarga kaya pun kadang harus menghadapi kenyataan ketika perjalanan hidup tiba-tiba menukik tajam, dan jatuh ke titik nol.
Di YouTube, saya pernah menyimak podcast beberapa orang terkenal yang memberi pengakuan mengejutkan; mereka lahir dalam keluarga kaya, memiliki karier cemerlang, mendapat kelimpahan uang dan kemewahan, lalu, tiba-tiba, hidup mereka seperti runtuh. Penyebabnya macam-macam, dari kebangkrutan usaha, pekerjaan yang mandeg, sampai terdampak pandemi. Tapi mereka bangkit lagi, dan berharap bisa meraih kehidupan yang lebih baik.
Tempo hari, saya ngobrol dengan Iskandar di DM Twitter, dan menanyakan kepadanya mengenai suatu perusahaan di Surabaya. Dulu, saya pernah berhubungan dengan perusahaan tersebut, dan kerap menjalin komunikasi dengan pemimpinnya—seorang pria dengan jiwa kebapakan yang “ngayomi”—yang biasa saya panggil Pak Gun.
Ketika kemudian Pak Gun meninggal, sekian tahun lalu, hubungan saya dengan perusahaan tadi bisa dibilang selesai. Tempo hari, saya menanyakan pada Iskandar, mengenai kabar perusahaan tersebut. Karena tinggal di Surabaya, Iskandar mungkin tahu perusahaan yang saya maksud. Menurut Iskandar, perusahaan itu sepertinya telah tutup—sesuatu yang sebenarnya sudah saya duga, semenjak meninggalnya Pak Gun.
Saya punya semacam ikatan batin dengan perusahaan di Surabaya itu, karena mereka “menyelamatkan” saya ketika kehidupan saya jatuh di titik nol—bertahun-tahun lalu. Dan saya teringat pada mereka, setelah membaca kisah Aris Idol dan Andhara Early, yang diberitakan mengalami nasib serupa; jatuh ke titik nol.
Aris Idol terdampak pandemi Corona tempo hari, hingga tak bisa bekerja sama sekali. Akibatnya, dia mengalami kesulitan ekonomi, sampai tidak punya uang. Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia mencoba menawarkan gitar kesayangannya pada rekan-rekan sesama artis.
Belakangan, gitar itu dibeli Raffi Ahmad, senilai Rp13 juta—harga yang diminta Aris Idol. Begitu mendapat pembayaran dari Raffi, Aris Idol langsung beli nasi Padang, karena belum makan seharian. Bahkan seorang artis, yang, dalam pemikiran awam, mudah mencari uang, sampai mengalami kondisi semacam itu. Dan bukan hanya Aris Idol yang dihantam pandemi, ada banyak artis lain yang mengalami nasib serupa.
Andhara Early, yang dikenal sebagai model dan pembawa acara, juga termasuk artis yang terdampak pandemi. Dia dan suaminya tak memiliki pekerjaan, sampai belakangan Andhara Early memutuskan bikin makanan untuk dijual di kantin sekolah, dan nyambi jadi sopir antar jemput anak-anak.
Hidup kadang begitu tak terduga. Suatu waktu, kita bisa saja terangkat ke angkasa, menikmati keberlimpahan, lalu, tiba-tiba, hidup menjatuhkan kita sampai ke jurang, dan kita harus merangkak untuk kembali naik. Sebagian kita berhasil keluar dari jurang, sebagian lain mungkin masih bersusah payah untuk terus merangkak naik, dan sebagian lain lagi mungkin sudah menyerah—kita tak pernah tahu.
Pada awal 2000, misalnya, teman-teman sepergaulan saya—yang rata-rata dari kalangan menengah ke bawah—tiba-tiba berubah kaya semua. Pada waktu itu, kain ATBM (Asli Tenun Bukan Mesin) mengalami booming, dan teman-teman saya kebetulan tinggal di kompleks yang menjadi pusat produksi kain ATBM. Dengan modal seadanya, mereka merintis usaha tersebut, dan, tidak lama kemudian, bisnis langsung melesat, karena memang sedang booming.
