Seorang Siswa SMP Membakar Sekolahnya

Ilustrasi/joss.co.id
Di antara banyak berita yang ramai saat ini, kasus pembakaran sekolah di SMPN 2 Pringsurat, Kabupaten Temanggung, adalah salah satunya. Seorang siswa di SMP itu, disebut dengan inisial RE, membakar gedung sekolahnya sendiri menggunakan sarana semacam bom molotov. Aksinya terekam CCTV, dan dia pun ditangkap. RE mengaku kalau dia membakar sekolahnya karena sakit hati akibat di-bully teman-teman dan gurunya.

Bullying, yang dalam bahasa Indonesia disebut perisakan atau penindasan, adalah perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang lebih lemah. Karenanya, di sekolah, aktivitas perisakan sering kali dilakukan oleh murid secara berkelompok [semacam pengumpulan kekuatan] dan menyasar seorang individu [yang jelas tidak imbang dalam hal kekuatan atau lebih lemah].

Banyak orang yang, jika sendirian, tidak berani merisak orang lain. Tapi ketika berkumpul dalam sebuah “komplotan”, mereka jadi berani merisak dan menindas. Dalam kasus RE, hal serupa terjadi. Dia dirisak bukan oleh satu temannya, tapi oleh teman-temannya, ditambah oleh gurunya. Karena merasa “putus asa”, dia lalu membakar sekolahnya. Sebagian netizen mendukung langkah RE, meski dia mungkin salah, karena para penindas memang harus dilawan.

Masalah bullying, perisakan, perundungan, penindasan, atau apapun istilahnya, adalah masalah umum di sekolah manapun. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. 

Di Jepang, misalnya, kasus bunuh diri yang dilakukan anak sekolah terus terjadi dari tahun ke tahun, dan penyebabnya karena bullying. Menurut catatan resmi, dari tahun 1972 hingga 2013, ada 18.048 kasus bunuh diri pada anak-anak usia sekolah di Jepang. Sementara mereka yang tidak melakukan bunuh diri—dengan berbagai latar—mengaku sempat berniat membakar sekolah, sampai memilih keluar dari sekolah.

Mereka yang berniat membakar sekolah menyatakan, “Kalau sekolah terbakar, aku tidak perlu lagi bersekolah, dan itu artinya aku tidak lagi jadi korban bullying.”

Kedengarannya seperti pikiran naif anak-anak. Dan mungkin itu pula yang ada dalam pikiran RE, anak SMP di Temanggung yang membakar sekolahnya sendiri. Mungkin, sebagaimana korban bullying di Jepang, RE juga berpikir serupa. Kalau sekolahnya terbakar, dia tidak perlu lagi bersekolah, dan dia tidak lagi jadi korban bullying. “Visi” RE memang terjadi, sekolahnya kini terbakar, dan dia mungkin tidak lagi jadi korban bullying... tapi ditangkap polisi.

Membakar sekolah tentu saja kesalahan, dan RE pun mungkin sadar kalau dia salah. Tapi bagaimana dengan para perundung atau para penindasnya? Berdasarkan pengakuan RE, bukan hanya teman-temannya yang merisak dia, tapi juga gurunya. Kalau seorang murid sekolah dirisak teman-temannya, dia mungkin bisa lapor ke guru. Tapi bagaimana kalau gurunya juga menjadi pelaku perisakan? 

Masalah bullying sebenarnya bukan hanya bullying-nya itu sendiri, tapi juga kegagapan banyak orang untuk memahami apa itu bullying dan dampaknya pada si korban. Ketika seorang anak menjadi korban bullying di sekolahnya, kemudian melapor ke guru, belum tentu si guru merespons dengan baik. Alih-alih memahami bullying adalah kejahatan, si guru bisa jadi menganggapnya sebagai “gurauan”, “candaan”, dan semacamnya. Padahal gurauan dan candaan berbeda dengan bullying!

Begitu pula ketika seorang anak korban bullying mengadu pada orang tuanya, belum tentu si orang tua akan paham. Bisa jadi, si orang tua malah memarahi anaknya, dan mengatakan agar si anak jangan cengeng! Akibatnya, si korban bullying merasa sendirian, tidak ditanggapi, tidak dipahami, dan kondisi itu jelas membuatnya sangat frustrasi. Fakta banyak korban bullying memilih bunuh diri adalah bukti tak terbantah bagaimana kelamnya kasus ini.

Kalau kamu—mohon maaf—menjadi korban penusukan, kamu bisa melapor pada siapa pun, dan orang-orang akan mudah memahami bahwa kamu jadi korban kejahatan. Begitu pula kalau kamu—sekali lagi mohon maaf—menjadi korban perkosaan, orang-orang juga lebih mudah membelamu karena perkosaan adalah kejahatan. Tapi korban bullying sulit mendapatkan pemahaman semacam itu, karena sering kali tidak ada bukti nyata yang dapat ditunjukkan, khususnya jika bullying yang dialami tidak bersifat fisik.

