Cinta yang Menangis
https://www.belajarsampaimati.com/2023/07/cinta-yang-menangis.html
Ilustrasi/bola.com |
“Aku tidak pernah ke sana lagi, karena akan menempatkanku pada kerisauan yang sangat... sangat sakit. Aku tak mampu lagi melihatnya. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana cinta bisa membuatku sangat tersiksa seperti ini.” Pernyataan itu diucapkan Salman (bukan nama sebenarnya), saat kami bercakap-cakap di rumahnya.
Salman adalah teman zaman SMA, dan kami masih terus berteman sampai dewasa kini. Karena pertemanan telah berlangsung bertahun-tahun, ada banyak kisah dan kenangan yang pernah kami lalui bersama. Salah satu kisah, suatu hari kami dalam perjalanan pulang, dan sama-sama lapar, lalu mampir ke sebuah warung di pinggir jalan.
Di warung itu, kami makan dengan nikmat. Bukan hanya karena kebetulan pas lapar, tapi karena masakan di warung itu memang enak. Waktu itu kami makan nasi dengan megono, potongan ikan bandeng, plus gorengan tempe yang masih panas. Salman maupun saya merasa cocok dengan masakan di sana, dan Salman waktu itu berkata, “Bisa dijadikan langganan, nih.”
Ketika makan di sana, waktu itu, kami mendapati sepasang suami istri di warung tersebut. Si istri melayani pembeli yang makan, sementara suaminya membuatkan minum untuk pengunjung warung. Salman terpikir untuk sering makan di sana, karena lokasi warung makan itu memang relatif dekat dengan tempat tinggalnya.
Salman tinggal bersama ibunya yang sakit-sakitan di tempat tidur, dan adik perempuannya yang bungsu. Sebenarnya, Salman juga punya kakak dan adik lain, namun mereka sudah menikah dan tinggal di rumah masing-masing dengan keluarga mereka sendiri. Kini, Salman dan adik bungsunya merawat ibu mereka. Siang hari, Salman bekerja di pabrik, dan adiknya menemani ibu mereka. Karena itu pula, Salman meminta adiknya tidak usah kerja, agar bisa menemani dan membantu ibu mereka, selagi Salman tidak di rumah.
Jadi, kira-kira seperti itulah kegiatan Salman dan adiknya setiap hari. Dari pagi sampai sore, Salman bekerja di pabrik, sementara adik perempuannya menemani dan membantu ibunya di rumah. Sore hari sampai malam, Salman dan adiknya bergantian membantu ibu mereka. [Kalian yang pernah merawat orang tua yang sudah sakit-sakitan di tempat tidur pasti tahu apa yang saya maksudkan.]
Karena kegiatan dan kesibukan Salman hanya berkutat di tempat kerja dan di rumah, bisa dibilang dia tidak bisa ke mana-mana. Beberapa teman dekatnya kadang menemuinya di rumah, dan Salman mengaku senang, karena bisa bercakap-cakap dengan teman tanpa harus meninggalkan ibunya. Saya termasuk teman yang kadang dolan menemuinya, memastikan dia baik-baik saja. Saat libur kerja, Salman kadang mengajak saya keluar, meski sekadar jalan-jalan ke swalayan. “Biar tidak stres,” katanya.
Saya bisa memahami kondisi yang dia hadapi. Enam hari dalam seminggu, dia harus bekerja. Sore sampai malam, dia menjagai ibunya yang sakit. Sementara uang hasil kerjanya habis untuk membiayai hidupnya, adik, dan ibunya. Dalam kondisi yang terus menerus menekan semacam itu, stres dan frustrasi pasti rentan datang. Karenanya, tiap Salman mengajak saya keluar, pas hari libur—sekadar jalan-jalan atau mengunjungi teman—saya hampir tidak pernah menolak. Saya pikir, mungkin dengan cara itu saya bisa membantu meringankan beban pikirannya.
Ketika kami keluar pas hari libur itulah, kami menemukan warung makan yang saya ceritakan tadi. Kami sama-sama cocok dengan masakan di warung itu, dan Salman berencana sering makan di sana.
