Teori Ernest Prakasa, dan Mengapa Netizen Ngamuk
https://www.belajarsampaimati.com/2023/06/teori-ernest-prakasa-dan-mengapa.html
Ilustrasi/fimela.com |
Ernest Prakasa—kalian tahu siapa dia—menulis tweet terkait dunia kerja, “Ajaran bokap pas gw mau masuk kerja: Jangan pikirin gaji, kerja & buktiin kalo pekerjaan kamu udah terlalu mudah buat kamu, maka kamu akan dikasih tanggungjawab yang lebih besar. Gaji akan ngikut sendiri.” (Teks sesuai aslinya).
Ernest mendapat nasihat itu dari ayahnya, dan kemungkinan ayahnya telah mempraktikkan teori itu, dan berhasil. Karenanya, ia mewariskan nasihat itu kepada Ernest, dan Ernest mungkin juga telah mempraktikkannya, dan berhasil, hingga dia menyampaikannya kepada kita. Tapi banyak netizen yang protes dan “ngamuk”, dan menganggap teori atau nasihat itu tidak relevan dengan mereka. Bagaimana dan mengapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, kita perlu mengakui terlebih dulu bahwa tweet Ernest sebenarnya tidak salah. Karena, secara teoritis, yang dia katakan itu benar. Dan yang disebut “teoritis” sering kali berpijak pada dunia yang ideal, sementara kebanyakan kita tidak hidup di dunia yang ideal. Dan itulah yang kemudian terjadi. Teori yang sebenarnya ideal, bertabrakan dengan realitas yang tidak ideal. Saran yang sebenarnya baik, berhadapan dengan kenyataan yang buruk. Nasihat yang benar malah jadi salah ketika dipraktikkan. Bagaimana kegilaan ini terjadi?
Di dunia kerja yang ideal, kamu memang tidak perlu memikirkan gaji. Karena gaji akan mengikuti hasil kerjamu. Semakin baik kamu bekerja, gajimu akan naik sendiri. Jadi, buktikan saja bahwa kamu bisa bekerja dengan baik, menangani dan mengerjakan banyak hal yang tak bisa dilakukan orang-orang lain, maka atasanmu akan melihat potensimu, hingga memberimu tanggung jawab lebih besar, posisi lebih tinggi, dan, tentu saja, gaji yang lebih besar. Itu potret dunia kerja yang ideal.
Sayangnya, dunia yang kita tinggali sering kali tidak ideal, dan dunia kerja kadang benar-benar kejam. Kalau kamu tidak merisaukan gajimu, bisa jadi gajimu dibayar telat, bahkan kurang. Kalau kamu membuktikan bisa bekerja dengan baik, atasanmu mungkin senang, dan memberimu tanggung jawab lebih besar dan pekerjaan tambahan... tapi gajimu ya tetap segitu-gitu aja. Boro-boro gaji naik, teman-teman kerjamu malah bisa sirik dan menuduhmu “cari muka”. Kan asu, kalau begitu.
Di dunia yang ideal, semua orang adalah manusia baik, dan kita semua hidup dengan baik. Kita bekerja di tempat yang baik, dengan atasan yang baik, dengan teman-teman yang baik, dan seterusnya. Di dunia ideal semacam itu, teori Ernest Prakasa benar-benar bisa diaplikasikan, dan para malaikat di surga akan setuju kalau teori itu akan berhasil, bahkan secara mutlak. Kamu tidak perlu memikirkan gaji, karena gajimu akan naik sendiri seiring kemampuanmu menghasilkan kinerja terbaik.
Tetapi, seperti yang disebut tadi, kita tidak tinggal di dunia seideal itu. Kita hidup di dunia yang kacau dan penuh persaingan, dan orang jahat ada di mana-mana. Kita bekerja di tempat yang sering tidak sehat, dengan persaingan rekan kerja yang kadang menghalalkan segala cara sampai saling sikut. Atasan kita di kantor mungkin keparat licik yang menumpuk pekerjaan di meja kita, dan tetap menggaji kita seirit mungkin. Hasilnya, semakin keras kita bekerja, tipes dan depresi semakin dekat, sementara gaji tidak juga naik, dan teman-teman kerja pada sirik.