Di sekolah mana pun, hampir bisa dipastikan ada anak yang jadi korban bullying, dengan berbagai latar dan alasan. Sering kali, kasus yang terjadi adalah sekelompok anak mengolok-oloknya, menghina, melecehkan, dan merendahkannya, dan itu bisa terjadi terus menerus setiap hari. 

Dalam kasus semacam itu, jika si korban bullying melaporkan yang ia alami, apa yang harus ia buktikan? Dia menjadi korban kejahatan, perasaannya tersiksa, kenyamanannya terganggu, bahkan hidupnya terancam, tapi dia kesulitan jika diminta membuktikan apapun, karena tidak ada bukti riil semacam luka fisik yang dapat divisum. Inilah bejatnya perilaku bullying, dan kenapa korbannya sering kali sampai frustrasi hingga bunuh diri.

Sekarang, mari lihat dari sisi lain. Mengapa ada anak di sekolah yang menjadi pelaku perisakan pada temannya sendiri? 

Para ahli menyatakan, anak-anak yang jadi pelaku perisakan sering kali berasal dari keluarga yang penuh masalah. Mereka yang petantang-petenteng di sekolah, hingga mem-bully temannya sendiri, sering kali menjadi korban di rumahnya, misal sering dianiaya orang tua di rumah. Karena tidak mampu membalas orang tuanya, dia melampiaskan kemarahannya di sekolah dengan menjadi penindas temannya. 

Saya percaya hal itu, karena orang yang saya kenal sebagai tukang bully di sekolah juga memiliki latar belakang semacam itu.

Zaman saya SD dulu, ada satu siswa yang suka mem-bully di sekolah. Kadang dia melakukan perundungan sendirian, kadang pula mengajak teman-temannya untuk melakukan perundungan bersama. Teman-teman yang dia ajak rata-rata manut saja, karena khawatir akan jadi korban perundungan jika tidak mau mengikutinya. 

Itu lingkaran setan perundungan. Satu anak bermasalah, dan menjadi penindas. Dia mengajak teman-temannya untuk juga menjadi penindas. Teman-temannya mengikuti, karena khawatir akan jadi korban penindasan jika tidak mau mengikutinya. Lalu komplotan penindas muncul di sekolah, menindas siapapun yang mereka anggap layak ditindas. Dan korban-korban penindasan jatuh dari waktu ke waktu.

Belakangan, ketika dewasa, saya dekat dengan teman zaman SD yang dulu jadi penindas itu, dan saya menanyakan aktivitasnya dulu ketika suka mem-bully teman-teman di sekolah. Dia jujur mengatakan bahwa orang tuanya sangat kejam, dan dia sering dianiaya di rumah, hingga menganggap sekolah adalah “waktu untuk bebas dari kekejaman orang tua”. 

Dia menganggap sekolah adalah waktu untuk lepas dari orang tua yang buruk, tapi dia juga menjadi siswa yang buruk. Anak-anak yang bermasalah di sekolah sering kali berasal dari rumah yang juga bermasalah.

Selain sesama siswa yang jadi pem-bully, kadang juga ada guru yang mem-bully muridnya sendiri. Itu benar-benar rusak sekaligus merusak. Karena guru yang mestinya jadi pelindung murid malah jadi perundung murid. Dan hal semacam itu tidak hanya terjadi dalam kisah fiksi. Buktinya, RE yang membakar sekolahnya juga mengakui kalau pelaku perundungan terhadap dirinya bukan hanya teman-teman, tapi juga gurunya. Dan saya percaya hal itu, karena saya juga pernah mengalaminya!

Zaman SMP, saya punya guru yang seperti itu. Di SMP dulu, satu-satunya mata pelajaran yang tidak saya kuasai hanyalah olahraga. Dan alasan saya kurang nyaman selama pelajaran olahraga, karena cara guru dalam mengajarkan pelajaran itu. 

Selama pelajaran olahraga, dan ada murid yang tidak bisa melakukan sesuatu dengan sempurna (misal tolak peluru atau lempar lembing), guru bukannya menegur dengan baik sebagaimana seharusnya seorang guru, tapi malah menghina, merendahkan, mengolok-olok, melecehkan, dan ia melakukan aksi perundungan itu di depan murid-murid yang lain. Akibatnya, murid yang tidak bisa bukan termotivasi agar bisa, tapi diam-diam menyimpan kebencian dan dendam kepadanya. 

Bullying, perisakan, perundungan, atau penindasan, bukan kasus sepele—itu serupa perkosaan, atau kejahatan lain yang merenggut harga diri seseorang. Kalau kamu melakukan bullying sekarang, beberapa tahun ke depan mungkin sudah lupa. Tapi korban bullying tidak pernah melupakan perbuatanmu. Kamu bisa menanyakan hal ini pada siapapun yang pernah jadi korban bullying, dan mereka akan mengatakan hal yang sama! Bullying meninggalkan luka, trauma, bahkan dendam, hingga sangat... sangat lama.

