Obrolan Cowok Soal Pekerjaan, Cinta, sampai Nabi-nabi

Ilustrasi/capture video bayem sore
Malam Minggu kemarin saya dolan ke rumah Adit, seorang teman, setelah sebelumnya janjian lewat WhatsApp. Ketika saya sampai di rumahnya, Adit lagi ngobrol dengan tetangganya, Nopang, di teras. Nama aslinya Noval, tapi biasa dipanggil Nopang, dan saya juga akrab dengan Nopang karena sering ketemu pas dolan ke tempat Adit.

“Tambah kurus kamu, Da’,” ujar Nopang, setelah saya duduk bersama mereka.

Saya nyengir. “Kalau orang lain yang dengar, mungkin senang dibilang tambah kurus. Tapi kalau aku yang dengar, kayaknya nggak enak banget, wong nggak tambah kurus aja udah kurus.”

Nopang tertawa. “Sori. Tapi beneran, kamu kayak tambah kurus. Bener nggak, Dit?”

Adit ikut menyahut, “Kayaknya iya. Lagi ada masalah?”

Dengan nada Aldi Taher, saya berkata, “Emang kalian nggak punya masalah? Semua orang di bumi punya masalah, ntar nggak ada masalah setelah di surga.”

Kami lalu cekikikan.

Saya mengeluarkan rokok, lalu menyulutnya. Adit masuk ke rumah, untuk mengambilkan minum. Udud tanpa minum rasanya kurang afdal, dan dia tentu paham.

Sambil nunggu Adit mengambil minum, saya ngobrol dengan Nopang, yang juga merokok. Nopang bertanya, “Da’, orang-orang kan ngenal kamu sebagai penulis, ya. Ada nggak, pertanyaan terkait menulis yang bikin kamu sebel?”

“Ada,” saya menjawab, “bukan sebel, sih, sebenarnya. Cuma bikin aku bingung gimana jawabnya.”

“Misalnya?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjawab, “Yang paling standar aja, deh. Misal aku ketemu orang, terus dia tanya aku kerja apa. Aku jawab ‘penulis’. Biasanya, orang itu nanya lagi, ‘penulis apa?’ Aku jawab lagi, ‘penulis buku’. Dia biasanya jadi kayak bingung, dan nanya lagi, ‘penulis buku gimana? Buku pelajaran sekolah?’ Aku jelasin, lah, panjang lebar. Buku umum, bukan buku pelajaran. Dia nanya isi bukunya tentang apa, aku jawab isinya pengetahuan. Terus kadang ada yang ngotot, ‘Berarti buku pelajaran sekolah?’ Sampai di situ aku sering bingung, gimana jelasinnya?”

“Terus kamu jawabnya gimana?”

“Biasanya sih aku nanya ke orang itu, apa dia pernah ke toko buku? Kalau pernah, apakah dia pernah mendapati buku-buku yang dijual di toko buku tapi bukan buku pelajaran sekolah? Kalau jawabannya masih positif, biasanya aku bilang, ‘Nah, aku nulis buku kayak gitu. Isinya pengetahuan, tapi bukan buku pelajaran sekolah.’”

“Susah juga ya, jelasinnya.”

“Emang paling enak tuh kerja kayak kamu, Pang.”

“Kenapa emang?”

“Ya kalau ada yang nanya kamu kerja apa, jawabnya mudah. Kerja di PT Anu. Selesai. Paling-paling orang nanya kamu kerja di bagian apa, dan jawabannya juga mudah. Nggak perlu jelasin macam-macam yang ribet kayak aku.”

“Biasa, pelangi terlihat di atas kepala orang lain.”

Tepat ketika Nopang mengatakan kalimat itu, Aliya, kakak Adit, muncul dari dalam rumah. Melihat dandanannya yang cantik, sepertinya dia akan pergi. Waktu melihat saya dan Nopang asyik mengobrol, Aliya ngikik, lalu berujar, “Kalian kayak abang-abangan yang viral kemarin. Serius bener ngobrolnya.”