Kenyataannya, sejak itu, Salman memang sering makan di sana. Sendirian. Biasanya, sehabis kerja sore hari, Salman mampir ke warung makan itu, mangisi perut di sana, sambil membelikan makanan untuk adiknya di rumah. Dan hal itu terus berlangsung cukup lama, sampai suatu hari Salman mendapati sesuatu yang tak terduga. Pemilik warung yang sering ia datangi itu ternyata punya anak perempuan, usianya mungkin 23 atau sekitar itu... dan Salman jatuh cinta kepadanya.
Anak perempuan itu sering datang ke warung menjelang magrib—bergantian shalat magrib dengan ibunya—dan biasanya terus di sana sampai malam, ketika warung ramai didatangi orang-orang yang butuh makan malam. Sejak mengetahui hal itu, Salman sering datang ke warung tersebut menjelang magrib, atau setelah magrib. Dan dia menyadari jatuh cinta pada perempuan itu.
Di warung, perempuan itu membantu ibunya menggoreng tempe, dan kerap membawakan pesanan Salman saat ia makan di sana. Makin hari, makin sering melihatnya, Salman makin yakin dia jatuh cinta pada perempuan itu. Suatu malam, usai makan di sana, Salman tanpa sadar memandanginya, yang sedang menggoreng tempe... dan dia tidak menyadari kalau orang tua perempuan itu memperhatikannya.
Ketika akhirnya sadar kalau suami istri pemilik warung itu memperhatikan karena dia terus memandangi anak perempuan mereka, Salman mengaku malu luar biasa.
Tetapi, dari peristiwa itu pula, Salman mendapati kalau pemilik warung itu sepertinya “merestui” kalau Salman naksir anak perempuan mereka... dan si anak perempuan juga tampaknya menyukai Salman.
Kita perlu flashback sejenak. Jarak waktu antara Salman dan saya pertama kali menemukan warung itu, hingga Salman melihat anak perempuan si pemilik warung, sekitar tiga bulan. Artinya, selama tiga bulan sebelumnya, Salman sudah bolak-balik makan di warung itu, tanpa melihat si anak perempuan. Karena hampir saban hari makan di sana, pemilik warung pun mengenali Salman sebagai pelanggan mereka. Dan Salman adalah orang yang sangat sopan pada siapapun, sehingga mudah menarik hati orang lain.
Sejak Salman mulai melihat anak perempuan pemilik warung, dan merasa jatuh cinta kepadanya, Salman tidak melakukan apapun, selain hanya curi-curi pandang. Dia tidak ingin membuat perempuan itu terganggu atau tidak nyaman. Bagaimanapun, dia merasa butuh makan di warung itu, dan tidak ingin membuat masalah apapun, khususnya dengan anak perempuan si pemilik warung.
Tetapi, gara-gara insiden tadi—ketika Salman tanpa sadar memandangi perempuan itu sampai lama, hingga orang tua si perempuan tahu—suasana di warung terasa berubah, menurut Salman. Sejak itu, pemilik warung seperti memberi kesempatan pada Salman untuk mendekati anak perempuan mereka. Bahkan, belakangan, anak perempuan itu mulai sering makan di dekat Salman.
Salman menceritakan, “Usai magrib awal, warung masih sepi. Aku lagi makan di sana. Biasanya dia—anak perempuan pemilik warung—sibuk menggoreng tempe. Tapi belakangan dia makan di dekat tempatku makan. Dia ambil nasi sendiri, plus lauknya, lalu makan di dekatku.”
“Dan kalian bercakap-cakap?” saya bertanya.
“Ya,” sahut Salman.
Dari percakapan-percakapan saat makan itulah, Salman saling kenal dengan anak perempuan pemilik warung. Seiring waktu, mereka makin akrab, dan Salman, sebagai pria dewasa, tahu akan kemana semua itu menuju. Anak pemilik warung itu jelas menyukainya, dan orang tuanya juga jelas memberi lampu hijau. Tetapi...
Salman menyatakan, “Aku sangat bingung, waktu itu. Sebagai laki-laki, aku sangat memahami apa yang kuhadapi. Aku tinggal menyatakan keseriusanku, dan ending-nya sudah bisa diduga; kami akan menikah. Dan jika benar aku menikah dengannya, aku akan sangat, sangat, bersyukur. Dia cantik, dan aku percaya dia perempuan yang baik. Tapi aku lalu berpikir, jika kemudian aku menikah, siapa yang akan mengurus ibu dan adikku? Kakak dan adikku yang sudah menikah terbukti tak bisa diandalkan—mereka sudah terlalu sibuk dengan keluarga mereka sendiri. Jika aku juga menikah, aku mungkin bahagia, tapi ibuku akan telantar, sementara adik bungsuku akan merasa sendirian.”
