Zarry Hendrik dan Ribut-ribut Soal LGBT

Ilustrasi/liputan6.com
Di Minggu pertama bulan Juni 2023, keributan terjadi di Glendale, sebuah kota di California, AS, antara kelompok pro-LGBT dan kelompok kontra-LGBT. Keributan itu dipicu oleh upaya kelompok-kelompok pro-LGBT yang mulai berkampanye ke sekolah-sekolah, yang salah satunya di Glendale. Mereka meminta agar sekolah-sekolah mulai memperkenalkan keragaman gender pada anak-anak, dan mengakui Juni sebagai Pride Month.

Pride Month adalah waktu untuk memperingati dan merayakan keberagaman serta hak-hak kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Pride Month memiliki arti penting bagi komunitas LGBT, juga sebagai panggilan untuk kesetaraan dan penerimaan yang lebih luas dalam masyarakat. 

Pride Month, yang dirayakan tiap bulan Juni, telah diakui secara global, meski belum semua negara menerimanya. Sementara negara-negara yang mengakui Pride Month, seperti AS, juga tidak/belum semua wilayahnya ikut menerima. 

Para aktivis LGBT terus berkampanye terkait hal itu, dengan harapan Pride Month semakin diakui secara luas, dan kampanye mereka sampai menyasar sekolah-sekolah. Salah satu sekolah yang mereka dekati adalah sekolah yang ada di Glendale, California, dan mereka meminta pihak sekolah agar mengakui Pride Month, sekaligus mengenalkan keragaman gender pada anak-anak yang jadi siswa mereka.

Pihak sekolah di Glendale mengapresiasi permintaan itu, dan mereka lalu mengadakan rapat dengan dewan sekolah setempat. Ketika rapat sedang berlangsung, masyarakat yang pro dan kontra LGBT berdatangan ke sana, dengan tuntutan masing-masing. Mereka yang pro tentu saja berharap pihak sekolah mendukung permintaan aktivis LGBT. Sementara yang kontra berharap pihak sekolah menolak.

Kerumunan di depan sekolah itu mencapai klimaks ketika pihak sekolah akhirnya memutuskan bahwa mereka menerima permintaan aktivis LGBT, dan ikut mengakui Juni sebagai Pride Month. Hal itu lalu memicu keributan antara pihak yang pro dan kontra tadi, hingga terjadi baku hantam. Video yang merekam adegan itu muncul di internet, termasuk di Twitter... dan Zarry Hendrik mengomentari video itu.

Zarry tidak setuju jika keragaman gender (LGBT) dikenalkan pada anak-anak, dan dia mengomentari video tadi dengan nada protes, “Kenapa begini (terjadi keributan)? Karena agendanya udah ke anak-anak. Masuk ke sekolah, film-film anak, buku-buku anak, grooming anak-anak… orang bisa tadinya santai aja sampe kemudian family diusik. Yang anti, itu di kaos yang dipake message-nya jelas: LEAVE OUR KIDS!”

Tweet Zarry mendapat banyak respons dan komentar di Twitter, dari sekadar nyambar sampai mengomentari dengan serius. 

Ribut-ribut soal tweet Zarry itu sampai ke timeline saya, dan sejujurnya saya bingung. Di satu sisi, berdasarkan perspektif sains, saya mengakui bahwa keragaman gender [dapat] dimulai sejak seorang bayi dilahirkan, tanpa menafikan sebab-sebab lain. Tetapi, di sisi lain, saya juga bertanya-tanya, haruskah keragaman gender atau LGBT dikenalkan pada anak-anak?
 
Saya tentu memahami bahwa pola pikir liberal [dalam hal ini mengenalkan LGBT pada anak-anak] bertujuan baik, yaitu mengenalkan keragaman gender dan mendidik mereka untuk inklusif sejak dini. Tujuan jangka panjangnya tentu saja agar setiap orang mampu menerima perbedaan orang lain, khususnya terkait gender, hingga tidak ada lagi diskriminasi apalagi persekusi. Tujuan yang mulia, tentu saja.