Saya dan Nopang tertawa—kalimat Nopang tadi memang terdengar serius sekali. Kebetulan, rambut Nopang memang gondrong, seperti salah satu abang yang viral tempo hari.

Aliya lalu menatap saya, dan berkata, “Kamu kelihatan kurus, Da’,”

Saya nyengir, “Kayaknya aku emang tambah kurus, ya. Tadi Nopang juga bilang gitu. Semingguan ini emang lagi malas makan.”

Setelah bercakap-cakap sesaat, Aliya kemudian pamit pergi.

Saya dan Nopang melanjutkan percakapan. Dia berkata, “Soal kamu nulis buku tadi, ada nggak pertanyaan lain yang juga bikin kamu bingung jawabnya?”

“Ada,” saya menjawab. “Kadang, ada teman, famili, atau orang yang kenal aku, nanya, ‘lagi nulis buku apa sekarang?’ Pertanyaan kayak gitu kedengarannya ringan, tapi aku bener-bener bingung gimana jawabnya.”

“Kenapa kamu bingung menjawab pertanyaan kayak gitu?”

“Uhm... gimana, ya? Kerjaan nulis itu kan bukan sesuatu yang pasti sedang dilakukan, tapi kegiatan yang dilakukan ketika waktunya memungkinkan untuk melakukan.”

“Gimana, gimana? Aku nggak nangkep.”

Ketika saya akan menjelaskan, Adit muncul dari dalam rumah, dengan membawa nampan berisi tiga gelas teh panas. “Sori kalau kelamaan,” ujar Adit, “di dapur ternyata nggak ada teh, jadi harus bikin air panas dulu.”

Kami pun lalu menyeruput teh di gelas, lalu Nopang berkata pada saya, “Lanjutin yang tadi.”

“Yang apa?” tanya saya.

“Itu, penjelasanmu yang tadi aku nggak nangkep.”

“Iya, kan nulis itu kegiatan yang nggak mesti selalu dilakukan. Apalagi nulis buku. Itu kan proses pengerjaannya bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Misal nih, dalam beberapa bulan mungkin aku khusyuk nulis buku tiap hari, ngerjain satu buku yang proses penulisannya emang lama. Terus, setelah penulisan buku itu selesai, bisa jadi aku istirahat sampai lama. Bisa berbulan-bulan nggak nulis buku, dan hanya nulis hal-hal lain. Nah, pas nggak nulis buku, terus ada yang nanya lagi nulis buku apa, aku sering bingung gimana jawabnya.”

Adit menyahut, “Kenapa nggak bilang aja kalau kamu lagi nggak nulis buku?”

“Pernah,” saya menyahut. “Dulu, pernah ada orang nanya aku lagi nulis buku apa, terus aku jawab lagi nggak nulis buku, karena waktu itu emang lagi istirahat—nggak nulis. Terus dia malah balik nanya, ‘Lhoh, katanya kerjaannya nulis buku? Kok sekarang lagi nggak nulis buku?’ Itu aku makin bingung gimana jawabnya.”

Nopang manggut-manggut, lalu berfatwa, “Kayaknya, pertanyaan-pertanyaan kayak gitu muncul, karena masyarakat kita belum melek literasi.”

Adit cekikikan. “Agak mengejutkan, dengar Nopang ngomong ‘melek literasi’.”

Nopang tertawa. “Sebenarnya aku juga nggak ngerti artinya.”

Bercakap-cakap dengan teman akrab selalu menyenangkan. Ngobrol santai, sambil menikmati teh dan udud, saling cerita, saling ledek, bercanda dan tertawa.

