Pernikahan Denny Caknan dan Masalah di Indonesia

Ilustrasi/liputan6.com
Denny Caknan, penyanyi lagu pop Jawa, belum lama ini menikah. Berita pernikahan artis sebenarnya biasa saja, karena sewaktu-waktu selalu ada artis yang menikah. Hal semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Artis menikah itu tak jauh beda dengan orang biasa (bukan artis) yang menikah. Selalu ada setiap hari. Bedanya, karena artis dinilai sebagai orang terkenal, pernikahan mereka pun masuk pemberitaan.

Ketika berita pernikahan Denny Caknan muncul, ada akun di Twitter yang memposting berita itu, dengan kapsi, “Denny Caknan aja udah menikah, kamu kapan nyusul?”

Pertanyaan itu mungkin dimaksudkan untuk bercanda, sebagaimana pertanyaan-pertanyaan lain terkait urusan nikah, seperti “kapan kawin?” dan semacamnya. Orang-orang yang doyan melontarkan pertanyaan semacam itu mungkin berdalih bahwa yang mereka lakukan hanya bercanda. Tetapi, ada baiknya kita hentikan bercandaan semacam itu. Karena bukannya lucu, bercanda dengan cara semacam itu malah terkesan cupu [atau ketinggalan zaman], dan orang yang ditanya bisa tidak nyaman.

Bagi yang mungkin belum tahu atau belum sadar, bercanda ala-ala “kapan kawin?” atau “Si Anu aja udah kawin, masak kamu belum?”, itu bercandaan yang sudah ketinggalan zaman. Kalau kamu hidup di tahun 1960-an, atau setidaknya 1970-an, bercandaan semacam itu mungkin masih dianggap relevan, dan pihak yang dicandai mungkin tertawa. Tapi kalau kamu hidup di masa sekarang, dan masih bercanda dengan cara semacam itu, kamu tampak cringe.

Perkembangan zaman tidak hanya mengubah wajah dunia, dengan kemajuan teknologi yang makin pesat, tapi juga mengubah gaya hidup dan pola pikir manusia. Sesuatu yang di masa lalu mungkin terasa keren, sekarang bisa jadi tampak kuno. Begitu pun, candaan yang di masa lalu terdengar lucu, sekarang sudah ditinggalkan karena ketinggalan zaman.

Contoh. Di masa lalu, para pelawak suka menghina atau mengolok-olok kekurangan fisik orang lain sebagai bahan bercandaan. Di masa lalu, bercanda dengan cara semacam itu masih dianggap lucu. Tapi sekarang bercandaan seperti itu sudah ditinggalkan, karena tidak dianggap lucu lagi, bahkan tidak pantas. 

Begitu pun bercandaan seperti bertanya “kapan kawin?”, atau bercanda dengan menggunakan perbandingan “Si Anu aja udah nikah, masak kamu belum?”, itu bercandaan zaman kuno. Cara bercanda semacam itu sudah ditinggalkan, karena memang sudah tidak relevan. Pola pikir orang zaman sekarang sudah beda dengan pola pikir orang zaman dulu, karena kehidupan yang dihadapi juga telah jauh berubah.

Orang-orang zaman sekarang sudah sadar, bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri-sendiri. Termasuk dalam pernikahan, kesuksesan hidup, atau pencapaian-pencapaian tertentu. Hal-hal semacam itu tidak bisa disamaratakan, atau dipatok pada usia tertentu, karena orang per orang menjalani kehidupan berbeda-beda, dengan latar belakang dan pikiran berbeda-beda. Orang zaman kuno belum berpikir sejauh itu, sehingga candaan seperti tadi masih dianggap lucu.

Kembali ke Denny Caknan. Jadi, dia sekarang menikah. Lalu apa hubungannya dengan kita? Tidak ada hubungannya sama sekali! Fakta bahwa Denny Caknan menikah, tidak bisa dijadikan patokan agar siapa pun juga segera menikah. Karena Denny Caknan menjalani kehidupan berbeda dengan orang-orang lain, sehingga tidak bisa dibanding-bandingkan, apalagi disamaratakan.

Mungkin Denny Caknan memang telah siap lahir batin untuk menikah, sudah memiliki penghasilan cukup untuk menghidupi diri sendiri dan pasangan secara layak, serta punya calon pasangan yang siap menikah dengannya. Kalau kemudian dia menikah, ya wajar. Tidak usah Denny Caknan, wong umpama tetanggamu seperti itu pun ya wajar kalau dia menikah. 

