Naik dan Turun, Sukses dan Gagal, Itu Biasa

Ilustrasi/hipwee.com
Ada quote di Twitter, “Tidak ada laki-laki mapan di usia 20-25 tahun, kecuali orang tuanya kaya-raya. Di usia segitu, mental maupun fisik mereka sedang dihajar habis-habisan oleh prosesnya masing-masing.” 

Saya pikir, quote itu dimaksudkan untuk para wanita; bahwa jika mereka menginginkan pasangan yang mapan, sulit menemukannya jika patokan usianya harus antara 20-25.

Meski mungkin quote itu terdengar pahit, namun realitasnya sering kali begitu. Sepertinya sangat sulit untuk hidup mapan—dalam arti memiliki kestabilan finansial hingga memiliki rumah dan lain-lain—di usia 20-25, kecuali, seperti yang dinyatakan quote tadi, “orang tuanya kaya-raya.”

Kalau orang tua kaya-raya, hidup mapan terdengar biasa saja, karena ada fasilitas orang tua. Tapi bagi rata-rata kita, yang orang tuanya tergolong miskin atau kelas menengah, hidup mapan terdengar mewah. Dan jika “hidup mapan” itu harus dicapai pada usia 20-25, rasanya bukan hanya terdengar mewah, tapi juga tak terjangkau.

Memang, kita harus mengakui, ada kalanya anak-anak dari keluarga miskin bisa mencapai “hidup mapan” di usia 20-25. Tapi itu sangat kasuistis, karena sangat langka. Biasanya, mereka yang mencapai kesuksesan itu juga memiliki privilese yang tidak dimiliki semua orang. Misal kecerdasan di atas rata-rata, atau bakat yang luar biasa, atau setidaknya mendapat keberuntungan yang serupa keajaiban.

Karenanya, kalau kita masih berusia 20-an, atau bahkan 30-an, dan belum juga hidup mapan, tak perlu berkecil hati. Banyak orang yang mendapat kesuksesannya di usia 40-an, 50-an, atau bahkan 60-an. 

Jeff Bezos, pendiri Amazon [yang jadi orang terkaya di dunia], mencapai kesuksesan di usia 35. Padahal dia anak orang kaya. Bill Gates, pendiri Microsoft [yang juga orang terkaya di dunia], mencapai kesuksesan di usia 31. Padahal orang tuanya miliuner. Kalau mereka yang anak orang kaya, mendapat pendidikan terbaik, dan memiliki banyak privilese, baru sukses di atas usia 30, apalagi rata-rata kita?

Sekali lagi, kita tidak menutup kemungkinan adanya orang-orang yang masih belia, dan sukses. Tapi karena mereka adalah anomali, atau setidaknya kasuistis, kita tidak bisa menjadikan mereka sebagai acuan. Jauh lebih realistis kalau kita mengukur diri sendiri menggunakan “orang kebanyakan”, sehingga kita tidak cepat berkecil hati, apalagi putus asa. 

Di catatan sebelumnya (Saat Hidup Jatuh di Titik Nol), saya menceritakan bagaimana saya bisa sukses dan raya-raya, ketika usia saya masih 19 tahun. Tetapi, seperti yang kalian baca di catatan itu, kisah tersebut belum selesai—karena pada akhirnya saya jatuh ke titik nol. Kesuksesan saya waktu itu ditunjang oleh timing (waktu yang tepat), yaitu media cetak yang sedang booming di Indonesia, dan saya melakukan tindakan yang tepat. 

Karena masih “mentah”—dalam arti pertama membangun bisnis ketika usia masih sangat belia—saya tidak sempat memikirkan bahwa media cetak yang booming waktu itu akan mengalami masa surut. Karenanya pula, saya tidak sempat memikirkan antisipasi atau hal-hal semacamnya. Akibatnya, ketika masa surut menghantam, bisnis saya kolaps. Saya masih tolol, dan hasilnya hidup saya kandas sampai di titik nol.

