Rajin Azan tapi Tidak Pernah Shalat

Ilustrasi/thecolumnist.id
Di Twitter, saya pernah mengatakan bahwa salah satu obat stres saya adalah ziarah ke makam wali, khususnya di hari biasa (bukan di waktu haul), sehingga suasana makam begitu hening, sunyi, tenang, dan jauh dari keramaian (selengkapnya, baca di sini). Saat menikmati kesunyian dan keheningan semacam itu, saya merasa mendapat suntikan energi, stres saya jauh berkurang, dan semangat hidup saya meningkat.

Orang yang mengenalkan saya pada aktivitas ziarah adalah Gandi (bukan nama sebenarnya), seorang teman dari zaman SMA. Saya telah berteman dengan Gandi selama bertahun-tahun, dari masih remaja sampai kini dewasa. Saya sering dolan ke rumahnya, dan dia juga sering dolan ke rumah saya. Karenanya, orang tua saya kenal Gandi, dan orang tua Gandi juga kenal saya. Bahkan, saking seringnya saya dolan ke tempat Gandi, sampai para tetangga Gandi juga mengenal saya.

Jadi, dulu, sebelum ada ponsel, saya sering dolan ke rumah Gandi sewaktu-waktu, tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Kadang-kadang, pas saya sampai di rumahnya, Gandi sedang keluar. Orang tua Gandi biasanya meminta saya menunggu, dan saya pun duduk-duduk di depan rumah. Biasanya pula, ada tetangga di sana yang nyamperin, lalu kami ngobrol-ngobrol. Dari situlah kemudian saya mengenal para tetangga di lingkungan Gandi.
 
Memasuki masa kuliah, Gandi dan saya mulai jarang ketemu, karena dia kuliah di Kairo. Jadi, biasanya kami ketemuan kalau pas dia pulang. 

Belakangan, setelah lulus kuliah, Gandi merintis usaha tenun, dan membangun rumah sendiri di dekat rumah orang tuanya. Karena kesibukan masing-masing, kami tidak bisa sesering dulu ketemuan. Meski begitu, kami masih saling mengunjungi, dan para tetangga Gandi juga masih seramah dulu.

Suatu waktu, setelah memberi tahu saya ingin dolan, saya datang ke rumah Gandi—kali ini ke rumahnya sendiri, bukan ke rumah orang tuanya—dan mendapati pintu depan terkunci. Saya menelepon ke ponselnya, dan Gandi menjelaskan, “Sori, aku lagi kejebak macet di Pemalang. Kayaknya ada kecelakaan.”

Seperti biasa, saya pun menunggunya pulang. Saat lagi merokok sendirian, ada tetangga di sana nyamperin, “Nunggu Gandi, ya?”

Saat saya bilang kalau Gandi lagi terjebak macet di Pemalang, dia menawari, “Tunggu sini aja, sambil ngobrol-ngobrol.”

Kami lalu ngobrol-ngobrol di depan rumahnya, sambil merokok. Seiring obrolan yang mengalir, dia berkata, “Temanmu itu (Gandi) kok aneh, ya. Dia tuh sering azan di mushala, tapi nggak pernah kelihatan ikut shalat.”

“Hah?” saya kaget. 

Dia lalu menjelaskan, “Kalau zuhur sama asar, dia selalu azan di mushala. Tapi habis azan, dia pulang, nggak ikut shalat di mushala. Malah pernah, pas waktu isya, dia datang ke mushala, lalu azan, terus pulang... nggak ikut shalat bersama yang lain.”

Sampai di situ, saya langsung paham apa yang sebenarnya terjadi. Tapi saya tidak tahu bagaimana menanggapinya. 

Lalu dia melanjutkan, “Sebenarnya, aku nggak masalahin hal itu. Ibadah kan urusan orang dengan Tuhannya, bukan urusan orang lain. Cuma, jujur aja, aku—juga warga yang lain—bertanya-tanya, kenapa kok Gandi rajin azan di mushala, tapi nggak pernah ikut shalat di mushala.”

Akhirnya saya berkata, “Kenapa kamu nggak nanyain langsung ke Gandi?” 