Yang tidak wajar adalah membandingkan Denny Caknan dengan orang-orang lain yang jelas berbeda, dan memprovokasi orang-orang lain agar segera menikah hanya karena Denny Caknan menikah. Bagaimana kausalitasnya? 

Denny Caknan telah siap menikah, sementara orang lain belum siap menikah. Denny Caknan sudah memiliki penghasilan cukup untuk menghidupi keluarga secara layak, sementara orang lain hidup kembang kempis dengan penghasilan minim—boro-boro menghidupi anak orang, menghidupi diri sendiri saja kewalahan. Denny Caknan punya calon pasangan untuk menikah, sementara orang lain belum sempat cari pacar. Perbandingan yang jelas tidak masuk akal, sekaligus berpotensi menyakiti perasaan orang yang dibandingkan.

Itu seperti perilaku orang tua yang doyan membanding-bandingkan anaknya dengan anak tetangga, dengan menempatkan anaknya sebagai “objek penderita”. Anak tetangga dapat rangking 1 di kelas, misalnya, lalu orang tua menyatakan pada anaknya, “Tuh, Si Anu aja rangking satu, masak kamu rangking dua puluh?”

Yang jadi masalah, orang tua yang suka membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain semacam itu sering kali tidak menyadari bahwa anak-anak yang ia bandingkan menempati situasi kehidupan yang belum tentu sama. Si Anu yang rangking 1 mungkin memiliki orang tua terpelajar, sehingga bisa mendidik anaknya dengan baik di rumah. Si Anu juga mungkin memiliki kamar yang nyaman, sehingga dapat belajar dengan baik dan tenang. Si Anu bahkan mungkin memiliki guru les yang memungkinkannya melampaui teman-teman sekelas.

Orang tua yang suka membanding-bandingkan prestasi sekolah anaknya dengan anak lain perlu memikirkan, “Apakah anakku memiliki semua hal yang dimiliki anak lain yang berprestasi?” Sayangnya, orang tua yang suka membanding-bandingkan anaknya sering tidak sadar bahwa anaknya pun sebenarnya bisa membanding-bandingkan orang tuanya dengan orang tua temannya, dan mereka memiliki kehidupan yang bisa jadi berbeda.
 
Betapa susah hidup di Indonesia. Waktu masih anak-anak, dibandingkan dengan anak lain. Setelah dewasa, dibandingkan lagi, “Si Anu aja udah menikah, masak kamu belum?” Lalu, setelah menikah, dibandingkan lagi dengan pasangan lain, “Si Anu aja udah punya anak, masak kamu belum?” Bahkan setelah punya anak, masih juga dibandingkan, “Si Anu tuh, anaknya udah tiga. Masak anakmu baru satu?”

Salah satu “masalah populer” dalam masyarakat Indonesia sepertinya memang suka membanding-bandingkan hal-hal yang mestinya tidak perlu dibanding-bandingkan. Seperti kapan seseorang akan menikah, kapan pasangan suami istri punya anak, dan semacamnya. Itu hal-hal yang sangat terkait dengan kehidupan privat orang per orang, yang seharusnya tidak perlu—dan tidak bisa—dibanding-bandingkan.

Kapan seseorang menikah tidak bisa dipatok dengan usia, karena lebih terkait dengan faktor kesiapan individu. Dalam ilustrasi sederhana, orang berusia 23 mungkin sudah siap lahir batin untuk menikah—karena punya pekerjaan mantap, tabungan cukup, tidak punya masalah apa pun, dan orang tuanya juga memiliki fasilitas yang mendukung—dibanding orang berusia 32 yang belum siap menikah karena penghasilan kerjanya tidak seberapa, sementara tabungan tidak ada karena uangnya habis untuk menghidupi orang tua dan adik-adiknya. Mosok yang kayak gitu mau dibanding-bandingkan?

Begitu pula soal punya anak. Ada pasangan menikah satu atau dua tahun, dan segera punya anak. Karena mereka memang ingin segera punya anak, dan kebetulan tidak ada masalah apa pun, dari kesehatan sampai keuangan. Tetapi, ada pula pasangan yang menunda punya anak, karena sadar belum mampu menghidupi anak—misal karena keuangan belum cukup—atau bisa pula mereka sebenarnya sudah ingin punya anak, tapi ada masalah kesehatan tertentu. Sekali lagi, kita tidak bisa membanding-bandingkan mereka, “Si Anu aja udah punya anak, masak kamu belum?”