Setelah mengepulkan asap rokok dari bibirnya, Adit berkata, “Tadi, waktu ambil minum di dapur, aku lihat berita di teve, soal wanita yang hilang usai menikah, dan ternyata kabur nemuin mantannya. Sekarang aku jadi kepikiran. Umpama nih, ya, kalian punya teman udah nikah, terus kalian tahu pasangan teman kalian tuh diam-diam selingkuh. Teman kalian nggak tahu pasangannya selingkuh, tapi kalian tahu. Kira-kira, kalian akan ngasih tahu teman kalian—kalau pasangannya selingkuh—atau diam aja, karena takut nyakitin perasaan teman kalian?”

“Ntar dulu,” sahut Nopang. “Kok teman kita nggak tahu pasangannya selingkuh, tapi malah kita yang tahu? Emang selingkuhnya sama kita apa gimana?”

Adit nyengir. “Bukan gitu. Maksudku gini, Pang. Umpama nih, ya. Kita kan temenan, nih. Umpamakan aja aku udah nikah, dan aku percaya kalau pasanganku setia. Eh, ternyata diam-diam dia selingkuh, tapi aku sama sekali nggak tahu. Tapi, kamu nggak sengaja lihat dia bersama cowok lain, dan kamu yakin mereka selingkuh. Nah, kalau dalam posisi gitu, kira-kira kamu bakal ngasih tahu aku nggak?”

“Ngasih tahu kalau pasanganmu selingkuh?” tanya Nopang.

“Iya.”

“Kayaknya nggak, deh.”

“Kenapa?”

“Uhm... gimana, ya? Pertama, aku jelas nggak enak, lah. Karena kesannya ngadu, gitu. Iya kalau aduanku berdampak positif. Kalau malah negatif gimana? Kedua, aku ngerasa itu urusan orang lain, bukan urusanku, jadi aku ngerasa nggak layak ikut campur. Ketiga, rasanya kok nggak tega kalau aku ngasih tahu hal itu, terus nyakitin perasaanmu.”

Adit manggut-manggut, lalu menoleh ke saya, “Kalau kamu, Da’?”

“Tergantung, sih,” saya menjawab. “Tergantung kamu siap nerima kenyataan atau nggak.”

Nopang bertanya, “Maksudnya gimana?”

Saya pun menjelaskan, “Kan ada tuh, cowok yang percaya banget sama pasangannya, termasuk percaya kalau si pasangan nggak bakal selingkuh. Kalau ternyata pasangan cowok itu beneran selingkuh, terus kamu tahu perselingkuhannya, dan kamu ngadu ke si cowok, belum tentu dia percaya. Bisa-bisa, dia malah marah ke kamu, karena kamu dianggap memfitnah pasangannya. Kacau, kan? Makanya aku tadi bilang, tergantung dia siap nerima kenyataan atau nggak. Kalau cowok yang kayak gitu, jelas nggak siap nerima kenyataan.”

Adit bertanya, “Kalau cowok yang siap nerima kenyataan, gimana?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjawab, “Ini menurutku, ya. Banyak cowok yang percaya pasangannya setia, tapi nggak percaya secara membuta. Dalam arti, dia tetap nerima kemungkinan kalau pasangannya bisa juga nggak setia. Ketika cowok macam gitu dikasih tahu kalau pasangannya selingkuh, dia nggak langsung ngamuk, tapi nerima informasi itu, menyelidiki dan mencari kebenarannya, untuk mastiin pasangannya beneran selingkuh atau nggak.”

“Tapi,” ujar Adit, “masalahnya kan kita nggak bisa yakin mana cowok yang sangat percaya pasangannya setia, sama cowok yang tetap membuka kemungkinan kalau pasangannya bisa nggak setia.”

“Nah, itu!” timpal Nopang. “Makanya, aku milih diam aja, kalau umpama tahu pasangan temanku selingkuh. Karena aku juga nggak yakin gimana reaksi temanku kalau dapat informasi kayak gitu. Bisa jadi dia legowo nerima kenyataan itu dan mastiin informasi yang aku kasih, atau malah ngamuk dan membenciku.”

Saya jadi bingung. “Kok ujungnya jadi serbasalah, ya?”

