Dua Cowok Nyangkruk di Malam Minggu

Ilustrasi/Bayem Sore
Salah satu kesenangan saya adalah nyangkruk dengan teman yang dipercaya, lalu ngobrol santai sambil udud. Biasanya, pas malam Minggu, saya mengunjungi salah satu teman, setelah janjian sebelumnya, dan kemudian menikmati malam dengan percakapan panjang yang menyenangkan. 

Malam Minggu kemarin saya mengunjungi Rusli. Dia teman nyangkruk sejak zaman kuliah. Rusli kuliah di kampus yang berbeda dengan saya, tapi kami dipertemukan melalui aktivitas nyangkruk di luar kampus. Rusli satu kampus dengan Adit, yang juga teman dekat saya. 

Waktu saya sampai di rumahnya, Rusli menyambut dengan senyum lebar. “Aku baca tulisanmu di blog, yang ngobrol dengan Adit sama Nopang,” dia berkata. “Kayaknya yang dibilang Nopang emang bener, kamu kelihatan kurus.”

Sambil nyengir, saya menyahut, “Semoga nggak tambah jelek aja.”

Kami duduk di lorong samping rumah, seperti biasa kalau saya nyangkruk di sana. Di samping rumah Rusli ada lorong selebar dua meteran, dengan dua kursi dan satu meja. Lorong itu cukup panjang, menuju ruang belakang rumah, dan duduk di sana membuat saya nyaman, karena suasananya yang hening. 

Setelah menyeruput teh hangat di gelasnya, Rusli mengambil rokok yang ada di bawah meja—Djarum Super dan Viper. 

Melihat itu, saya tersenyum, dan berkata, “Kayaknya teman-teman kita sekarang ududnya Viper semua.” Setelah itu, saya merogoh saku jaket, dan mengeluarkan dua bungkus rokok, lalu meletakkannya di meja—Marlboro Black dan Viper.

Rusli tertawa. “Gara-gara Pras ini,” katanya, sambil mengambil sebatang Viper dari bungkus, lalu mulai menyulutnya.

Pras yang disebut Rusli adalah teman kami yang jadi sales rokok. Dulu, Pras memulai kariernya dengan menjadi sales rokok XXX (sori, saya tidak bisa menyebutkan nama rokok tersebut, karena pertimbangan etis—yang jelas, rokok itu legal, karena dilengkapi cukai.) 

Bertahun lalu, rokok XXX adalah pendatang baru di dunia perududan, dan harus bersaing dengan raksasa-raksasa udud semacam Djarum, Marlboro, Sampoerna, sampai Dji Sam Soe. Hebatnya, rokok XXX mampu menembus persaingan yang sangat ketat itu, padahal rokok XXX diproduksi pabrik kecil. 

Bagaimana sebuah rokok dengan merek baru, diproduksi perusahaan kecil, bisa menembus persaingan yang sangat ketat melawan para raksasa, bahkan mampu merebut hati banyak orang (perokok)? Studi kasus ini menarik.

Dulu, Pras pernah “mempresentasikan” hal itu, ketika dia masih jadi sales rokok XXX. “Kuncinya pada sales yang persuasif,” katanya waktu itu.

Ketika Pras pertama kali “memprospek” saya, dia mengatakan, kira-kira seperti ini, “Rokok ini rasanya nggak jauh beda dengan Djarum.” (Di masa itu saya merokok Djarum). Pras melanjutkan, “Tapi ini lebih murah, dengan citarasa yang lebih sedap. Coba, deh.” Dia lalu menyodorkan rokok XXX, dengan menarik sebatang dari bungkusnya.

Saya pun mencoba, dan, entah bagaimana, rokok XXX memang terasa tak jauh beda dengan Djarum. Seperti kata Pras tadi, rokok XXX memiliki “citarasa lebih sedap”. Saya pun terhipnotis, dan membeli satu slop. Itung-itung ngelarisin dagangan teman, pikir saya waktu itu.

Pras melakukan hal sama ke teman-teman yang lain, yang juga perokok. Kalau seorang teman biasa merokok Gudang Garam, misalnya, Pras akan mengatakan, “Rokok ini rasanya nggak jauh beda dengan Gudang Garam. Tapi ini lebih murah, dengan citarasa yang lebih sedap. Coba, deh.” Dia lalu menyodorkan rokok XXX, dengan menarik sebatang dari bungkusnya.

Si teman yang disodori seperti itu merasa tertarik, dan mencoba sebatang. Lalu, entah bagaimana, si teman itu merasa kalau rokok XXX memiliki rasa seperti Gudang Garam, dengan “citarasa lebih sedap”. Dengan cara seperti itulah, Pras mengubah semua teman kami waktu itu hingga kami semua merokok XXX.