Secara ilmiah, ada fenomena yang disebut “disparitas teori-praktik”, yaitu gap yang memisahkan antara teori dengan praktiknya. Secara teoritis, suatu teori bisa jadi memang benar. Tetapi, ketika diaplikasikan atau dipraktikkan, teori yang benar itu justru gagal total. Fenomena ini bisa terjadi karena beberapa hal. Di antaranya karena teori dibangun dengan landasan dunia ideal... atau karena teori disesuaikan dengan pengalaman pribadi.
Sekarang, mari lihat contoh lain yang lebih ekstrem dari teori Ernest—suatu teori yang sebenarnya benar, tapi hasilnya belum tentu selaras dengan teori.
Ada seorang pria yang pergi ke Jakarta karena diterima bekerja di suatu perusahaan. Dia sudah pamit pada orang tua, juga pada para tetangganya, bahwa dia akan merantau ke Jakarta. Singkat cerita, ternyata dia tertipu. Dia kemudian luntang-lantung di Jakarta, sementara bekalnya terus menipis.
Waktu itu, dia berharap bisa mendapat kerja apapun di Jakarta, karena sudah telanjur di sana. Saat siang, dia berjalan ke sana kemari, sementara malam dia tidur di masjid atau di tempat manapun yang memungkinkan. Selama itu, dia mengaku, dia selalu shalat tepat waktu, di masjid atau mushala mana pun yang ia temukan. Tapi pekerjaan yang dicari tidak juga tertemukan.
Lalu, suatu waktu, ketika bekalnya benar-benar hampir habis, dia terduduk lesu di pelataran sebuah masjid, bingung memikirkan apa yang harus dilakukan. Saat itulah dia bertemu seorang pria yang baru shalat, dan duduk di dekatnya, lalu mereka mengobrol. Seiring obrolan, dia curhat pada pria asing itu, tentang perjuangannya mencari kerja, dan bla-bla-bla.
Pria asing itu ternyata pengusaha. Singkat cerita, pria asing itu lalu mengajaknya kerja sama, dan menyatakan, “Kamu pulang saja. Bantu saya mengembangkan usaha di tempatmu, dan saya akan memodalimu.”
Dia pun pulang, dan, dengan modal yang diberikan pria asing tadi, dia benar-benar jadi pengusaha di suatu bidang seperti yang diminta orang yang memodalinya, sampai sekarang. Setelah bertahun-tahun menjalankan usaha tersebut, dia kini jadi orang kaya. Belakangan, setiap ada yang meminta saran sukses, dia biasa menasihati, “Lakukanlah shalat tepat waktu, karena itu akan melancarkan rezekimu, dan membawamu pada kesuksesan.”
Bukan hanya memberikan nasihat, dia benar-benar melakukan yang dia nasihatkan. Saya kenal dengannya. Dan saya menyaksikan sendiri, kapan pun azan terdengar, dia akan menghentikan semua aktivitas apapun, dan segera shalat. Karena dia percaya bahwa yang membuatnya sesukses sekarang adalah karena selalu shalat tepat waktu.
Jadi, mengutip nasihatnya, “Lakukanlah shalat tepat waktu, karena itu akan melancarkan rezekimu, dan membawamu pada kesuksesan.”
Apakah nasihat itu benar? Tentu saja benar, khususnya bagi muslim! Khususnya lagi bagi dia yang memang kebetulan bertemu orang yang tepat, hingga sukses, karena shalat tepat waktu. Tetapi, kalau kamu mempraktikkan nasihat itu, apakah kamu akan terjamin sukses? Mohon maaf, saya tidak nyaman menjawabnya. [Secara pribadi, saya lebih percaya shalat ditujukan untuk ibadah, bukan untuk mengejar kesuksesan duniawi.]
Jadi, itu contoh lain nasihat yang benar secara teoritis—karena si pemberi nasihat sudah membuktikannya sendiri—tapi belum tentu terbukti benar pula ketika dipraktikkan orang-orang lain. Karena nasihat yang berpijak pada dunia ideal, atau nasihat yang berdasar pengalaman pribadi, sering kali memang benar, tapi subjektif, dalam arti bisa dibuktikan seseorang, tapi belum tentu bisa pula dibuktikan semua orang.