Namun, saya juga berpikir, khususnya dalam konteks Indonesia, jangankan mengenalkan LGBT[Q] pada anak-anak, wong sekadar mengenalkan pendidikan seks saja, orang-orang sudah kebakaran jenggot! Padahal tujuan “pendidikan seks” adalah agar lebih mengenali tubuh kita sendiri dan lawan jenis, yang salah satu tujuan pentingnya menjauhkan kemungkinan terjadinya pelecehan seksual. Tujuan yang baik dan mulia, kan?

Tetapi tujuan yang baik dan mulia itu harus berhadapan dengan orang-orang konservatif [atau orang-orang yang tidak mau mikir], yang menganggap “pendidikan seks” sebagai “mengajari anak-anak untuk berhubungan seks”. Kacau sejak dalam pikiran!

Jadi, bagaimana mungkin kita—khususnya yang ada di Indonesia—bisa menerima kemungkinan LGBT [yang telah terstigmatisasi menyimpang] diajarkan pada anak-anak di sekolah, kalau untuk mengajarkan pendidikan seks saja sudah harus “baku hantam” dengan kalangan konservatif?

Dan konservatisme bukan hanya milik Indonesia. Di Amerika, yang konon liberal, sebagian masyarakatnya juga konservatif. Buktinya terlihat pada video keributan yang terjadi di California, yang dikomentari Zarry Hendrik, yang lalu memicu keributan di Twitter. Masyarakat di AS sebenarnya tidak [terlalu] mempermasalahkan keberadaan LGBT, tapi mereka meminta agar menjauhkan LGBT dari anak-anak. 

Dalam perspektif saya, mengenalkan LBGT pada anak-anak adalah “lompatan” yang terlalu jauh. Kita belum sampai ke sana, karena bahkan tahap yang paling dasar pun belum bisa diterima seutuhnya. Dalam contoh paling mudah, terkait gender, anak laki-laki yang bermain masak-masakan akan dianggap “salah”, karena masak-masakan adalah permainan anak perempuan. Di sisi lain, anak perempuan yang suka main mobil-mobilan akan dianggap “menyalahi kodrat”, karena mobil adalah mainan anak laki-laki.

Padahal, ketika dewasa, banyak laki-laki yang jadi koki hebat, yang pekerjaannya seputar masak memasak. Wong penjual nasi goreng keliling juga para laki-laki! Sebaliknya, banyak perempuan dewasa yang jadi montir mobil, pembalap profesional, atau bahkan ilmuwan di bidang otomotif. Artinya, orientasi atau ketertarikan mereka pada mainan ketika anak-anak sebenarnya tidak salah sama sekali. Yang menjadikan hal semacam itu salah sebenarnya bukan si anak, juga bukan mainannya, tapi konstruksi sosial!

Konstruksi sosial mendikte bahwa mobil-mobilan adalah mainan anak laki-laki, dan masak memasak adalah mainan anak perempuan. Dan konstruksi sosial itu begitu kuat mencengkeram kultur masyarakat kita, hingga kita akan dianggap “keliru” jika membelikan mainan mobil untuk anak perempuan, atau membiarkan anak laki-laki asyik bermain masak-masakan. Bisa melihat inti masalahnya?

Jadi, jangankan mengenalkan LGBT pada anak-anak, wong sekadar memahami dan menerima kenyataan bahwa “mainan tidak memiliki jenis kelamin” saja banyak orang tidak bisa!

Andai masyarakat kita sudah mampu menerima kenyataan itu—bahwa anak laki-laki boleh main masak-masakan, dan anak perempuan boleh main mobil-mobilan—kita bisa masuk ke langkah selanjutnya, untuk mengenalkan pendidikan terkait jenis kelamin, agar anak-anak lebih mengenal tubuhnya sendiri dan tubuh lawan jenisnya, agar mereka memahami batasan yang harus dihormati. 