Sejak itu, saya dan teman-teman lain jadi sering beli rokok ke Pras. Pikir kami, daripada beli ke toko yang pemiliknya tidak kami kenal, mending beli rokok ke teman sendiri. Sampai beberapa tahun, saya dan teman-teman yang lain jadi pelanggan setia Pras, karena merasa cocok dengan rokok XXX. 

Lalu, suatu hari, rokok XXX “lenyap” dari pasaran. Menurut Pras, pabriknya sudah tidak lagi memproduksi. Kenapa? Pras tidak tahu. Pokoknya rokok XXX sudah tidak diproduksi lagi. Ketika saya mendatangi toko-toko yang menyediakan rokok, mereka juga tidak lagi menyediakan rokok XXX. Intinya, rokok itu lenyap begitu saja. 

Sejak itu pula, saya kembali merokok Djarum, dan, sial, lidah saya seperti protes, karena selama ini telah terbiasa dengan rokok XXX. Karenanya, ketika Philip Morris mengeluarkan Marlboro Black, saya pindah ke Marlboro Black. Ketika saya sudah terbiasa dengan Marlboro Black, Pras kembali muncul, kali ini mengenalkan rokok Viper. Dan inilah asal usulnya.

Saya masih ingat, ketika pertama kali Pras mengenalkan rokok itu, saya bilang, “Baru tahu ada rokok namanya Viper. Kenapa nggak dikasih nama Poison sekalian?”

Pras ngikik. Lalu mulai memprospek saya dengan mantranya yang ampuh, seperti dulu, “Rokok ini rasanya nggak jauh beda dengan Marlboro Black. Tapi ini lebih murah, dengan citarasa yang lebih sedap. Coba, deh.” Dia lalu menyodorkan rokok Viper, dengan menarik sebatang dari bungkusnya.

Saya sadar sedang berhadapan dengan perangkap. Tapi apa salahnya saya coba? Jadi, saya pun menarik sebatang rokok yang ia sodorkan, dan menyulutnya. Setelah saya mengisap rokok itu beberapa saat, Pras bertanya, “Gimana, rasanya mirip Marlboro Black, kan?”

“Ya beda, lah!” seru saya waktu itu.

“Ya beda dikit, lah,” sahut Pras kalem. “Cuma yang ini kan lebih sedap. Lebih ada manis-manisnya.”

Akhirnya, setelah menghabiskan sebatang, saya jadi kepikiran untuk membeli rokok Viper satu slop. Pras senyum-senyum. Dan sejak itu, saya berpikir, “Apa salahnya ngelarisin dagangan teman?” Lalu saya jadi pelanggan Pras.

Dan teman yang diprospek Pras bukan cuma saya, tapi semuanya! Hasilnya, kami yang semula merokok Djarum, Marlboro, A Mild, Dji Sam Soe, apa pun, akhirnya berubah merokok Viper semua. Sebagian kami masih tetap setia pada rokok kesukaan, tapi menyelinginya dengan Viper. Seperti saya yang masih merokok Marlboro Black dan diselingi Viper, atau Rusli yang masih merokok Djarum Super dan diselingi Viper.

Setelah mengisap rokoknya, Rusli berkata, “Pras tuh ucapannya ampuh. Entah gimana, orang kayak manut aja kalau dia ngomong.”

Saya ngikik. “Emang! Kayaknya, kalau jadi anggota MLM, dia bisa dapat banyak downline.”

“Eh, soal rokok XXX yang dulu tiba-tiba lenyap itu... sebenarnya kenapa, menurutmu?”

“Jawaban yang jelas, karena bangkrut, sih. Tapi jawaban itu menimbulkan pertanyaan lain, karena rokok XXX waktu itu sangat laris, dan mereka juga pakai pita cukai yang artinya rokok legal. Jadi, kebangkrutan yang terjadi pasti bukan karena bisnisnya semata-mata.” Saya mengisap rokok sesaat, lalu melanjutkan, “Dulu, waktu Pras nggak lagi kerja di perusahaan rokok XXX, aku nyoba ke toko-toko besar yang menjual aneka rokok. Tadinya mereka juga nyediain rokok XXX, tapi waktu itu kosong semua. Salah satu toko yang aku datangi waktu itu bilang, pabrik rokok XXX bangkrut, karena pemiliknya memakai uang perusahaan buat judi online.”

Rusli manggut-manggut. “Masuk akal...”