Faktanya, kebanyakan nasihat memang seperti itu. Karena hampir tidak mungkin satu nasihat bisa diterapkan secara universal pada semua orang dengan berbagai latar belakang berbeda. Karenanya, saya percaya, nasihat terbaik bukan nasihat yang diberikan, tapi nasihat yang diminta. Nasihat yang diminta artinya nasihat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi orang yang memintanya, dan itu bisa berbeda-beda untuk orang per orang.
Kalau kita mengumpulkan seribu orang dan memuntahkan nasihat pada mereka, apakah nasihat kita pasti relevan untuk mereka semua? Jawabannya mutlak; jelas tidak! Dari seribu orang itu, bisa jadi yang merasa related dan relevan dengan nasihat kita paling satu dua orang. Sisanya mungkin mencibir diam-diam.
Ernest Prakasa punya 2,4 juta pengikut di Twitter. Berapa yang merasa related dan menganggap nasihatnya tadi relevan? Paling beberapa orang—sisanya pada ngamuk! Dalam hal itu, saya termasuk yang menganggap nasihatnya relevan dan related dengan saya.
Secara pribadi, saya menganggap nasihat Ernest itu benar, bahkan sebenarnya juga menjadi filosofi saya selama ini. Dalam hal kerja, saya benar-benar menerapkan hal sama yang dikatakan ayah Ernest, bahwa yang penting bekerja dengan baik, sebaik yang saya bisa, dan terus perbaiki, dan hasil akan datang sendiri. Saya sudah membuktikannya, berkali-kali, bahkan tanpa harus melamar kerja kemana pun.
Selama satu dekade lebih, saya membangun situs ini, Belajar Sampai Mati, sendirian, menulis ribuan artikel yang dibaca jutaan orang, tahun demi tahun. Tidak ada iklan di sini, jadi jelas saya tidak mendapatkan uang dari situs ini.
Orang-orang mungkin menganggap saya membuang-buang waktu. Tapi saya melihat sesuatu yang tidak dilihat kebanyakan orang. Tolong maafkan jika ini terdengar sombong; situs ini adalah portofolio saya, dan hanya segelintir orang di dunia yang mampu melakukannya! Sebagai perbandingan, situs Quora ditulis ribuan orang, situs Brainly mempekerjakan ribuan orang, tapi situs ini ditulis dan dikerjakan oleh hanya satu orang!
Situs ini berteriak jauh lebih nyaring dibanding surat lamaran kerja terbaik yang bisa saya bikin. Tanpa profil di LinkedIn, situs ini telah menjelaskan apa yang bisa saya lakukan—sesuatu yang tidak bisa dilakukan jutaan orang di luar sana. Karenanya, tanpa harus melamar kemana pun, pekerjaan demi pekerjaan mendatangi saya. Saya tidak perlu menjelaskan apa yang mampu saya kerjakan—saya sudah menunjukkannya!
Di antara hal baik yang didatangkan situs ini adalah saat saya direkrut perusahaan raksasa teknologi, sebagaimana yang saya ceritakan di sini. Perusahaan itu menciptakan banyak aplikasi populer yang pasti ada di ponsel kalian. Bagaimana saya bisa berhubungan dengan perusahaan raksasa semacam itu? Karena situs ini! Bukan saya yang melamar, mereka yang menemukan saya.
Dan sampai sekarang saya masih terus mengembangkan situs ini, terus memperbaiki dan membesarkannya, karena impian saya menjadikan situs ini sebagai situs pendidikan/pembelajaran terbaik di Indonesia. Dan saya tahu, ada hal-hal besar yang juga menunggu saya di luar sana.
Karenanya, saya percaya nasihat ayah Ernest, bahkan telah menjalankannya selama bertahun-tahun. Dan saya telah membuktikan nasihat itu benar. Tetapi, bagaimana pun, saya juga percaya bahwa sesuatu yang saya anggap benar atau relevan, belum tentu akan benar dan relevan pula untuk orang lain. Karena tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama, privilese yang sama, atau pola pikir yang sama.
Sering kali, kenyataannya, dunia memang tidak ideal, kehidupan tidak sempurna, dan manusia tidak sesederhana yang kita pikirkan.