Mereka yang tadinya rata-rata pakai motor butut pemberian orang tua, berubah mengendarai mobil semua. Dan mereka terus bertambah kaya, karena bisnis sedang bagus-bagusnya.
Lalu, seperti bisnis musiman lain, booming kain ATBM perlahan-lahan surut. Beberapa tahun kemudian, usaha mereka rontok satu per satu, mobil-mobil mulai dijual, uang yang tadinya deras mengalir mulai sulit didapatkan. Sebagian beruntung karena mampu bertahan, meski susah payah, sebagian lain gulung tikar. Hidup mengangkat mereka ke atas, lalu membanting ke bawah.
Hal serupa juga saya alami. Pada waktu yang sama, saya mengalami hal serupa, tapi di bidang lain. Pada waktu itu, seiring naiknya era Reformasi, Indonesia mengalami booming media massa. Jumlah media cetak yang semula hanya ratusan, waktu itu berubah jadi ribuan, beredar gencar di seluruh Nusantara.
Waktu itu, ribuan media cetak—koran, tabloid, majalah—dalam berbagai bidang dan genre beredar di Indonesia, dan masyarakat luas mengalami euforia keasyikan membaca. Dalam seminggu, ada puluhan juta eksemplar media cetak yang didistribusikan untuk para pelanggan dan pembaca di mana-mana.
Di tengah tumbuhnya media cetak yang waktu itu booming luar biasa, saya melihat peluang untuk membangun bisnis. Waktu itu usia saya 17 tahun, baru lulus SMA, dan bekerja sebagai buruh pabrik. [Saya tidak melanjutkan kuliah, waktu itu, karena ketiadaan biaya.] Berkat banyaknya buku dan bacaan lain yang telah saya baca sejak kecil, saya cukup memahami bisnis media cetak, serta cara kerjanya.
Singkat cerita, saya membangun bisnis dengan fondasi media cetak yang waktu itu sedang booming... dan dua tahun kemudian saya menjadi bocah kaya-raya! [Uraian mengenai bisnis yang saya bangun waktu itu sangat panjang sekaligus sangat teknis, jadi tidak mungkin saya uraikan di sini.]
Ketika berusia 19 tahun, dengan segala yang saya capai waktu itu, saya merasa memiliki segala hal yang saya inginkan—sebagai bocah. Itu benar-benar membuai saya, atau siapapun, yang mengalaminya. Berasal dari kemiskinan, tak mampu melanjutkan kuliah, hingga bekerja sebagai buruh pabrik, lalu berhasil mencapai sukses luar biasa ketika usia masih sangat belia.
Dimanjakan uang yang mengalir deras, saya mengontrak rumah mewah, waktu itu, lalu mendaftar kuliah di sebuah perguruan tinggi. Saya merasa berada di puncak dunia... hingga tidak menyadari bahwa booming media cetak tidak abadi.
Setelah beberapa tahun mengalami booming luar biasa—dan artinya hidup saya benar-benar dimanjakan kemewahan—bisnis media di Indonesia mengalami masa surut. Media massa yang semula berjumlah ribuan perlahan menyusut jadi ratusan, dan terus menyusut. Bisnis yang saya bangun, dengan fondasi media cetak, seketika runtuh, dan saya merasa jatuh dari puncak dunia.
Itu menjadi “kejatuhan” saya yang pertama. Dengan segala ketegaran, saya berusaha bangkit, dan memulai perjalanan baru. Tapi, jujur saja, bangkit setelah jatuh rasanya sangat sulit sekaligus berat, karena ada beban mental. Apalagi jika jatuhnya sampai di titik nol, seperti yang waktu itu saya alami. Titik nol itu terjadi, karena media-media yang menjadi fondasi bisnis saya runtuh bersamaan. Artinya, bisnis saya juga praktis berhenti, karena ambruk total!
Ketika pertama kali membangun bisnis, saya berawal sebagai bocah miskin. Kalaupun ternyata gagal dan saya tetap miskin, tidak ada beban mental apapun, wong nyatanya sejak awal saya memang miskin. Tapi setelah sukses, kemudian harus memulai dari nol lagi, beban mentalnya sangat terasa. Bagaimana pun, orang-orang sudah mengenal saya sebagai bocah kaya, waktu itu. Ketika saya harus memulai dari nol lagi, rasanya berat luar biasa. Ada beban mental, sekaligus ketakutan pada kegagalan. Dan, sering kali, inilah yang menjadikan orang tetap gagal.
