Pria yang Mendatangi Pernikahan Pacarnya
https://www.belajarsampaimati.com/2023/07/pria-yang-mendatangi-pernikahan-pacarnya.html?m=0
Ilustrasi/thebridedept.com |
Dua catatan cinta di BSM kemarin, sebenarnya “pendahuluan” yang sengaja saya tulis untuk menuju ke inti dalam catatan ini. Saya bisa saja langsung masuk ke intinya, yaitu catatan ini, tapi tidak akan “seru”, karena kalian tidak akan punya bayangan apa-apa terkait sesuatu yang melatari saya menulis catatan ini.
Di Twitter, sering muncul video resepsi pernikahan seorang wanita, dan pacar si wanita itu datang ke acara resepsi. Wanita itu menikah dengan pria lain, sehingga pria yang jadi pacarnya hanya menjadi tamu undangan dalam pernikahan. Pria-pria yang menghadiri acara resepsi itu menunjukkan reaksi macam-macam; ada yang kalem, ada yang menangis, ada pula yang sampai pingsan.
Ketika menyaksikan video-video itu, saya benar-benar mampu merasakan yang dirasakan para pria yang menghadiri resepsi pernikahan pacarnya. Saya juga pernah mengalami peristiwa serupa, meski tidak sampai menunjukkan reaksi berlebihan. Saya hanya datang ke resepsi pernikahan pacar saya, duduk kalem, berusaha tetap tersenyum saat bertemu teman-teman di sana, dan hanya merasakan pedih diam-diam. Sudah, hanya itu. Setelah acara selesai, saya pulang, seperti yang lain.
Kita mungkin sering mendapati video wanita yang menikah, dan pacarnya datang ke resepsi pernikahannya. Tapi pernahkah kita menyaksikan video seorang pria yang menikah, dan wanita yang jadi pacarnya datang ke resepsi pernikahannya? Mungkin pernah, tapi sangat jarang. Mengapa?
Bisa jadi, wanita yang ditinggal menikah pacarnya memilih tidak datang ke acara resepsi pernikahan si pria. Kita tidak menutup kemungkinan semacam itu. Tetapi, ada kemungkinan lain yang lebih logis, yaitu karena jauh lebih banyak wanita yang menikah dengan pria lain [meski harus meninggalkan pacarnya], daripada sebaliknya.
Masih di Twitter, kita pasti pernah mendapati screenshot percakapan WhatsApp antara seorang wanita dengan pacarnya. Si wanita tiba-tiba ngasih kabar ke pria pacarnya, bahwa dia telah [atau akan] dilamar pria lain [dan dia menerima lamaran itu.] Perhatikan, teks percakapan itu terjadi ketika si wanita masih menjalin hubungan pacaran dengan si pria, sehingga merasa perlu mengabari pacarnya bahwa dia dilamar pria lain. Bisa melihat sesuatu yang tidak dikatakan dalam hal itu?
Ada kebenaran kuno tentang wanita yang seharusnya diketahui semua pria di dunia, yaitu, “Satu-satunya hal yang diinginkan wanita di dunia hanyalah punya pasangan!” Ketika masih sendiri, dia menginginkan pacar. Setelah memiliki pacar, dia menginginkan pasangan legal (suami)! Karenanya, bahkan ketika seorang wanita sudah punya pacar, tidak tertutup kemungkinan dia akan meninggalkan pacarnya, jika ada pria lain yang bisa memberi kepastian hubungan (pernikahan).
Itu mungkin terdengar kasar, tapi ada faktor biologis yang melatarinya. Diakui atau tidak, hal penting yang kerap dituntut dari seorang wanita adalah melahirkan anak. Dalam hal itu, wanita terjebak dalam usia biologis terkait reproduksi. Ini warisan evolusioner yang telah berlaku selama jutaan tahun, sehingga sangat sulit untuk melepaskan wanita dari kecenderungan tersebut. Setiap wanita ingin mendapat pasangan secepatnya, sebelum usia suburnya selesai—terlepas kelak akan bereproduksi atau tidak.
Karenanya, dalam skala ekstrem, jika wanita diminta memilih pria bernilai 5 yang siap menikahinya, atau pria bernilai 10 tapi tidak siap menikahinya, banyak wanita akan memilih pria yang pertama. Dalam pola pikir kebanyakan wanita—yang merupakan warisan primitif evolusioner—nilai seorang pria bisa ditingkatkan sambil menjadi pasangannya. Yang penting menikah dulu! Karena wanita terjebak dalam jam biologis!
Latar belakang itulah yang membuat saya memahami kenapa ada wanita-wanita yang “tega” meninggalkan pacarnya, ketika ada pria lain yang melamarnya. Karena itulah yang dituju wanita! Selalu ingat fakta kuno ini; satu-satunya hal penting yang diinginkan wanita lajang hanyalah menikah!
Kita sekarang memang hidup di zaman modern, yang juga ikut memodernisasi pola pikir wanita. Sebagian wanita di zaman sekarang memang tidak terlalu memprioritaskan pernikahan, dalam arti tidak harus buru-buru menikah dengan patokan usia biologis. Tetapi, wanita-wanita semacam itu umumnya tidak terlalu berharap memiliki anak, sehingga mereka terbebas dari urusan reproduksi yang dibatasi usia. Dengan kata lain, kalau kamu wanita konvensional, dalam arti masih berharap bisa menikah lalu melahirkan anak-anak, kamu tidak bisa sesantai mereka.
