Gara-gara Panggilan “Mas” yang Absurd dan Gila

Ilustrasi/sarungatlas.co.id
Zaman kuliah dulu, salah satu teman saya bernama Fauzi. Dia teman seangkatan, tapi usia dia lebih muda dari saya. Fauzi punya latar belakang santri. Karenanya, dia terbiasa menghormati orang yang lebih tua dengan panggilan “Mas” atau “Kang”. Karenanya pula, di kampus, Fauzi memanggil saya “Mas”, begitu pula ketika dia memanggil orang-orang lain yang lebih tua darinya.

Hubungan saya dengan Fauzi terbilang akrab, dan kami juga aktif bersama di organisasi ekstra-kampus. Jadi kami tidak hanya berteman di kampus, tapi juga di luar kampus.

Suatu waktu, Fauzi terlibat masalah dengan seseorang, dan terjadi keributan di kampus. Orang yang bermasalah dengan Fauzi itu belakangan mengajak beberapa temannya untuk mengeroyok Fauzi. Kebetulan, orang yang bermasalah dengan Fauzi itu mengenal saya.

Fauzi lalu menemui saya, dan meminta tolong agar saya memediasi dia dengan orang tadi, agar masalah mereka tidak berlarut-larut. Saya memenuhi permintaan Fauzi, dan mengajaknya menemui orang itu. Singkat cerita, masalah itu selesai.

Keributan-keributan semacam yang dialami Fauzi, sebenarnya cukup sering terjadi di kampus, dan kadang melibatkan teman-teman yang juga saya kenal. Tetapi, hanya Fauzi yang secara langsung meminta tolong saya, sehingga saya pun menolongnya. Sementara teman-teman lain, yang juga mengalami keributan serupa, tidak pernah minta tolong apa pun, jadi saya diam saja. Bagaimana pun, saya juga tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tanpa diminta.

Di lain waktu, untuk keperluan penerbitan majalah di kampus, Fauzi meminta tolong saya menuliskan sesuatu, dan saya pun menuliskan artikel yang dimintanya.

Semua yang saya lakukan terkait Fauzi sebenarnya hal biasa. Seorang teman minta tolong, dan saya menolongnya, karena memang bisa. Bagi saya, itu sesuatu yang biasa-biasa saja. Tetapi, kemudian, muncul sesuatu yang sangat aneh.

Entah bagaimana asal usulnya, orang-orang di kampus mulai banyak yang memanggil saya dengan sebutan “Mas”. Mula-mula, saya belum terlalu menyadari hal itu. Tapi seiring waktu, semakin banyak orang memanggil saya dengan panggilan itu, bahkan termasuk teman-teman yang seumuran saya. Tentu saja, saya merasa jengah, tidak nyaman, dan mulai mencari tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

Saya tanya pada beberapa orang, kenapa tiba-tiba mereka memanggil saya dengan sebutan “Mas”? Ada yang mengatakan bahwa asal usulnya berasal dari Alkaf.

Alkaf adalah salah satu teman dekat saya di kampus, waktu itu. Jadi, saya pun mengonfirmasikan hal itu ke Alkaf. Bagaimana bisa orang-orang di kampus sekarang banyak yang memanggil saya dengan sebutan “Mas”?

Alkaf bercerita. Mula-mula, ada banyak teman di kampus yang heran, kenapa saya begitu “sayang” pada Fauzi, hingga sering membantunya. Menurut Alkaf, mereka tidak berani menanyakannya langsung kepada saya, jadi mereka tanya ke Alkaf yang merupakan teman dekat saya. Ketika ditanya banyak orang tadi, Alkaf tidak tahu jawabannya secara pasti. Jadi, dia lalu menjawab asal-asalan, “Mungkin karena Fauzi biasa manggil Hoeda dengan sebutan ‘Mas’.” Dan orang-orang itu percaya pada jawaban Alkaf yang asal-asalan.

Mendengar penjelasan itu, saya ngakak campur misuh-misuh. Bagaimana bisa banyak orang percaya pada penjelasan yang asal-asalan seperti itu? 

Padahal, saya membantu Fauzi, karena Fauzi meminta langsung, jadi saya pun bisa membantunya dengan hati mantap, dalam arti Fauzi memang benar-benar minta bantuan. Sementara teman-teman lain mungkin butuh bantuan saya, tapi tidak mengatakannya kepada saya—apa pun alasannya—sehingga saya juga tidak berani membantu, karena khawatir dianggap ikut campur urusan orang lain.