“Nggak enak, lah,” dia menjawab. “Seperti yang aku bilang tadi, ibadah itu urusan privat orang dengan Tuhannya. Orang mau shalat atau nggak, ya itu urusan dia, bukan urusan orang lain. Umpama Gandi nggak pernah azan di mushala, aku juga nggak akan ngeributin dia shalat atau nggak. Cuma, karena Gandi rajin azan di mushala, orang-orang jadi heran...”

Lingkungan tempat tinggal Gandi memang lingkungan yang moderat, dengan masyarakat yang relatif terpelajar. Jadi, mereka juga relatif bisa membedakan mana yang urusan pribadi dan mana yang bukan. Dalam hal ibadah shalat, misalnya, banyak orang di sana yang tidak pernah ke mushala, tapi tidak ada yang meributkan. Karena mereka menyadari, ibadah (dalam hal ini shalat) adalah urusan privat manusia dengan Tuhannya, dan masing-masing orang menyadari bahwa itu bukan urusan orang lain. 

Nah, sekarang... coba tebak, kenapa Gandi rajin azan di mushala—sebagaimana yang dikatakan tetangganya tadi—tapi tidak pernah ikut shalat berjemaah di mushala?

Sejujurnya, saya baru tahu kalau Gandi ternyata rajin azan di mushala di tempat tinggalnya. Tetapi, saya benar-benar tahu alasan atau latar belakang Gandi tidak pernah ikut shalat berjemaah di mushala. Saya tidak berani mengatakan alasannya pada si tetangga tadi, karena merasa tidak berhak menjelaskan. Fakta bahwa tetangga Gandi tidak tahu apa penyebab Gandi tidak pernah ke mushala, artinya Gandi sendiri tidak pernah memberitahukannya.

Sekarang, saya akan ungkapkan alasannya di sini. Saya telah meminta izin pada Gandi, dan dia mengizinkan, namun dia meminta namanya disamarkan—dan saya telah memenuhi permintaannya. 

Alasan atau latar belakang Gandi tidak pernah ikut shalat berjemaah di mushala, padahal dia rajin azan di sana, karena dia seorang hafiz (penghafal Al-Qur’an).

Ketika seorang muslim telah hafal isi Al-Qur’an, dia punya kewajiban menjaga hafalannya sampai mati. Karenanya, bagi para hafiz (penghafal Al-Qur’an), yang sulit dari menghafal Al-Qur’an sebenarnya bukan proses menghafalnya, tapi menjaga hafalannya. Menghafal Al-Qur’an bisa dilakukan sewaktu-waktu, tapi menjaga hafalan Al-Qur’an harus benar-benar meluangkan waktu. [Tanyakan pada siapa pun yang juga hafiz, dan mereka akan menjawab begitu.]

Karenanya pula, para hafiz biasanya memiliki waktu-waktu khusus untuk menjaga hafalannya—biasa disebut muraja’ah (baca lebih lanjut di sini: Apa itu Muraja’ah dalam Penghafalan Al-Quran?) Dalam hal ini, Gandi, teman saya, menggunakan aktivitas shalat untuk menjaga hafalannya. Jadi, tiap kali shalat, dia bisa lama sekali shalatnya, karena surat Al-Qur’an yang dibaca dalam shalat adalah lanjutan hafalannya dari hari ke hari. Biasanya, Gandi rutin mengkhatamkan seisi Al-Qur’an dalam waktu satu-dua bulan, yang dibacanya dalam aktivitas shalat sehari-hari.

Melakukan muraja’ah (pengulangan menghafal Al-Qur’an) lewat aktivitas shalat adalah teknik yang paling banyak dilakukan oleh para hafiz, karena dianggap cara yang paling mudah, khususnya bagi orang-orang yang punya kesibukan sehari-hari. Karenanya, banyak hafiz yang memilih shalat sendirian. Bukan karena tidak suka shalat berjemaah, tapi karena kewajiban menjaga hafalan Al-Qur’an, dan dia melakukannya lewat shalat. Meski tidak semua hafiz pasti begitu. 

