Kamu Tidak Tahu Siapa yang Akan Jadi Pacarmu

Ilustrasi/tokopedia.com
Banyak orang bilang, SMA adalah masa terindah. Saya setuju, tapi tidak sepenuhnya setuju. Karena, bagi saya, masa kuliah juga tidak kalah indah dibanding masa SMA. Meski tidak sampai wisuda (saya memilih drop out setelah menyelesaikan seluruh mata kuliah), tapi saya menyukai masa-masa kuliah, dan menikmatinya. 

Di kampus, saya berteman dengan para mahasiswa dari berbagai angkatan; adik-adik yunior, maupun kakak-kakak senior. Apalagi dengan sesama teman yang seangkatan. 

Selama masa kuliah, teman-teman dari kampus sering main ke rumah saya. Bukan hanya teman seangkatan, tapi juga teman-teman dari semester lain (senior maupun yunior). Suatu sore, ketika bulan puasa, dan waktu itu saya semester tiga di kampus, ada adik-adik angkatan saya main ke rumah. Kami pun ngobrol-ngobrol akrab seperti biasa.

Sore itu, rupanya, mereka mau buka bersama, dan mengajak saya untuk ikut serta. Saya tanya, “Ini pesertanya angkatan kalian, kan?”

“Iya,” jawab mereka. “Tapi nggak apa-apa, kamu ikut aja!”

Acara buka bersama itu diadakan di rumah Lia, seorang mahasiswi semester satu, yang sekelas dengan para mahasiswa yang waktu itu datang ke rumah saya. [Saya kenal Lia, tapi hanya sebatas kenal, dalam arti hanya saling senyum kalau pas ketemu di kampus]. Jadi, acara buka bersama itu diikuti teman-teman sekelas Lia. Meski merasa kenal dengan mereka, tapi saya ragu-ragu, karena itu acara mereka, bukan acara kelas saya. 

Teman-teman yang waktu itu datang ke rumah terus meyakinkan, agar saya ikut acara mereka. Akhirnya saya pun luluh, dan mengikuti mereka ke rumah Lia, untuk ikut acara buka bersama.

Rumah Lia terlihat ramai, para peserta buka bersama sudah berdatangan. Mereka menyambut saya dengan ramah, hingga saya merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. 

Waktu saya masuk rumah, Lia tidak kelihatan. Menurut teman-teman yang ada di sana, Lia waktu itu sedang keluar, untuk mengurus makanan. Saya pun ngobrol-ngobrol dengan mereka—adik-adik angkatan saya—sementara jam terus berdetak menuju magrib.

Menjelang magrib, Lia akhirnya datang bersama mobil yang membawa dus makanan untuk berbuka. Ketika melihat saya di rumahnya, Lia tersenyum lebar, dan menyapa dengan riang, “Siapa iniiiiiiiih?” 

Saya membalas sapaannya dengan bercanda, “Teman-temanmu menculikku ke sini. Semoga kamu nggak keberatan.”

Lia adalah perempuan dengan pembawaan riang yang menyenangkan. Meski kami di kampus bisa dibilang tidak pernah bercakap-cakap—selain hanya saling tersenyum saat berpapasan—tapi dia bisa langsung menunjukkan keakraban yang hangat saat saya ada di rumahnya, hingga saya merasa nyaman. 

Jadi, begitulah. Saya pun akhirnya ikut buka bersama di rumah Lia, bersama teman-teman sekelasnya. Kami ngobrol-ngobrol, bercanda, dan menikmati kebersamaan.

Di sela-sela keasyikan ngobrol, waktu itu, Lia berkata pada saya, “Boleh minta nomor hape-nya?”

Saya membuka ponsel, dan menunjukkan langsung nomor ponsel saya kepadanya. Sambil menyodorkan ponsel, saya berkata, “Ini nomorku. Sekalian masukin nomormu ke hape-ku, ya.”

Lia menurut. Dia memasukkan nomor saya ke ponselnya, lalu memasukkan nomor ponsel dia ke ponsel saya. Karena dia sendiri yang memasukkan nomor ke ponsel saya, dia juga bisa menuliskan namanya langsung di sana. Waktu itu, dia menulis namanya dengan “Lia Cantik”.

Sejak itu, kami kadang saling berkirim SMS (pesan pendek) via ponsel. Ya maklum, di zaman itu belum ada aplikasi pengiriman pesan canggih seperti sekarang. Cara komunikasi yang ada waktu itu hanya SMS atau telepon langsung. Karena biaya telepon waktu itu mahalnya gak masuk akal, kebanyakan orang memilih SMS untuk berkomunikasi.

Selain berkomunikasi lewat SMS, kami pun jadi lebih akrab saat di kampus. Jika sebelumnya hanya saling senyum saat berpapasan, kini mulai ngobrol dan tertawa-tawa. 

💗💗💗

Jika kalian membayangkan saya dan Lia akhirnya jadian, kalian keliru. Kami tidak pernah jadian. Entah bagaimana, kami hanya sebatas saling kirim SMS dan membina keakraban. Belakangan, Lia jadian dengan seorang cowok seangkatannya.

Satu tahun berlalu, dan saya masuk semester lima, sementara Lia semester tiga. Pada waktu itulah saya mulai kenal dekat dengan mahasiswi seangkatan Lia, seorang perempuan yang kelak jadi pacar saya.

Saat menulis catatan ini, dan mengenang kembali masa-masa itu—di masa kuliah dulu—saya berpikir... betapa anehnya cinta dan bagaimana dua pasangan bersatu.

