Prank Berujung Maut

Ilustrasi/kemenag.go.id
Seorang istri berencana merayakan ulang tahun suaminya. Dia menyiapkan kue ulang tahun, namun juga ingin nge-prank si suami. Ketika si suami sedang bermain biliard dengan teman-temannya, si istri membawa kue ulang tahun tadi, dan menimpukkannya ke muka suaminya. Maksud si istri, mungkin, dia berharap suaminya terkejut, lalu si istri akan mengucapkan “selamat ulang tahun” dan bla-bla-bla.

Sayang, harapan si istri tak terjadi. Suaminya memang kaget karena tiba-tiba istrinya menimpukkan kue ke mukanya. Dan sebelum si istri sempat mengucap “selamat ulang tahun dan bla-bla-bla”, si suami langsung menggamparnya. Mereka pun lalu bertengkar di hadapan teman-teman si suami, yang kebingungan di sekitar meja biliard. Sepertinya, kisah suami istri itu tidak berakhir happy.

Peristiwa itu saya saksikan di sebuah video yang pernah muncul di timeline Twitter, sekian waktu yang lalu. Ketika melihat video itu, saya berpikir, kenapa si istri harus menggunakan cara semacam itu? Maksud saya, jika niat si istri memang baik—mengucapkan selamat ulang tahun untuk suaminya—kenapa harus pakai prank dengan menimpukkan kue ulang tahun ke muka suaminya, di depan teman-temannya?

Masih dalam pikiran saya, tentu lebih baik jika si istri memberikan kue ulang tahun dengan baik pada suaminya yang lagi main biliard, lalu mengucapkan selamat ulang tahun pada si suami, di depan teman-temannya. Itu jauh lebih manis, dan respons si suami tentu juga akan positif—ia merasa dihargai di depan teman-temannya. Tapi menimpukkan kue ulang tahun ke muka suami, di depan teman-temannya, jelas berisiko, karena si suami akan merasa “dihina” di depan teman-temannya. Dan ternyata itulah yang terjadi. 

Saya teringat pada video prank ulang tahun itu, gara-gara menemukan kasus prank serupa. Di Twitter, ada perempuan yang ngasih kado ulang tahun buat pacarnya. Karena melihat jam tangan pacarnya sudah tampak buluk, perempuan itu pun menyiapkan sebuah jam tangan baru sebagai hadiah ulang tahun. Tetapi, bukannya langsung memberikan kado jam tangan itu dengan baik, dia malah nge-prank pacarnya, dengan cara menjatuhkan jam tangan pacarnya sampai pecah.

Maksud si perempuan, mungkin, dengan memecahkan jam tangan si pacar yang sudah buluk itu, si pacar akan senang menerima kado jam tangan baru, dan akan selalu memakainya. 

Yang tidak diketahui si perempuan, ternyata jam tangan buluk yang dipakai pacarnya adalah jam peninggalan ayahnya, dan dia sengaja memakai jam tangan buluk itu karena ingin mengenang ayahnya yang telah meninggal dunia. Akibatnya, ketika jam tangan buluk itu pecah, dia sangat sedih, meski pacarnya lalu memberikan kado jam tangan baru untuk ulang tahunnya.

Sekali lagi, saya tidak habis pikir dengan prank semacam itu. Jika tujuannya memang ingin memberi kado ulang tahun untuk pacar, kenapa tidak langsung memberikannya dengan cara yang baik? Kenapa harus nge-prank dengan merusak barang milik orang yang akan di-prank?

Meski prank telah jadi semacam tren di zaman sekarang, saya masih belum bisa memahami sepenuhnya. Khususnya prank yang terkesan negatif dan membuat korbannya kesal, marah, atau tidak nyaman.

Di media sosial, ada banyak video yang memperlihatkan aksi prank dengan berbagai modus, yang ujungnya adalah pemberian bantuan atau memberi kejutan yang [diharap] menyenangkan. 

Ada orang, misalnya, yang tiba-tiba mendatangi rumah orang lain dengan gaya melabrak, lalu marah-marah sampai ngamuk dan berteriak-teriak, ternyata ujungnya ingin mengucapkan “selamat ulang tahun” pada si tuan rumah. Ujungnya mungkin memang positif, tapi aksi prank semacam itu bisa menimbulkan rasa tidak nyaman bagi si korban. [Kecuali jika si korban prank memang tipe orang yang memang suka prank.]

Ada pula orang nge-prank dengan cara bagi-bagi sembako, ternyata isinya batu bata. Orang-orang yang di-prank adalah orang miskin yang benar-benar berharap dapat bantuan. Orang-orang miskin itu sudah tampak senang karena dapat bantuan, tapi kemudian kecewa ketika melihat bungkusan “bantuan” itu ternyata batu-bata. Terlepas bahwa si pelaku prank kemudian benar-benar memberikan bantuan sembako, apa salahnya kalau langsung saja memberikan bantuan tanpa harus pakai prank batu-bata?

Mungkin saya kurang gaul, hingga kurang mampu memahami fenomena semacam itu. Tentu saya ngerti tujuan utama orang-orang yang sampai bela-belain nge-prank itu untuk membuat konten. Tapi jika tujuannya memang membuat konten, kenapa tidak memakai cara nge-prank yang lebih menyenangkan, yang tidak sampai membuat si korban merasa terganggu atau tidak nyaman?