“Mungkin karena urusan ini melintasi batas antara urusan pribadi dan urusan orang lain,” ujar Adit. “Maksudku gini. Pasangan orang lain itu kan bukan urusan kita. Jadi kalau pasangan orang lain selingkuh, dan kebetulan kita tahu, kita jadi terjebak di antara urusan pribadi dan urusan orang lain. Di satu sisi, kita sadar itu bukan urusan kita. Tapi, di sisi lain, kita juga ngerasa punya tanggung jawab moral untuk ngasih tahu teman kita kalau pasangannya selingkuh. Di titik itu, kita jadi bingung mau milih mana—tetap menganggap itu bukan urusan kita, atau mengikuti kewajiban moral dengan ngasih tahu teman kita kalau pasangannya selingkuh. Masalahnya, seperti aku bilang tadi, kita nggak bisa yakin teman kita siap nerima kenyataan atau nggak, dan kita juga nggak yakin gimana responsnya atas informasi itu.”

Sesaat kami terdiam, seperti mencerna penjelasan Adit. 

Setelah mengembuskan asap rokoknya, Nopang berkata, “Cerita nih, ya. Ada teman kerjaku, cowok, yang bercerai setelah setahun menikah. Dia masih cinta sama istrinya, tapi kayaknya si istri udah mantap mutusin cerai. Dia sering curhat ke aku, berharap bisa balikan sama istrinya. Secara pribadi, aku tahu kalau istrinya nggak bakal mau balikan. Tapi aku juga nggak tega ngomong terus terang soal itu ke dia. Jadi, tiap dia curhat ingin balikan ke istrinya, aku pun ngadem-ngademi, dan bilang kalau istrinya pasti juga ingin balikan sama dia.”

Adit bertanya, “Terus mereka beneran balikan?”

“Nggak,” jawab Nopang. “Dan inilah masalahnya. Belakangan, setelah istri temanku beneran nggak akan balikan, karena dia akhirnya nikah sama orang lain, temanku tadi kayak marah ke aku. Dia anggap aku ngasih harapan kosong ke dia. Padahal aku sengaja ngadem-ngademi dia, karena tahu dia sangat berharap balikan sama istrinya, dan aku nggak tega kalau ngomong blak-blakan. Padahal sejak awal aku juga tahu kalau istrinya nggak bakal mau balikan sama dia. Susah, kan?”

Saya berkata, “Kayaknya benar yang dibilang Adit tadi. Kalau kita melintasi batas urusan pribadi dan urusan orang lain, hasilnya jadi dilematis. Kita sebenarnya nggak ada urusan sama masalah itu, tapi jadi ikut keseret.”

Teh di gelas kembali diseruput, rokok kembali diisap, percakapan terus berlanjut.

Konon, kalau cowok-cowok ngobrol, topik obrolannya bisa kemana-mana, dan makin malam makin ndakik-ndakik, bahkan sampai membahas nabi-nabi. Rupanya, obrolan kami malam itu juga sampai ke situ, ketika tiba-tiba Nopang berkata, “Mumpung ingat. Kalian pernah dengar kalau Nabi Idris seorang tukang jahit?”

Adit cekikikan. “Ngarang aja kamu, Pang. Tukang jahit apa?”

“Tukang jahit pakaian,” jawab Nopang. “Itu kata guruku zaman SMP. Makanya aku nanya kalian, apa juga udah tahu? Soalnya aku sendiri agak ragu-ragu, apa bener Nabi Idris jadi tukang jahit?”

Sambil nahan senyum, saya berkata, “Boleh percaya boleh nggak, ya, waktu aku masih kecil dulu, ada tetanggaku yang jadi tukang jahit, dan namanya Idris. Anak-anak di tempatku biasa memanggilnya Lek Dris. Makanya aku juga ngerasa aneh waktu tahu kalau Nabi Idris ternyata tukang jahit.”

“Jadi kamu juga tahu kalau Nabi Idris tukang jahit?” tanya Nopang ke saya.

