Nonton Film, dari Kaset VHS sampai Streaming

Ilustrasi/barriermagz.com
Film adalah bagian dari budaya, namun cara kita nonton film bisa berbeda, dan terus mengalami perubahan. Saat ini, misalnya, kita bisa nonton film dengan mudah ke bioskop. Selain bioskop sudah ada di mana-mana, harga tiket masuknya juga relatif terjangkau untuk masyarakat umum. Sementara yang malas ke bioskop bisa nonton film streaming—Netflix, Disney+, Hulu, HBO Max, Amazon Prime, dan lain-lain.

Jauh sebelum budaya kita mengenal streaming film, ada perjalanan panjang yang harus dilalui, meliputi teknologi, gaya hidup, dan lain-lain. Buat generasi yang lahir baru-baru ini, streaming film sebenarnya tidak “ujug-ujug” muncul lalu dikenal masyarakat bumi. Sebelum kegiatan nonton film semudah sekarang—karena bisa diakses lewat smartphone—urusan menonton film adalah perjalanan panjang kebudayaan... dan teknologi.

Zaman saya masih kecil—maksud saya, masih kecil sekali—nonton film adalah kemewahan. Apalagi saya tinggal di kota kecil, sehingga kurang terpapar kemajuan, yang biasanya lebih cepat datang ke kota-kota besar. Di tempat saya dulu, punya televisi adalah kemewahan, bahkan sekadar televisi hitam putih. Karenanya, saya dan anak-anak lain biasanya nonton televisi di rumah tetangga yang punya televisi. Bisa nonton apa saja rasanya senang sekali. 

Sewaktu-waktu, di masa itu, kadang ada layar tancap di kampung saya, yang ditujukan sebagai kampanye Keluarga Berencana. Agar masyarakat tertarik menonton, biasanya ada film komersial yang juga diputar. Bisa film Indonesia, bisa pula film luar negeri. Saya masih ingat, tiap film luar negeri yang diputar, mesti film American Ninja! [Waktu menulis catatan ini, saya sempat mikir, apa mereka—panitia yang menyelenggarakan acara layar tancap—tidak punya stok film lain?]

Tapi meski film yang diputar cuma itu-itu saja, masyarakat di kampung saya tetap tertarik menonton, begitu pula saya dan teman-teman yang waktu itu masih kecil. Rasanya senang sekali bisa menyaksikan film dalam ukuran layar sangat besar, jauh lebih besar dibanding televisi.

Seiring waktu, orang-orang yang memiliki televisi semakin banyak, khususnya di kampung saya. Meski rata-rata televisi hitam putih. Jika sebelumnya saya harus pergi ke tetangga yang lumayan jauh untuk nonton televisi, sekarang bisa nonton di rumah tetangga yang lebih dekat. Itu kegiatan yang saya sukai di masa anak-anak, setidaknya ketika masih SD.

Di rumah saya baru ada televisi, ketika saya akhir SMP. Namun, waktu itu, ketertarikan saya pada televisi sudah menurun, karena lebih suka membaca buku. Di masa itu pula, sudah jarang ada anak yang nonton televisi di rumah tetangga, karena rata-rata sudah punya televisi semua. Sebagian masih hitam putih, sebagian lain sudah berwarna. 

Sampai SMA, saya tetap jarang nonton televisi, dan lebih suka membaca buku. Di masa itu pula mulai muncul video player, yang memungkinkan orang nonton film di rumah. Sarana yang dibutuhkan adalah televisi, video player, dan kaset VHS. Itu masa sebelum VCD apalagi DVD dikenal. Bagi yang mungkin belum tahu, kaset VHS mirip kaset tape recorder, tapi segede gaban. Meski kaset VHS populer di masa itu, hanya orang-orang kaya yang bisa menikmati. Di kampung saya waktu itu hanya ada satu keluarga yang di rumahnya ada video player! 

Di masa itu juga ada rental yang menyewakan film dalam bentuk kaset VHS. Berapa biaya sewanya, saya tidak tahu, karena memang tidak pernah menyewa, dan di rumah saya juga tidak ada video player. Namun, beberapa teman sekolah kadang menyewa kaset VHS, dan saya ikut nonton film di rumahnya. Film yang disewa ya film bioskop yang masa putarnya sudah selesai—mirip rental VCD/DVD gitu, lah. 