Siapapun tentu tidak ingin anaknya menjadi pelaku pelecehan seksual, apalagi menjadi korban pelecehan seksual. Tapi bagaimana memberi tahu anak-anak terkait batasan mana yang melecehkan dan mana yang tidak? Orang tua yang terdidik mungkin bisa mendidik anaknya—tapi bagaimana dengan orang tua yang tidak terdidik? Karenanya, hal itu mestinya jadi tugas guru di sekolah, dan karenanya pula pendidikan seks juga mestinya menjadi bagian dari pendidikan.

Tetapi, seperti yang disebut tadi, masyarakat kita masih “primitif”. Kalau mendengar “pendidikan seks”, yang ada di pikiran mereka adalah “mengajari hubungan seks”. Padahal, “seks” artinya “kelamin”. Pendidikan seks artinya mendidik anak-anak untuk lebih mengenali jenis kelaminnya sendiri dan lawan jenis, dengan tujuan agar masing-masingnya saling menghormati dan tidak sampai melecehkan. [Saya malu menjelaskan ini, karena mestinya semua orang yang cukup waras sudah tahu!]

Jadi, kita lihat? Terkait gender, kita bahkan belum beranjak ke mana-mana. Kita belum selesai mengedukasi masyarakat untuk menerima kenyataan bahwa mainan tidak memiliki jenis kelamin, bahwa anak laki-laki boleh main masak-masakan dan anak perempuan boleh main mobil-mobilan. Kita belum selesai menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan seks dibutuhkan agar anak-anak mulai belajar menghormati diri sendiri dan tidak melecehkan orang lain. 

Jika dalam kondisi semacam itu tiba-tiba kita “melompat” pada upaya mengenalkan LGBT pada anak-anak, sepertinya wajar kalau sebagian masyarakat pada ngamuk. 

Mengenalkan LGBT pada anak-anak memang dapat mengajari mereka untuk menerima keragaman gender, dan mendidik inklusivitas sejak dini. Tetapi, di sisi lain, saya sulit membayangkan kompleksitas yang bakal dihadapi terkait hal itu. Karena, seperti yang saya sebut tadi, itu seperti melompat terlalu jauh. 

Ketika membaca tweet dan argumen Zarry Hendrik yang memprotes kampanye LGBT yang menyasar anak-anak, saya memahami kekhawatirannya. Di sisi lain, ketika membaca respons atau tanggapan dari pihak lain [yang pro LGBT dikenalkan pada anak-anak], saya juga dapat memahami maksud dan tujuan mereka. Tetapi, sejujurnya, saya tidak benar-benar yakin sintesis macam apa yang dapat digunakan untuk menjembatani dua perbedaan pola pikir itu, khususnya dalam konteks Indonesia kekinian.

Mengubah pola pikir ala Zarry Hendrik agar menerima kenyataan LGBT baik dikenalkan pada anak-anak, tentu saja sangat sulit. Begitu pula mengubah pola pikir orang-orang yang berlawanan dengannya. Dalam hal ini, saya lebih berpikir bahwa mengenalkan LGBT pada anak-anak adalah lompatan yang terlalu jauh, tanpa bermaksud menafikan manfaat yang mungkin ada. Seseorang mungkin punya pemikiran lain?

Related

Hoeda's Note 3600260979088257421

Posting Komentar

  1. Bicara LGBT ini bikin mumet emang. Apalagi kejadian waktu itu di Perancis, kelompok Trans membakar bar Lesbi, karena si Lesbi ngerasa dilecehin oleh Trans.

    Dari sisi Lesbi mungkin ngerasa risih karena Trans ini kan bukan Perempuan sejati.

    Dari sisi Trans, loh aku kan sudah jadi Perempuan sejati sampe rela ngilangin itunya.

    Bahkan serumpun LGBT sendiri aja masih dapat menimbulkan kericuhan. Apalagi dengan yang non-LGBT, tentu lebih ricuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lhah, yang sesama LBGT gitu aja pada ribut. Kayaknya akar masalahnya emang bukan sekadar perbedaan, tapi kemampuan dalam menerima keragaman dan perbedaan.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item