Di media sosial, juga ada banyak video prank yang menurut saya positif. Mereka melakukan prank pada orang-orang, tapi orang yang di-prank tidak sampai terganggu atau tidak nyaman. Sebaliknya, mereka justru senang. Misal, ada fotografer jalanan yang suka memotret orang-orang yang mencari rezeki di pinggir-pinggir jalan—tukang bakso, penjual gorengan, pengasong jajanan, dan lain-lain.

Fotografer itu memotret “korbannya” diam-diam, dari kejauhan, dan menghasilkan foto yang bagus dan artistik. Setelah itu, dia mendatangi “korbannya”, membeli banyak dagangannya, melebihkan uang pembayaran, dan akhirnya memberikan foto yang ia buat tadi, plus menyerahkan bantuan berupa sembako. 

Aksi prank itu sama sekali tidak mengganggu para pedagang yang di-prank, atau membuat mereka tidak nyaman. Sebaliknya, para pedagang yang jadi “korban prank” itu senang karena dagangannya diborong, dibayar dengan uang lebih, dan akhirnya terkejut campur terharu ketika diberi fotonya sendiri. Para pedagang itu juga berterima kasih karena mendapat bantuan sembako.

Semua adegan itu direkam diam-diam, dan menghasilkan video yang sangat menyentuh hingga membuat penonton terharu. Konten prank semacam itu menghasilkan dampak positif, bagi si korban prank, maupun bagi penonton yang menyaksikan. Sebegitu populer konten-konten itu, sampai banyak pihak yang jadi sponsor konten si fotografer. [Bingkisan sembako yang diserahkan kepada para pedagang di jalanan itu kebanyakan berasal dari sponsor.] Dia, si fotografer ini, punya akun di Instagram maupun TikTok, dan memiliki ratusan ribu pengikut.

Ada pula konten prank yang murni menghibur, namun si korban prank juga tidak sampai terganggu atau tidak nyaman. Agogo Violin, misalnya, suka bikin prank untuk membuat konten vlog di YouTube. Dia masuk kafe atau tempat semacamnya, lalu bertingkah seperti gembel, dan mengejutkan “korbannya” dengan permainan biola yang membius. 

Prank itu murni bertujuan menghibur, dan semua orang memang terhibur, baik korbannya, maupun penonton videonya. Channel Agogo Violin di YouTube memiliki subscriber lebih dari 3 juta; bukti aksi prank-nya memang layak tonton.

Jadi, saya pikir, yang menjadikan konten prank berhasil atau tidak sebenarnya bukan apakah aksi prank yang dilakukan itu “menyenangkan” atau “mengesalkan”. Tanpa harus membuat korban prank merasa terganggu atau tidak nyaman, konten prank tetap bisa sukses kalau materi kontennya memang bagus. 

Sebaliknya, konten prank yang mengesalkan—misal membuat si korban merasa terganggu, tidak nyaman, atau bahkan merasa “tertipu”—belum tentu sukses, jika materi kontennya memang jelek. Apes-apes, si pelaku prank malah bisa dituntut karena melakukan “perbuatan tidak menyenangkan”.

Apa ada orang yang nge-prank dan pelakunya dituntut secara hukum? Ada. Tidak perlu saya sebutkan, lah. Kalian yang biasa update media sosial pasti tahu.

Prank yang dilakukan secara keliru justru bisa berpontensi menghasilkan akhir yang sama sekali tak terduga. Kabar baru terkait hal ini datang dari Thailand. Seorang wanita, yang disebut bernama May, nge-prank suaminya dengan pura-pura selingkuh dengan pria lain. 

Belakangan, May menyatakan bahwa dia sengaja nge-prank suaminya dengan mengatakan dia berselingkuh dengan pria lain, agar si suami lebih giat bekerja, agar bisa menafkahi keluarga secara lebih layak. Tujuannya mungkin baik—berharap si suami lebih giat bekerja—tapi cara dia tampaknya keliru, dan menghasilkan akibat yang fatal.

Suami May, yang mengira isrinya benar-benar selingkuh, jadi frustrasi dan putus asa. Suatu hari, dia meninggalkan secarik kertas berisi tulisan, “Dia yang baik, saya tidak. Selamat tinggal semuanya.” Setelah itu dia pergi ke hutan, dan menggantung dirinya sendiri. May shock saat menemukan kertas tinggalan suaminya, dan belakangan mendapati si suami sudah tak bernyawa.

Menggunakan istilah umum, “Orang mungkin memang beda-beda”. Ada yang suka menyampaikan maksudnya secara langsung dan baik-baik, ada pula yang suka menyampaikan maksudnya dengan cara nge-prank. Dalam hal ini—dan saya menujukan pengakuan ini pada teman-teman atau pasangan saya kelak—saya termasuk orang yang pertama; lebih suka menyampaikan maksud secara langsung dan baik-baik.

Kelak, jika punya pasangan, saya akan berkata kepadanya, dan memastikan bahwa dia benar-benar paham, “Aku tidak suka prank, surprise, kejutan, atau apapun sebutannya. Jadi, kalau kamu ingin menyampaikan sesuatu, atau menginginkan sesuatu, katakan dengan jelas dan dengan cara yang baik. Dan kita bisa membicarakannya dengan nyaman.”

Related

Hoeda's Note 628742781368928763

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item