Di zaman sekarang, dengan kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran, seorang wanita memang bisa membekukan sel telurnya, untuk kelak dibuahi jika dibutuhkan. Artinya, seorang wanita bisa saja menikah di usia yang sudah tidak memungkinkannya untuk hamil, namun masih memiliki sel telur yang dapat dibuahi. Tetapi, cara ini membutuhkan biaya besar, yang tidak semua orang mampu. [Ada artis wanita yang melakukan teknik ini, dan konon biayanya mencapai 11.000 dolar, atau lebih dari Rp.150 juta.]
Terlepas dari hal itu, Homo sapiens—yaitu kita—sebenarnya terperangkap dalam jaring-jaring rumit yang tujuan akhirnya adalah reproduksi. Evolusi menuntut kita beranak pinak, berkembang biak, dan untuk itu evolusi merancang aneka jebakan dan perangkap, agar Homo sapiens benar-benar tunduk dan takluk kepadanya. Salah satu perangkap evolusi adalah usia biologis wanita itu tadi. Menurut saya pribadi, itu perangkap evolusi yang paling mematikan, karena paling sulit dilawan.
Jatuh cinta? Itu cuma mainan genit evolusi.
Dalam jebakan yang diciptakannya, evolusi merancang sebuah peta, semacam blueprint, yang akan mengarahkan orang per orang untuk tertarik pada lawan jenis yang sesuai “rancangan peta” dalam dirinya. Ketika struktur sosial menempatkan pria sebagai pihak yang aktif mengejar lawan jenis, evolusi menanamkan peta atau blueprint itu pada pria. Karenanya, wanita yang kamu kenal mungkin pernah pacaran dengan beberapa pria dengan ciri-ciri berbeda, tetapi pria yang kamu kenal kemungkinan besar pacaran dengan beberapa wanita yang memiliki ciri sama!
Kalau kamu pria dan kebetulan pernah pacaran beberapa kali, perhatikan mantan-mantanmu. Hampir bisa dipastikan, semua mantanmu punya ciri serupa, yang membuatmu tertarik! Saya juga mengalami hal seperti itu; semua wanita yang membuat saya tertarik, memiliki ciri yang sama! Bagaimana fenomena semacam itu bisa terjadi? Karena evolusi menanamkan “sistem jerat” yang sama pada pria, dengan kecenderungan berbeda-beda. Psikologi menyebut hal ini dengan istilah “peta cinta”.
Ketika seorang pria menemukan wanita yang sesuai peta cinta di dalam dirinya, dia akan tertarik, berusaha mendekat, atau bahkan sampai mengejar si wanita. Ketika si wanita menerimanya, evolusi membanjiri otak si pria dan si wanita dengan aneka hormon—dopamin, serotonin, oksitosin, dan lain-lain—hingga mereka pun saling mabuk kepayang.
Ketika sepasang pria dan wanita saling jatuh cinta, hingga mabuk kepayang, bisa dibilang mereka sebenarnya dalam kondisi “fly”—tidak seratus persen sadar. Karenanya, tidak ada orang pintar ketika jatuh cinta, karena bahkan yang paling pintar pun berubah tolol saat otaknya dibanjiri aneka hormon tadi.
Sepasang pria dan wanita saling tertarik—si pria menemukan “tambatan hati” [yang sebenarnya blueprint yang ditanamkan evolusi]—dan si wanita menemukan pria yang tepat, lalu mereka saling jatuh cinta, mabuk kepayang, ingin selalu bersama, dan... apa tujuan akhir dari semua itu? Sangat gamblang; intercourse, reproduksi!
Rancangan perangkap yang sangat rumit, untuk tujuan yang sangat sederhana!
Selain rumit, perangkap evolusi juga mematikan, salah satunya usia biologis yang terjadi pada wanita. Dengan usia biologis itu, wanita seperti memiliki batas tertentu untuk dapat bereproduksi, sehingga ia—disadari atau tidak—akan berusaha secepat mungkin mendapat pasangan, sebelum usia biologisnya selesai. Tuntutan semacam itu makin parah jika si wanita tinggal di negara semacam Indonesia, yang masih menganggap menikah dan punya anak adalah satu paket atau satu kesatuan.
Bisa memahami inti masalahnya?
Jadi, inilah asal usul kenapa banyak wanita yang sampai tega meninggalkan pacarnya, demi pria lain yang jelas akan menikahinya. Karena mereka terjebak dalam perangkap evolusi—juga perangkap budaya, dan perangkap sosial yang meyakini bahwa orang harus menikah dan harus punya anak! Bagi rata-rata wanita, yang penting menikah dulu. Urusan lain bisa diurus belakangan!
Kesadaran tentang hal itu pula yang menjadikan saya sangat hati-hati, sekaligus sadar diri, ketika berhubungan dengan wanita. Maksud saya, jika saya menjalin hubungan dengan wanita, sekarang, itu seperti langkah maju tanpa pilihan mundur. Saya sudah dewasa, dan—kalau pacaran—wanita yang jadi pacar saya juga tentu sudah dewasa. Jika sepasang pria dan wanita dewasa pacaran, apa pilihan lain selain menikah?
Sekali lagi, karena kesadaran tentang hal itulah, saya lebih memilih untuk sadar diri. Bahwa jika saya belum yakin untuk dapat menikahi wanita yang jadi pacar, saya memilih untuk tidak pacaran dulu. Pilihan semacam itu tidak merugikan siapa pun, meski mungkin saya harus jatuh cinta diam-diam pada seseorang. Bagi saya itu lebih baik, daripada harus memaksa diri menjalin hubungan dengan seorang wanita, lalu saya mengecewakannya.
Itu pilihan pribadi saya, yang tentu tidak harus ditiru siapa pun. Karena jatuh cinta adalah tuntutan evolusi, tapi pacaran, menikah, dan punya anak, mestinya adalah pilihan.