“Iya,” saya menjawab. “Guruku di sekolah juga ngasih tahu gitu. Tapi waktu kecil dulu aku sempat ragu, gara-gara ada tetanggaku yang jadi tukang jahit, dan namanya sama-sama Idris. Kayaknya kok kebetulan banget.”

Adit bertanya, “Jadi, sebenarnya, Nabi Idris emang tukang jahit apa bukan?”

Saya menjelaskan, “Kalau berdasarkan yang aku baca-baca, Nabi Idris emang tukang jahit. Di masa Nabi Idris, jahit menjahit baru dikenal peradaban manusia, dan Nabi Idris mengenalkan cara memakai kulit hewan untuk jadi pakaian layak, dengan cara menjahitnya.”

“Jadi Nabi Idris emang tukang jahit?” Adit memastikan.

“Iya,” saya mengangguk. “Tapi mungkin proses menjahitnya nggak kayak yang kita kenal sekarang. Di masa itu kan belum ada mesin jahit, jadi mungkin Nabi Idris menjahit secara manual, pakai jarum dan benang entah apa.”

Adit manggut-manggut, “Baru tahu kalau ada nabi yang jadi tukang jahit...”

Nopang lalu bertanya, “Da’, jadi kamu percaya kalau Nabi Idris benar-benar tukang jahit?”

“Percaya,” saya menjawab, “karena berdasarkan sejarah nabi-nabi yang aku baca, emang jelasin gitu. Malah urusan jahit menjahit itu mungkin semacam mukjizat yang terkait Nabi Idris, karena di masa itu manusia baru mengenal pakaian yang beradab, dalam arti rapi dan tertutup.”

“Lha terus orang-orang sebelum Nabi Idris, sampai zaman Nabi Adam, mereka nggak pakai baju, dong?” tanya Nopang lagi.

“Mungkin pakai,” saya menjawab. “Tapi konsep baju di zaman itu tentu beda dengan konsep baju di zaman kita. Di zaman sebelum Nabi Idris, sampai ke zaman Nabi Adam, sesuatu yang kita sebut baju atau pakaian itu kan belum ada. Jadi mungkin mereka menutup tubuh pakai daun-daunan yang dianyam, atau pakai kulit pohon, semacam itu.”

Adit dan Nopang manggut-manggut.

Lalu Adit menyatakan sesuatu yang tak terduga, “Omong-omong soal Nabi, nih. Kan Nabi Sulaiman terkenal kaya banget, ya. Kira-kira dia beli apa aja selama hidupnya? Maksudku, di zaman itu kan belum ada mall, belum ada Indomaret, belum ada Traveloka, belum ada Shopee, belum ada teve, belum ada iPhone, bahkan belum ada gimbot. Terus Nabi Sulaiman kira-kira beli apa, dengan duitnya yang banyak banget itu—wong waktu itu bisa dibilang belum ada apa-apa?”

Nopang menatap saya dengan tatapan bingung. 

Saya tiba-tiba pusing.

Related

Hoeda's Note 2726634179520887823

Posting Komentar

  1. Beneran ikut ngakak dengan obrolan ini.

    BalasHapus
  2. Aku juga kalo nginep di rumah temen, kalo udah di atas jam 10 malam, ceritanya makin ngelantur. Cerita Nabi-Nabi juga termasuk di dalamnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan-jangan itu emang fenomena yang terjadi pada cowok-cowok di mana pun.

      Hapus
  3. Sepertinya begitu. Mungkin karena cerita Nabi ini cerita yang bisa diulik dan dibahas mendalam. Karena dulu waktu SD kan cuma diceritakan bagian luar aja, ga diceritakan hikmah di dalamnya apa aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya gitu. Ndilalahnya kok ya selalu ada teman yang mulai membahas nabi-nabi ketika lagi ngobrol sampai larut malam. Apa itu jangan-jangan bawaan gen, ya? Hahaha, soalnya kayak di manapun selalu gitu.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item