Apakah setelah itu saya kemudian lebih pintar? Tidak juga, karena nyatanya saya masih mengalami kegagalan, dengan berbagai sebab dan latar belakang. Lalu saya mencoba bangkit lagi, jatuh lagi, dan bangkit lagi...

Jika melakukan refleksi pada kehidupan diri sendiri, saya mendapati bahwa hidup yang saya jalani sama sekali tidak mulus, tapi naik turun, kadang harus susah payah memanjat, hingga tiba di atas, kemudian turun dan kembali ke dasar, lalu saya berusaha naik lagi. Sepertinya, begitu pula kehidupan rata-rata kita yang memang berlatar dari keluarga biasa.

Jalan hidup anak-anak orang kaya mungkin lebih mudah, seperti garis lurus. Dari TK sampai SMA, mereka dapat bersekolah dengan senang karena uang saku yang selalu cukup, dan tak pernah khawatir soal iuran apapun. Lalu bisa kuliah di universitas favorit, dan langsung kerja begitu lulus. Beberapa tahun kerja, lalu menikah, punya anak, dan hidup bahagia. Begitu lurus, begitu mulus, karena ada privilese, dan segala fasilitas untuk itu memang tersedia.

Tapi bagi saya—dan mungkin juga bagi rata-rata kita—hidup sering kali tidak semudah itu. Ada masa-masa ketika saya mencapai kesuksesan, namun juga ada masa-masa ketika saya menghadapi kegagalan. Ada masa-masa ketika saya bergelimang uang, namun juga ada masa-masa ketika saya tak punya uang. 

Dan teman-teman saya, yang sama-sama berasal dari keluarga miskin, juga menghadapi hal serupa. Karenanya, seiring waktu, kami pun tidak kaget lagi kalau sewaktu-waktu sukses dan kaya, dan di waktu lain gagal lalu jatuh miskin. Itu hal biasa.

Sebegitu penting hal ini, saya merasa perlu mengulang sekali lagi, “Sukses dan gagal, jatuh dan bangun, itu biasa.” Kalau kamu berasal dari keluarga miskin, dan bisa kaya-raya, tapi kemudian jatuh miskin lagi, itu biasa. Tak perlu berkecil hati. Karena jangankan kita yang berasal dari keluarga miskin, orang-orang yang berasal dari keluarga kaya pun bisa jatuh miskin. Beban mental mereka jauh lebih berat, daripada beban mental kita yang sejak lahir sudah miskin.

Dulu, waktu saya pertama kali sukses kemudian jatuh, sakitnya luar biasa—maksud saya, sakit secara psikis. Saya mengalami stres berat, frustrasi, putus asa, intinya “babak belur” seperti orang dijatuhkan dari angkasa ke dasar jurang. 

Lalu saya berusaha bangkit, kembali membangun hidup dari titik nol lagi, dan perlahan merangkak naik. Belakangan, setelah beberapa kali mengalami kesuksesan dan kejatuhan, mental saya makin teruji. Sekarang, saat harus menghadapi kegagalan atau kejatuhan, saya “biasa saja”.

Bahkan, kalau mau mengambil hikmahnya, kesuksesan dan kejatuhan itu mengajari saya sesuatu, yaitu membedakan mana teman sejati dan mana teman yang palsu. 

Sudah jadi rahasia umum, kalau kamu sukses dan kaya, semua orang senang jadi temanmu. Tapi ketika kamu gagal dan jatuh miskin, orang-orang jadi tampak asing denganmu. Saya paham betul soal ini, karena telah mengalaminya sendiri, bahkan berkali-kali. Wong saya sukses dan jatuh berkali-kali, jadi benar-benar bisa membedakan mana teman yang palsu dan mana teman yang sejati.

Teman-teman sejati sangat mudah ditandai. Ketika mereka tahu saya sedang jatuh, mereka tetap menjadi teman. Tidak ada perbedaan, tidak ada perubahan. Kami tetap bertemu, mengobrol dan bertukar pikir seperti biasa, dan mereka juga kadang mengulurkan bantuan, kalau memang bisa membantu. Di lain waktu, ketika mereka yang jatuh, dan saya bisa membantu, saya pun balik membantu.