Ada ulama, misalnya, yang hafal Al-Qur’an. Namun, karena masyarakat telah menganggapnya ulama, dia pun punya kewajiban moral untuk jadi imam shalat di mushala dan masjid. Ketika menjadi imam, dia membaca surat-surat Al-Qur’an yang pendek dalam shalat, karena tidak ingin memberatkan makmum. Ulama yang seperti itu biasanya punya waktu khusus untuk melakukan muraja’ah, di luar waktu shalat. 

Berbeda halnya dengan orang-orang yang bukan ulama namun hafal Al-Qur’an—seperti Gandi, misalnya. Orang-orang seperti itu memang tidak punya kewajiban moral seperti ulama, tapi mereka punya kesibukan sehari-hari, dari bekerja mencari nafkah sampai mengurus aneka hal lain. Karena sulit meluangkan waktu khusus untuk ber-muraja’ah, mereka pun menjaga hafalan Al-Qur’an lewat aktivitas shalat. Karenanya pula, mereka lebih memilih shalat sendirian.

Kembali ke cerita tadi. 

Setelah sekitar setengah jam menunggu, Gandi akhirnya pulang. Saya pamitan pada tetangga Gandi, mengucap terima kasih karena sudah menemani, lalu saya menemui Gandi di rumahnya.

“Sori kalau kelamaan nunggu,” ujar Gandi saat kami duduk di dalam rumahnya. 

“Nggak apa-apa,” saya menyahut. “Dari tadi aku nyangkruk sama tetanggamu.”

Seiring obrolan, saya bertanya pada Gandi, soal kebiasaannya azan di mushala pas zuhur dan asar, sebagaimana yang dikatakan tetangganya tadi.

Gandi menjelaskan dengan santai, “Pas siang, zuhur atau asar, biasanya nggak ada orang yang azan di mushala, karena orang-orang lagi sibuk kerja. Makanya aku nyempatin diri untuk azan di mushala. Mesakke musholane nek ora ono sing azan (Kasihan mushalanya kalau tidak ada yang azan).”

Lalu, soal dia pernah datang ke mushala pas waktu isya, kemudian azan di mushala, Gandi menjelaskan, “Waktu itu udah masuk waktu shalat isya, tapi belum ada yang azan. Jadi, aku sengaja datang ke mushala untuk azan. Udah, gitu aja.”

Bagi Gandi, itu hal “biasa”. Tapi bagi masyarakat umum, yang ia lakukan mungkin dianggap aneh. Jadi, saya pun mengatakan hal itu, bahwa bisa jadi masyarakat sekitarnya menganggap dia “aneh”, rajin azan di mushala tapi tidak pernah terlihat shalat bersama.

Mendengar ucapan saya, Gandi hanya tertawa. “Kalau kamu masih merisaukan hal-hal kayak gitu, artinya kamu belum dewasa. Shalat itu kan ibadah khusus yang ditujukan untuk Tuhan. Nggak ada kepentingan dengan orang lain. Jadi, kalau orang-orang menganggapku nggak pernah shalat, ya nggak masalah, wong aku shalat bukan untuk mereka. Aku rajin azan pas zuhur dan asar di mushala, juga bukan untuk pamer, tapi karena nggak ada orang lain yang azan. Sesederhana itu. Azan ditujukan untuk ngasih tahu orang-orang kalau waktu shalat udah tiba, tapi shalat ditujukan untuk Tuhan. Jelas, kan, perbedaannya?”

Bagi saya, penjelasan Gandi sangat jelas. Dan saya benar-benar memahaminya. 

Setelah terdiam sesaat, Gandi lalu melanjutkan, “Kalau kamu rajin shalat, tapi masih kemrungsung (tidak nyaman) melihat orang lain nggak shalat, maka yang bermasalah bukan orang yang kamu kira nggak shalat itu, tapi kamulah yang bermasalah. Kalau kamu benar-benar shalat dengan ikhlas hanya untuk Gusti Allah, kamu nggak akan peduli umpama seluruh dunia nggak ada yang shalat.”

Saya tak pernah melupakan kalimat terakhir itu. 

Related

Hoeda's Note 6341743937540234684

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item