Saat mendengar penjelasan itu, saya memahami maksud Salman sepenuhnya. Bagaimanapun, keberadaannya sangat diandalkan ibu dan adiknya di rumah. Dan selama ini Salman dapat merawat serta mengurusi ibunya—bersama adiknya—karena Salman belum menikah, sehingga dapat memberikan semua waktu, energi, juga penghasilannya, untuk ibu serta adiknya. Jika dia menikah, mau tidak mau dia harus membagi dirinya, energinya, waktunya, untuk pasangannya. Masih bagus kalau pasangannya bisa memahami kondisi Salman, hingga tidak banyak menuntut. Tapi bagaimana jika tidak? Sebagai sesama pria, saya benar-benar bisa memahami kegalauan Salman.
“Jadi, akhirnya, aku memutuskan untuk menghilang,” ujar Salman kemudian.
Salman menuturkan, makin lama dia makin tersiksa oleh perasaannya sendiri. Di satu sisi, dia jatuh cinta pada perempuan itu, dan perempuan itu pun menunjukkan ketertarikan yang sama. Tetapi, di sisi lain, Salman merasa tidak mampu melakukan apapun, karena dia terikat tanggung jawab pada ibu dan adiknya.
“Jika aku meneruskan langkah,” kata Salman, “tidak ada jalan mundur lagi. Jadi, akhirnya aku memilih menghilang. Aku tidak pernah datang ke warung itu lagi.”
Ketika Salman memutuskan “menghilang” dengan cara tidak pernah datang ke warung itu lagi, dia berharap akan datang hari yang baik—ibunya sehat, adik bungsunya bisa bekerja, dan dia dapat mulai membangun hidupnya sendiri.
Tapi harapan Salman tak pernah terwujud. Sampai hampir dua tahun sejak dia menghilang tadi, ibunya belum juga sehat, dan Salman belum bisa beranjak ke mana-mana. Lalu, suatu hari, dia tahu perempuan yang amat dicintainya telah menikah dengan orang lain.
Jadi, sejak memutuskan menghilang—tidak pernah makan di warung tadi—Salman kadang sengaja lewat di depan warung itu, sekadar untuk mengobati kerinduannya pada anak pemilik warung. Memang dia belum tentu bisa melihat perempuan itu, “Tapi setidaknya aku merasa senang, karena bisa melihat warungnya.”
Lalu, suatu malam, Salman mendapati warung itu tutup. Besoknya, dia kembali lewat sana, dan warung masih tutup. Ketika sampai empat hari berturut-turut mendapati warung masih tutup, Salman memberanikan diri bertanya pada penjual pulsa yang ada di samping warung. Menurut penjual pulsa, “Pemilik warungnya lagi mantu, jadi mungkin masih sibuk dan tidak sempat buka warung.”
“Mantu?” Salman bertanya dengan perasaan tak karuan.
Penjual pulsa menjelaskan, “Anak perempuannya menikah.”
Perempuan itu, yang membuat Salman jatuh cinta, rupanya menikah. Dan Salman merasa dunianya runtuh.
Perempuan itu benar-benar menikah—Salman telah mengonfirmasinya ke orang-orang di sekitar warung. Dengan suara tersiksa, Salman menyatakan, “Setiap hari aku berdoa agar ibuku sehat, agar aku bisa mulai memikirkan hidupku sendiri. Ketika itu terjadi, aku akan memberanikan diri kembali ke warung itu... tapi doa-doaku sepertinya tak terjawab.”
Saya bisa merasakan kepedihan kata-kata itu.
Cinta paling menyakitkan sepertinya bukan cinta kepada seseorang yang tidak mencintai kita. Cinta paling menyakitkan adalah jatuh cinta kepada seseorang yang juga jatuh cinta kepada kita, tapi kita tidak bisa melakukan apapun... karena terperangkap dalam takdir yang tidak kita minta.