Sering kali, membanding-bandingkan sesuatu yang bersifat pribadi—dari urusan menikah sampai punya anak—tidak memberi dampak positif apa pun, baik pada yang membandingkan maupun yang dibandingkan. Alih-alih bermanfaat, membanding-bandingkan hal semacam itu malah bisa menyakiti perasaan orang yang dibandingkan.

Misal, kamu sudah ingin menikah, tapi kebetulan belum punya pacar, atau masih sibuk mengurusi masalah hidup, dari merawat orang tua sampai membiayai sekolah adik-adik. Setiap kali temanmu menikah, kamu sedih diam-diam. Lalu, ada orang ngoceh, “Tuh, Si Anu aja udah menikah, masak kamu belum?” 

Piye perasaanmu dibandingkan seperti itu? 

Misal lagi, kamu dan pasanganmu sudah ingin punya anak. Tapi meski sudah menikah lima tahun, dan sudah menempuh berbagai upaya, kalian belum juga memiliki anak. Setiap kali melihat pasangan lain menimang anak, kalian memandangi dengan sedih. Lalu, ada keparat yang mbacot, “Tuh, Si Anu yang kawin baru setahun aja udah punya anak, masak kamu yang nikah bertahun-tahun belum punya anak?”

Piye perasaanmu dibandingkan seperti itu? 

Setiap orang, atau setiap pasangan, menghadapi kehidupan berbeda-beda, dengan aneka masalah di dalamnya, yang belum tentu kita tahu. Sebelum membanding-bandingkan mereka terkait hal pribadi semacam menikah atau punya anak, selalu ingatlah kenyataan penting itu! 

Kita tidak pernah tahu kenapa seseorang tidak/belum menikah, kita tidak pernah tahu kenapa pasangan tidak/belum punya anak. Kita tidak tahu kehidupan yang mereka jalani, kita tidak tahu masalah yang mereka hadapi, kita tidak tahu apa yang mereka pikirkan, dan... jika kita memang tidak tahu, kenapa harus bertingkah sok tahu dengan membanding-bandingkan?

Setiap orang memiliki waktunya sendiri, terkait menikah atau punya anak, atau hal-hal lain yang bersifat pribadi, dan itu hal-hal yang tidak bisa disamaratakan. Sudah saatnya kita berhenti membanding-bandingkan kehidupan pribadi orang lain, dan sudah saatnya kita menyadari bahwa kita tidak punya hak ngerusuhi urusan pribadi orang lain. 

Mengutip lagu Denny Caknan, “Wong kaya ngene kok dibanding-bandingke.”

Related

Hoeda's Note 1573671695172476489

Posting Komentar

  1. “Tuh, Si Anu aja rangking satu, masak kamu rangking dua puluh?”

    ini bisa jadi bumerang loh kalo orang tuanya sadar :D

    lah anak itu ga jauh dari ortunya, kalo ortunya cerdas, ya anaknya minimal cerdas juga :P

    lah kalo anaknya tiba2 ngejawab, ya itu bapaknya dulu juga pinter di sekolah, Bapak sendiri ranking berapa coba dulu waktu sekolah? #maktieng

    terlalu gegabah jika membandingkan anak sendiri dengan anak orang lain. karena itu adalah cerminan diri sendiri :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang tua yang waras (maksudnya relatif terpelajar atau berpendidikan) tentu akan berpikir kayak kamu, John. Bahwa seperti apa si anak, biasanya seperti itu pula orang tuanya. Masalahnya, berapa banyak sih orang tua yang waras? Kebanyakan orang tua berpikir bahwa dirinya pasti benar dan si anak pasti salah, tanpa mau mengoreksi dirinya sendiri.

      Dan kebanyakan anak gak berani menentang apapun yang dikatakan orang tuanya, bahkan meski ia mungkin bisa, karena mereka didoktrin untuk "berbakti pada orang tua", untuk "tidak menyakiti perasaan orang tua", dan semacamnya.

      Makanya aku sering ngomong di Twitter dan di blog, kalau ajaran terkait orang tua dan anak itu timpang. Anak didoktrin agar berbakti pada orang tua, tapi doktrin untuk orang tua kayak gak ada (atau sangat jarang disampaikan).

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item