Masalahnya, seperti yang disebut tadi, bullying adalah kasus yang rumit sekaligus kelam. Rumit, karena kasus ini sering kali merupakan mata rantai (dampak lanjutan) dari hal-hal lain yang melatari. Seorang anak bisa jadi korban penganiayaan orang tua di rumah, lalu dia menjadi penganiaya teman-temannya di sekolah. Akibatnya, menangani kasus ini sering kali harus menelusuri akar masalahnya. 

Bullying juga kasus yang kelam, karena masih banyak orang yang tidak memahami kasus ini sepenuhnya, dan menganggap bullying semacam olok-olok biasa, atau sekadar candaan antarteman yang “tak perlu dimasukkan ke hati”. Padahal bullying bukan olok-olok biasa, bukan candaan biasa, bukan gurauan biasa. Bullying adalah penindasan, dengan dampak destruktif pada psikis si korban! 

Di Twitter, ada netizen yang mengusulkan agar pemerintah membentuk suatu badan khusus yang menangani laporan kasus bullying, dan benar-benar memperhatikan serta menangani setiap laporan secara komprehensif. Dengan adanya badan khusus yang menangani kasus bullying, anak-anak sekolah atau siapapun yang jadi korban bullying punya tempat jelas untuk mengadu dan meminta pertolongan.

Saya pikir itu usul yang bagus—jauh lebih bagus daripada menunggu korban bullying membakar sekolahnya.

Related

Pendidikan 4459553154183810297

Posting Komentar

  1. untung saja guru olahraga ku ga bully waktu aku sekolah dulu, karena aku termasuk siswa yang sangat sangat tidak bisa menguasai pelajaran olahraga praktik, kalo teori, boleh lah diadu.

    soal bullying, bapakku dulu waktu aku masih kecil pernah berkata, "jangan pulang dengan tangisan, kalo kamu dipukul, pukul balik sampe anak yang mukul itu nangis". alhasil, ibu2 temenku yang jailin aku sering ke rumah, ngelabrak ibuku, wkwkwk.

    lah aneh sekali, dia yang memulai, yang gangguin, malah dia yang nangisan.

    dulu adek iparku pernah jadi korban bullying kakak kelasnya. dia kelas 3 SD waktu itu.

    waktu aku ke purwokerto beberapa hari, mertuaku curhat kalo adek iparku sering diganggu sama kakak kelasnya. mertuaku selalu mengajarkan pada anaknya jangan membalas, mending dimaafkan.

    aku bilang ke mertua, itu salah. selama kita ga gangguin, kalo dipukul, ya pukul balik, kalo bisa kasih bonus sampe nangis. alhasil adek iparku berhasil aku pengaruhi agar menjadi sosok yang membalas dulu, baru memaafkan.

    lah beberapa bulan berikutnya, pas aku ke purwokerto lagi, adek iparku pindah sekolah. hehe. aku tanyain kenapa, ternyata dikeluarkan dari sekolah yang dulu. gara2nya ya karena membalas pukulan kakak kelasnya itu. kakak kelasnya itu ternyata cucunya kepala sekolah. walah dalah.

    dan gara2 dipukul balik oleh adek iparku itu, si anak ini mentalnya hancur. dia ga mau sekolah lagi. trus si kepala sekolah memberi pilihan (meski memaksa aslinya) untuk pindah sekolah. agar cucunya ini mau sekolah lagi jika adek iparku pindah sekolah.

    konyol memang. sok jago, tapi giliran dilayani, malah ciut dan kalah mental.

    rata2 perundung punya mental ginian. giliran dilayani mereka langsung kalah mental.

    yang aku tanamin ke anak2ku sekarang ya seperti bagaimana bapakku mengajarkanku.

    kesannya keras banget yah. tapi itu wajar, karena bapakku dulu mantan petinju. hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rata-rata tukang bully di sekolah itu emang sebenarnya pengecut, John, makanya mereka biasanya berkelompok, atau ngajak-ngajak yang lain. Sangat jarang ada tukang bully yang melakukan aksinya sendirian. Karenanya, kalau seseorang jadi korban bully, dia sulit melawan, karena si pembully gak sendirian.

      Menurutku pribadi, ajaran bapakmu itu lebih positif untuk anak, daripada ajaran "memaafkan". Karena dalam praktiknya, kalau seorang anak di-bully, dan gak ngelawan atau memaafkan begitu aja, seringnya aksi bullying gak berhenti, bahkan malah makin menjadi-jadi. Kalau anak dididik untuk melawan (terlepas kalah atau menang), setidaknya akan terjadi keributan, dan pihak lain (misal guru) akan ngasih perhatian.

      Susahnya emang kalau gurunya gak sadar apa itu bullying. Ya kayak guru olahraga yang aku ceritain itu. Sampai sekarang, jujur aja, aku masih dendam kepadanya. Makanya kalau pas ketemu, aku sama sekali gak tersenyum apalagi menyapa ramah. Aku pandangin aja, dengan sikap menantang. Entah sekarang dia masih jadi pem-bully murid-muridnya atau nggak.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item