Mengapa Nazi Jerman Membakar Buku di Opernplatz?

Ilustrasi/hetanews.com
Pada malam tanggal 10 Mei 1933, di Opernplatz, Berlin, sebuah peristiwa yang kontroversial dan mengguncang dunia sastra terjadi, ketika Nazi membakar buku-buku dalam upaya mereka menyensor dan mengendalikan pemikiran yang tidak sesuai ideologi mereka.
 
Kejadian ini terkenal dengan sebutan "Pembakaran Buku" atau "Bücherverbrennung" dalam bahasa Jerman. Melalui tindakan ini, rezim Nazi mencoba menghancurkan karya-karya yang mereka anggap subversif, liberal, dan tidak sejalan dengan propaganda mereka.

Pada 1933, Jerman baru saja jatuh ke dalam cengkeraman Partai Nazi yang baru berkuasa. Adolf Hitler, sebagai pemimpin partai tersebut, mengusung ideologi yang dikenal sebagai "Pemurnian Ras" dan berusaha menciptakan budaya yang sepenuhnya sesuai dengan visi Nazi. Bagi Nazi, pengendalian pemikiran publik adalah hal yang sangat penting dalam mencapai tujuan mereka.

Pembakaran buku tersebut adalah bagian dari kampanye yang lebih luas untuk menghapus karya-karya yang dianggap mengancam rezim Nazi. Para pemimpin Nazi percaya bahwa penulis, cendekiawan, dan filsuf Yahudi, liberal, sosialis, dan komunis, adalah ancaman bagi ideologi dan supremasi rasial mereka. Mereka ingin menghilangkan semua pengaruh dan ide-ide yang tidak sejalan dengan pandangan dunia mereka yang sempit.

Pada malam itu, ribuan buku yang dianggap "tidak bersahabat" dengan ideologi Nazi dikumpulkan di Opernplatz. Para pemuda pendukung Hitler, mahasiswa Nazi, dan anggota kelompok paramiliter Sturmabteilung (SA) berkumpul di sana. Mereka membentuk barisan dan membangun tumpukan buku di tengah-tengah lapangan. 

Di antara buku-buku yang dibakar adalah karya-karya penulis terkenal, seperti Ernest Hemingway, Sigmund Freud, Bertolt Brecht, Helen Keller, Heinrich Mann, dan masih banyak lagi.

Acara ini diselenggarakan dengan propaganda yang masif. Para pemimpin Nazi memberikan pidato untuk membakar semangat massa, dengan klaim bahwa pembakaran buku adalah langkah penting dalam membersihkan kebudayaan Jerman dan melindungi masyarakat dari "tokoh-tokoh radikal" yang merusak moral dan integritas bangsa.

Setelah barisan pemuda Nazi membakar buku-buku tersebut, mereka melantunkan lagu kebangsaan Nazi, Horst-Wessel-Lied, sambil meneriakkan slogan seperti "Hancurkan musuh dalam negeri!". Mereka mengobarkan semangat kebencian dan fanatisme untuk mengintimidasi dan menekan siapa pun yang berani menyuarakan pemikiran yang tidak disetujui oleh rezim Nazi.

Pembakaran buku di Opernplatz Berlin menjadi simbol kebejatan rezim Nazi dan penindasan kebebasan berbicara dan berpikir. Banyak orang di dalam maupun di luar Jerman yang mengecam tindakan ini sebagai tindakan barbar dan pelecehan terhadap kebebasan intelektual.

Meskipun peristiwa ini menciptakan ketakutan dan ketidakpastian di kalangan penulis dan intelektual, banyak juga yang terus melawan dan mempertahankan ide-ide mereka. Pembakaran buku ini sebaliknya memperkuat semangat perlawanan dan tekad untuk mempertahankan kebebasan berbicara dan berpikir di tengah penindasan rezim Nazi.

Hingga saat ini, Pembakaran Buku Opernplatz tetap menjadi peringatan tentang bahaya pemusnahan dan penindasan pemikiran. Ini adalah pengingat tentang betapa pentingnya menjaga kebebasan berbicara, menghormati keanekaragaman pendapat, dan melawan segala bentuk ekstremisme yang berusaha mengendalikan pemikiran dan kebebasan manusia.

Hmm... ada yang mau menambahkan?

Related

Sejarah 4644940007068594267

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item