Di masa itu pula, saya sudah bekerja sehingga bisa menghasilkan uang sendiri, meski tidak banyak. Jadi, kadang-kadang saya juga nonton film ke bioskop, meski harus ke bioskop yang paling murah, agar uang saya cukup. “Bioskop murah” yang saya maksud adalah bioskop yang kursinya keras—bukan sofa empuk seperti bioskop mahal—dan film yang diputar juga bukan film terbaru. Tidak ada AC, tentu saja, jadi penonton juga bebas merokok.

Itu era ’90-an, masa-masa ketika film Indonesia bisa dibilang mati suri, tapi sebagian sineas Indonesia masih berusaha menghasilkan film apa saja untuk menjaga denyut nadi film Indonesia masih ada. Di masa-masa itulah saya mengenal Sally Marcelina, Ayu Azhari, Kiki Fatmala, dan mbak-mbak lain, yang sering muncul di film Indonesia era itu.

Menjelang tahun 2000, CD dan VCD mulai populer, dan banyak rumah yang memiliki VCD player. Seiring dengan itu, bioskop-bioskop di kota saya gulung tikar. Bisa jadi, waktu itu, penonton bioskop menyusut dan terus berkurang, karena bisa menonton film dengan mudah di rumah masing-masing. Sementara bioskop-bioskop tutup, rental VCD muncul di mana-mana, menyediakan film Indonesia maupun luar negeri. 

Tahun 2001, saya keluar dari rumah orang tua, dan mengontrak rumah sendiri, seiring usaha yang saya rintis waktu itu mulai tumbuh. Saya membeli seperangkat VCD player, televisi, dengan speaker eksternal. Di masa-masa itulah saya sangat menikmati bisa menonton film di rumah, atau menyaksikan konser musik tanpa harus keluar kamar. CD dan VCD adalah keajaiban di masa itu. Betapa cakram tipis yang ringan bisa menghasilkan rekaman musik yang detail atau rekaman film yang jernih [untuk ukuran waktu itu].

Ketika memutar VCD dan menonton film di rumah, saya membayangkan betapa “kemewahan” yang saya nikmati waktu itu adalah hasil perjalanan panjang budaya dan teknologi. Film yang semula hanya dapat saya saksikan lewat televisi atau layar tancap, beralih ke kaset VHS. Lalu kesenangan nonton film memaksa saya masuk ke bioskop. Dan sekarang saya bisa menonton film di rumah saya sendiri, hanya dengan sekeping VCD.

Belakangan, DVD menggantikan VCD, dan menghasilkan rekaman gambar yang lebih bagus. Tapi lompatan yang lebih terasa adalah dari keping cakram (VCD/DVD) ke streaming. Ketika VCD beralih ke DVD, keduanya masih harus menggunakan keping cakram—ada benda berwujud yang harus kita miliki/gunakan untuk dapat menonton film di dalamnya. Tapi streaming mengubah hal itu. Dengan streaming, kita bisa menonton film tanpa harus ada “benda berwujud”—yang kita butuhkan hanya koneksi internet! Netflix dan teman-temannya lahir di era ini.

Sekarang, kalau mau nonton film, kita tidak harus punya VCD/DVD player, tidak harus menyiapkan keping cakram, bahkan tidak harus punya televisi! Cukup smartphone dan koneksi internet, kita bisa langsung nonton film. Sekarang kita bahkan bisa menggunakan proyektor, sehingga dapat menonton film streaming di rumah dengan ukuran layar bioskop!

Dengan streaming, proyektor, apalagi ditambah speaker surround, kita bisa menonton film streaming dengan sensasi ala bioskop, dengan visual berukuran besar, dengan suara yang menggelegar. Dan ketika menikmati hal itu, saya menyadari bahwa “keajaiban” ini tidak datang tiba-tiba, tapi harus melewati perjalanan panjang yang melibatkan banyak hal—sesuatu yang tak pernah disaksikan orang-orang yang tidak mengalaminya, karena lahir belakangan.

Anak-anak atau keponakan kita, yang lahir dengan smartphone di tangannya, yang tumbuh dengan bioskop di rumahnya, mungkin tidak menyaksikan hal-hal yang pernah kita saksikan dan kita alami dulu—hal-hal yang kini memang telah punah. Mereka tidak pernah nonton televisi di rumah tetangga, mereka tidak tahu layar tancap, mereka bahkan mungkin bingung apa itu kaset VHS, VCD player, atau film-film Sally Marcelina.

Karenanya, setiap kali saya duduk menyaksikan streaming di rumah, saya tidak hanya menikmati film yang saya saksikan, tapi juga menyadari bahwa anak-anak saya kelak bukanlah anak-anak zaman saya. Mereka adalah anak-anak zamannya. 

Related

Hoeda's Note 2178165890097778656

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item