Sementara teman-teman palsu memiliki ciri kebalikannya. Yang tadinya suka ngajak ketemuan, sekarang menghilang. Yang tadinya memuji-muji, sekarang mencaci-maki di belakang. Yang tadinya “siap membantu apa saja”, sekarang jadi seperti orang asing. Lebih parah, yang tadinya sangat dekat dengan kita, diam-diam berubah menjadi musuh kita. 

Karenanya, kalau kamu ingin tahu siapa teman sejatimu, lihatlah orang-orang yang masih bersamamu ketika kamu gagal, bangkrut, dan jatuh miskin. 

Dan saya berkali-kali menghadapi hal semacam itu. Karenanya, seiring waktu, saya pun melakukan “penapisan”, untuk menjaga hubungan baik dengan teman-teman sejati, sekaligus menyingkirkan teman-teman palsu, dari kehidupan pribadi saya. Satu teman sejati, jauh lebih baik daripada sepuluh teman palsu!

Thariq, sobat karib saya, adalah salah satu teman sejati yang saya miliki. Seperti saya, dia juga berasal dari keluarga miskin. Dan sama seperti saya, dia juga menghadapi hal serupa dalam hidup; kadang sukses dan kaya, kadang jatuh dan miskin. Saat saya jatuh, Thariq mengulurkan tangan. Sebaliknya, saat dia yang jatuh, saya pun datang membantu. Satu teman seperti itu, jauh lebih baik daripada sepuluh orang yang menjadi temanmu saat kaya, dan menjauh ketika kamu jatuh miskin. 

Terkait hal ini, Thariq bahkan mendapati sesuatu yang lebih “mengerikan”. Ketika dia sukses dan kaya-raya, bahkan ustaz di mushala memuji-muji dia dalam ceramahnya. Namun, ketika Thariq bangkrut dan jatuh miskin, ustaz yang sama mengejek dan menghina dia dalam ceramah-ceramahnya. Manusia bisa “semengerikan” itu; berkhotbah bahwa harta dunia tidak penting, tapi memuja orang berharta sekaligus merendahkan orang yang jatuh miskin.

Finally, yang ingin saya sampaikan lewat catatan ini adalah; hidup sering kali bukan jalan lurus tanpa hambatan, tapi perjalanan yang naik turun, dengan segala romantika dan masalah yang silih berganti. Kadang-kadang kita sukses, kadang-kadang kita gagal. Kadang-kadang kita bergelimang uang, kadang-kadang kita kehabisan uang. Ada baiknya kita menerima kenyataan bahwa hal-hal semacam itu “biasa saja”, karena hampir semua orang di dunia juga mengalaminya.

Jangan lupa diri ketika sukses, dan jangan putus asa ketika gagal. Jangan “menyembah” siapa pun yang sukses, pun jangan merendahkan siapa pun yang gagal. Orang yang sekarang jatuh miskin bisa jadi kaya-raya di waktu mendatang, orang yang sekarang kaya-raya juga bisa bangkrut dan miskin di waktu mendatang. Itu biasa saja. 

Kepada mereka yang sukses dan kaya, tidak perlu menuduhnya “istidraj” atau semacamnya. Dan kepada mereka yang jatuh miskin, tidak perlu menghakimi atau menyalahkannya. Kita tidak tahu pasti kehidupan orang per orang, kita tidak tahu seperti apa perjuangan yang dilakukannya, dan kita pun tidak tahu seberapa khusyuk mereka berdoa dan berikhtiar. Memuja-muji mereka yang kaya tidak menjadikan kita ikut kaya, dan menghina mereka yang miskin juga tidak menjadikan kita mulia.

Sukses dan gagal itu biasa. Begitu pula kaya dan miskin—jatuh dan bangun. Biasa saja. Asal kita tetap berusaha, berikhtiar, berdoa, dan tidak putus asa.

Related

Hoeda's Note 6111636719291414594

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item