Jadi, penyebabnya hanya itu. Bahwa Fauzi mengatakan maksudnya secara langsung, hingga saya pun membantunya, sementara teman-teman lain tidak mengatakan apa-apa—mungkin mereka berharap saya “paham sendiri”, lalu membantu mereka tanpa diminta. Sayangnya, saya bukan orang seperti itu. Saya selalu berusaha menghargai privasi orang lain. Jadi, kalau mereka tidak meminta saya masuk ke dalam urusan mereka, saya anggap itu privasi mereka, dan saya tidak berani masuk tanpa diminta.

Sialnya, urusan panggilan “Mas” itu belakangan berbuntut panjang. Meski saya sudah menjelaskan pada Alkaf bahwa saya tidak nyaman dipanggil “Mas” seperti yang terjadi di kampus, orang-orang tetap memanggil saya begitu. Kalau orang-orang yang secara usia memang lebih muda dari saya memanggil “Mas”, tentu saya maklum. Tapi kalau teman-teman sebaya memanggil saya “Mas”, saya benar-benar risih dan tidak nyaman.

Dan itu terus berlanjut bahkan berkembang di kampus, lalu sampai di luar kampus. Sialnya, saya tidak tahu bagaimana cara menghentikan hal itu. Saya kan tidak mungkin marah-marah pada tiap orang hanya karena dia memanggil “Mas”. Paling-paling, saya hanya bisa mengatakan, “Panggil aku seperti biasa aja, aku nggak nyaman dipanggil begitu.”

Tapi upaya saya sia-sia. Orang-orang terus menyebut saya dengan panggilan “Mas”, dan semakin banyak yang melakukannya. Belakangan, saya sampai curiga, jangan-jangan mereka memanggil saya begitu, karena yakin bahwa saya ingin dipanggil begitu.

Ini konyol, kan? 

Saya sadar, kisah ini sangat konyol dan tak masuk akal, tapi sialnya benar-benar terjadi pada saya. Dan sialnya pula, saya benar-benar tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Setiap kali bertemu seseorang, dan dia memanggil saya dengan sebutan “Mas”, saya tanya, kenapa dia memanggil saya begitu. Dan rata-rata menjawab, dia hanya meniru orang-orang yang lain. 

Dia tidak tahu bagaimana asal usul panggilan “Mas” yang absurd itu. Dan karena rata-rata orang memanggil saya begitu, dia ikut memanggil saya begitu. Padahal, berdasarkan kisah tadi, asal usul panggilan itu gara-gara Alkaf asal njeplak.

Dari kisah ini, kita melihat bahwa ucapan yang sebenarnya dikatakan sebagai jawaban asal-asalan, ternyata bisa dipercaya dan diikuti banyak orang. Alkaf bingung ketika ditanya teman-teman, kenapa saya sering membantu Fauzi, dan Alkaf asal-asalan menjawab—yang dia maksudkan sebagai bercanda—bahwa saya mau membantu karena Fauzi memanggil saya “Mas”. Mereka semua percaya, tanpa ada satu orang pun yang memverifikasi kepada saya.

Jadi, saya menulis catatan ini, dan menujukannya secara khusus untuk orang-orang yang mengenal saya di dunia nyata. Bahwa alasan saya membantu Fauzi, karena Fauzi memang MEMINTA SAYA MEMBANTUNYA. Fauzi mengatakan terus terang bahwa dia berharap saya bisa membantunya. Fauzi tidak menggunakan kode-kode dan berharap saya paham sendiri. Fauzi meminta secara langsung, hingga saya juga langsung paham!

Jika kalian memang membutuhkan bantuan saya, KATAKAN SECARA LANGSUNG DENGAN PENJELASAN YANG BISA DIPAHAMI, jangan gunakan kode-kode, atau isyarat-isyarat tidak jelas, karena saya tidak berkomunikasi dengan cara seperti itu. Jika kalian mengatakan langsung maksud kalian, saya akan paham. Jika saya memang bisa membantu, saya akan membantu. Jelas, kan?

Gara-gara kisah ini pula, saya jadi berpikir, jangan-jangan ucapan saya tentang sesuatu—yang saya maksudkan sebagai ucapan asal-asalan atau tidak serius—juga dianggap serius?

Sepertinya, kita perlu lebih bijak dalam hal ini, sehingga bisa memilah dan memilih mana informasi yang layak dipercaya, dan mana yang sebaiknya diabaikan. Seseorang, misalnya, bisa jadi mengatakan sesuatu sebagai ucapan asal-asalan, misal karena dia bingung mau menjawab apa ketika ditanya sesuatu, lalu nyeletuk asal-asalan saja. Kasus Alkaf tadi, misalnya.

Well, ada baiknya pula kita perlu hati-hati saat berbicara. Hindari ngomong asal njeplak ketika ditanya sesuatu. Karena ternyata orang bisa percaya begitu saja, tanpa menyadari kalau kita sedang ngawur atau bercanda.

Related

Hoeda's Note 8206761837859547377

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item