Ketika saya kenal dan akrab dengan Lia, sebenarnya saya juga telah kenal dengan perempuan yang kelak jadi pacar saya. Tapi waktu itu kami belum akrab, selain hanya saling tahu nama dan saling sapa. Dan sekarang saya bertanya-tanya, “Apakah saya waktu itu menyadari bahwa ‘perempuan itu’ kelak akan jadi pacar saya?” 

Jawabannya tidak! 

Sedetik pun saya tidak tahu, tidak pernah membayangkan, apalagi menyadari, bahwa perempuan itu—mahasiswi seangkatan Lia yang hanya saya tahu namanya—kelak akan menjadi perempuan terdekat di hati saya, yang membuat saya jatuh cinta, hingga sangat menyayanginya.

Jadi, saya jadian dengan perempuan itu, ketika saya semester enam, dan dia semester empat. Namanya pacar, khususnya di zaman itu, kami kadang saling pinjam ponsel, dan membuka-buka isinya. [Ponsel di zaman itu memiliki bentuk cakep/modis, jauh lebih cakep dibanding ponsel zaman sekarang yang bisa dibilang rata-rata sama. Jadi, di masa itu, orang kadang penasaran dengan fitur ponsel milik temannya, atau pacarnya].

Pacar saya membuka-buka ponsel saya, termasuk phonebook. Ketika mendapati nama “Lia Cantik” di phonebook ponsel, dia melotot. Dia tahu siapa “Lia Cantik” di ponsel saya, karena dia juga mengenali nomornya. Dia seangkatan dengan Lia, dan saling kenal, dan mereka tentu saling tahu nomor ponsel masing-masing.

Dengan nada tak enak didengar, dia bertanya, “Kenapa namanya ‘Lia Cantik’?”

Saya kebingungan, dan berusaha mencari jawaban yang sekiranya netral. Dengan ragu-ragu, saya menjawab, “Uhm... dia memang cantik, kan?”

Pacar saya menunjukkan ekspresi tidak suka. 

Well, mungkin saya akan menulis tentang pacar saya, di catatan berikutnya.

Related

Hoeda's Note 977948751286635114

Posting Komentar

  1. Haha. Jawaban yang benar.

    Istriku juga termasuk orang yang aku pun tidak pernah berpikir dia bakal menjadi istriku. Karena dia memakai nama anonim saat berkenalan denganku dulu. Dan aku tidak peduli seanonim apa seorang cewek, asal enak diajak diskusi ya lanjut ngobrolnya.

    Sampe akhirnya dia buka sendiri sebenarnya dia siapa. Dan aku mengenalnya dengan sejatinya, bukan pencitraan. Karena kami sama2 ga suka pencitraan. Aku bilang, udah tunjukin aslinya kamu, kalo ngambek, marah, atau apapun, tunjukin aja. Kalo aku suka dengan kekuranganmu, kelebihannya tentu apa lagi.

    Omong2 soal kasih nama kontak, sebenarnya itu cara cewek mendudukkan dirinya di matamu/orang lain. Dia benar2 pede kalo dia cantik. Kok ya untungnya beneran cantik, jadi ya ga masalah. Hehe.

    Kadang yang sudah asyik ngobrol ngalor ngidul, malah ga jadian. Ini fakta sih. Mungkin kalo kasusku karena beda keyakinan. Aku yakin aku ganteng, dan dia masih ragu2. Wkwkwk. Ga sih, bukan itu. Hehe. Tapi biasanya berakhir saat aku bilang, aku nanti poligami. Biasanya dari sini hubunganku dengan cewek langsung pudar.

    Aku pikir dengan cara itu, aku bisa tahu bagaimana kedudukanku di hatinya. Sebucin apa dia padaku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kasus nama di phonebook itu bisa dibilang "kecelakaan", John. Waktu aku udah punya pacar, mestinya aku sadar untuk mengubah nama Lia agar pakai nama yang netral. Tapi aku lupa atau gak kepikiran waktu itu. Pas pacarku buka-buka hape dan nemu nama itu, aku baru sadar, "Ya ampun, aku lupa ganti nama itu!"

      Mungkin pepatah "jodoh di tangan Tuhan" itu ya kira-kira seperti itu. Jangankan pasangan (istri/suami), wong sekadar pacar aja kita sering kali gak tahu siapa yang akan jadi pacar kita. Orang yang kita anggap bakal jadian sama kita, ternyata nggak jadi. Sementara orang yang kita anggap "gak mungkin jadian sama kita" malah beneran jadi pacar kita.

      Hapus
  2. Kecelakaan yah? Hehe. Bisa jadi sih, karena mungkin kamu terlalu sibuk yah. Lagi pula sesering apa sih kita cek nama kontak di HP.

    Makanya dulu waktu SMA, aku beri nama kontak di HP pake nama unik, bukan nama sebenarnya. Karena dulu temen2ku sering pinjem hapeku buat minta kirim SMS ke seseorang. Kadang aku kan ga tahu dia buka2 apa aja.

    Kadang ada yang nyeletuk, eh John ini siapa, kok namanya gini, kok SMS-an gitu sama kamu. Aku bilang, rahasia dong. Hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu itu aku sama sekali gak ingat soal nama "Lia Cantik" di HP, John. Kalau aja ingat, mungkin aku akan mengubah nama itu jadi nama yang netral misal "Lia" aja, sebagai antisipasi kalau-kalau pacarku waktu itu buka-buka phonebook di HP-ku.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item