Saya menyatakan, “Aku nggak tahu keterangan itu benar atau nggak, ya. Cuma, kayaknya itu cukup masuk akal. Pertama, pabrik rokok XXX itu milik perorangan, bukan perusahaan publik. Si pemilik leluasa makai uangnya buat kepentingan apapun, tanpa tanggung jawab macam-macam. Kedua, rokok XXX waktu itu sangat laris, nggak mungkin pabriknya tiba-tiba bangkrut padahal produknya laris. Ketiga, rokok XXX legal, jadi nggak mungkin rokok itu tiba-tiba ditarik dari pasaran. Satu-satunya kemungkinan ya si pemilik usaha menggunakan uangnya untuk kepentingan lain, hingga bisnis nggak jalan.”

Rusli kembali manggut-manggut. “Aku jadi penasaran... umpama kelak rokok Viper juga lenyap kayak XXX dulu, rokok apa lagi yang kira-kira bakal ditawarin Pras ke kita?”

“Kalau aku sih nggak terlalu peduli rokok apa yang bakal dia tawarin. Selama yang dia tawarin masih rokok, bisa dibilang nggak masalah, kita bisa tetap beli ke dia. Yang merisaukan itu kalau dia tiba-tiba jadi sales helikopter, terus dia memprospek kita, bisa mampus kita semua! Duit dari mana?”

Rusli cekikikan. “Bener juga. Soalnya dia tuh ampuh kalau memprospek orang. Kayaknya dia mau jualan apa pun, orang yang ditawari pasti tertarik beli.” 

Teh di gelas kembali diseruput, udud kembali diisap, dan percakapan kami masih panjang. Semoga Pras tidak membaca catatan ini dan terpikir jadi sales helikopter.

_________________

Disclaimer: Merokok adalah kebiasaan yang tidak sehat, dan, pada sebagian orang, dapat menimbulkan kecanduan. Jika kamu bukan perokok atau belum pernah merokok, sebaiknya jangan mencoba merokok. 

Related

Hoeda's Note 8138274467357675545

Posting Komentar

  1. omong2 soal bangkrut
    dulu aku kerja freelance di software house rintisan, sepertinya aku pernah menyinggungnya di komentarku sebelumnya di entri lain
    investornya kehabisan dana karena diputer di bisnis lain yang kalo aku ceritain di sini konyol sekali, ga etis aja, haha
    "mendengar" (meski aslinya aku membaca) ceritamu ini, aku jadi keinget kejadian 2013 lalu itu
    sepertinya memang rata2 orang yang punya duit banyak itu, penyakitnya adalah makin serakah
    dan ga nyadar kalo keserakahan tadi bisa menghancurkannya dalam seketika

    omong2 soal memprospek, aku tipikal yang ga bisa tega kalo ada teman jualan, biasanya emang aku beli, apalagi makanan
    pikirku juga sama denganmu, itung2 ngelarisin dagangan temen
    bahkan pertama kali aku beli iPhone bekas, karena ada teman yang butuh duit dan jual iPhone-nya
    ngobrol sebentar, eh malah kena prospek, jadi beli iPhone bekas dia deh, wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salah satu quote di Twitter yang pernah kutemukan, dan menurutku bagus sekali, adalah, "Uang itu seperti air. Kalau sedang berlimpah, kamu tidak tahu betapa ia sangat berharga. Kalau sedang kekeringan, kamu baru tahu betapa berharganya."

      Menurutku itu tepat sekali. Rata-rata orang, termasuk aku, ngerasa uang kayak gak berharga ketika sedang berlimpah, jadi bebas menggunakannya seolah besok akan dapat banyak lagi, dan begitu seterusnya. Padahal, kayak air, kadang ada musim kering, dan saat itulah aku ngerasa kayak ditonjok kesadaran betapa uang sangat berharga, bahkan yang nilainya sangat kecil sekalipun. Banyak orang yang tiba-tiba dapat uang banyak lalu kaya, terus bangkrut, jangan-jangan karena pola pikirnya sama kayak gitu.

      Soal memprospek orang, aku sadar nggak punya kemampuan dalam urusan prospek memprospek. Meski sering "ngalah" (manut) kalau ada teman yang memprospek. Ya kayak kamu. Makanya aku pernah kena prospek teman untuk ikut MLM, dan aku selalu bilang kepadanya, "Aku ikut MLM ini, tapi aku gak akan nyari downline, karena aku gak bisa memprospek orang." (Sebenarnya aku ikut MLM itu ya karena nggak tega aja kalau nolak tawaran teman)

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item