Di masa itu, ada waktu-waktu ketika saya hanya duduk dan berpikir, semalaman, sambil merokok, memikirkan apa yang harus saya lakukan. Seiring waktu, uang tabungan saya terus tersedot untuk biaya hidup, sementara pemasukan tidak ada sama sekali. Perlahan namun pasti, tabungan saya terus menyusut, sementara saya belum menemukan solusi untuk mengatasi masalah yang saya hadapi.
Klimaksnya terjadi, ketika saya mengalami kecelakaan parah, dan butuh waktu lebih dari setahun untuk kembali pulih. Singkat cerita, kehidupan saya akhirnya benar-benar kandas, jatuh di titik nol.
Pulih dari sakit akibat kecelakaan, saya mendapati uang saya telah habis, dan saya seperti orang yang kalut, tak tahu harus memulai dari mana. Pada waktu itu, booming media cetak di Indonesia bisa dibilang sudah selesai. Jadi saya tidak mungkin meneruskan bisnis di bidang yang sama.
Setelah cukup lama frustrasi memikirkan dan menjalani hidup yang kembali susah, waktu itu, sesuatu datang dan seolah menyelamatkan saya dari keputusasaan. Sebuah perusahaan di Surabaya menghubungi saya, dan menawarkan kerja sama yang tidak mungkin saya tolak. Pemimpin perusahaan itu menjelaskan maksudnya menelepon saya, lalu mengatakan, “Kami memiliki semua sumber daya, tapi kami butuh otakmu.”
Jadi, perusahaan di Surabaya itu tahu bisnis yang saya bangun di media cetak, dan ingin menduplikasinya tanpa harus tergantung pada media cetak. Sebelumnya, saya memang sempat terpikir ide itu, tapi saya tidak bisa mengeksekusinya, karena membutuhkan modal dalam skala raksasa. Perusahaan di Surabaya itu menawarkan kerja sama; saya menciptakan sistemnya, dan mereka akan mendukung (membiayai) sistem yang saya ciptakan. [Kalau dalam istilah sekarang, yang saya alami waktu itu mungkin semacam investor yang mendanai startup.]
Saya langsung menjawab, “Oke.” Setelah itu, saya memutuskan drop out dari kampus, untuk fokus membangun sistem bisnis baru. Sejak itu pula, hidup saya mulai merangkak naik.
Yang tidak pernah saya lupakan, tawaran dari perusahaan di Surabaya itu datang ketika saya sedang putus asa menatap kehidupan, saat jatuh di titik nol. Bagi saya, itu seperti uluran tangan yang datang ketika saya nyaris tenggelam. Karenanya, ketika saya menerima tawaran itu, dan kami lalu bekerja sama, saya tidak hanya menganggap itu sebagai bisnis semata, tapi juga tali kasih yang mengikat hati saya dengan lembut.
Karena latar belakang itulah, saya kemudian akrab dengan pemimpin perusahaan tadi—yang saya panggil Pak Gun—bukan hanya karena kerja sama yang kami jalani, tapi juga karena saya menganggap perusahaannya telah menolong saya dari keputusasaan.
Belakangan, kami masih berkomunikasi, meski tidak lagi bekerja sama, sampai kemudian dia meninggal dunia. Sejak itu, hubungan saya dengan perusahaannya bisa dibilang terputus... sampai kemudian saya membaca berita tentang Aris Idol dan Andhara Early. Berita tentang mereka mengingatkan saya pada diri sendiri, yang juga mengingatkan saya pada orang-orang yang mengulurkan tangan dan pertolongan.
Saat hidup tiba di titik nol, kita akan merasa sangat, sangat jatuh. Tekanan mental, frustrasi, putus asa. Di saat itu, kita mungkin bisa istirahat sejenak, mengumpulkan kesabaran sekaligus kekuatan, untuk kemudian bangkit dan kembali melangkah. Karena hidup belum selesai... dan, siapa tahu, di tengah perjalanan, ada sesuatu yang indah tengah menanti?