Orang Lain yang Menjalani, tapi Kita yang Ribut

Ilustrasi/paragram.id
Twitter tampaknya memang identik dengan keributan. Apa saja diributkan, bahkan hal-hal yang mestinya tidak perlu diributkan. Ada orang tua ngasih makan buat anaknya, diributkan. Ada pria membantu istrinya di rumah, diributkan. Ada wanita membuatkan minum suaminya, diributkan. Apa-apa saja sepertinya diributkan. Entah kita—pengguna Twitter—memang sangat kritis dan pintar, atau dasarnya memang kurang kerjaan.

Sekarang, saat saya menulis catatan ini, orang-orang di Twitter lagi meributkan rumah seseorang yang mereka nilai “kekecilan”. Jadi, ada orang di Twitter nge-post foto-foto rumahnya yang ukurannya relatif kecil, namun tampak indah. Si pemilik rumah bangga dengan rumahnya yang fungsional; kecil tapi nyaman ditinggali. Sudah, gitu aja—tidak ada masalah sama sekali.

Tapi seperti yang disebut tadi, orang-orang di Twitter suka keributan. Bahkan sekadar orang nge-post foto rumahnya saja, masih diributkan. Karena rumah itu relatif kecil, ada yang mempersoalkan, bagaimana kalau ada acara keluarga semisal arisan? Ada pula yang pusing, di mana kalau mau memarkir mobil? Dan lain-lain, dan lain-lain, dan seterusnya, dan seterusnya, yatata, yatata.

Wong mereka yang punya rumah, mereka yang tinggal di sana—dan mereka juga tidak mengundang atau mengajak kita—kenapa kita yang malah ribut dan pusing?

Urusan rumah di Twitter itu mengingatkan saya pada cerita serupa. Miko, teman saya, membangun rumah setelah menikah. Kebetulan, di samping rumah orang tuanya ada tanah kosong yang cukup luas. Orang tua Miko memberikan tanah itu kepadanya, dan Miko membangun rumah di atas tanah tersebut. Selama beberapa bulan, para tukang bangunan terus bekerja membangun rumah di sana.

Pas hari Minggu, saya mengunjungi Miko ke sana, karena dia serta istrinya ada di sana. Seperti yang disebut tadi, di sana ada beberapa tukang yang lagi sibuk bekerja. Ketika saya sampai di sana, Miko dan istrinya sedang bercakap-cakap dengan seorang pria berusia 60-an. Sepertinya, pria itu tetangga Miko. Dan mereka tampak sedang bersitegang.

Rupanya, pria—tetangga Miko—itu menyarankan agar kamar mandi diletakkan di tengah rumah, sebelum dapur. Sementara Miko dan istrinya ingin kamar mandi ada di ruang belakang, setelah dapur. Percakapan—yang lebih terdengar seperti debat—itu berlangsung cukup lama, dan si tetangga tampak terus ngotot dengan idenya soal kamar mandi ada di tengah rumah, sementara Miko dan istrinya tetap kukuh ingin kamar mandi ada di belakang.

Akhirnya, mungkin karena jengkel campur lelah berdebat, Miko mengatakan, “Kami yang akan hidup di rumah ini, bukan sampeyan. Kenapa sampeyan yang ngotot?”

Si tetangga mengatakan, “Saya hanya kasih usul...”

“Terima kasih atas usulnya,” sahut Miko, “tapi kami tidak bisa menerima usul itu, karena kami punya rencana sendiri. Kami yang akan tinggal di rumah ini, jadi kami lebih tahu bagaimana yang terbaik.”

Setelah si tetangga itu pergi, Miko berkata kepada saya, “Heran! Orang lain bangun rumah, dia merasa berhak ngatur-ngatur. Aku sama istri yang akan tinggal di rumah ini, tapi dia merasa lebih tahu.”

Kisah Miko related dengan keributan yang terjadi di Twitter tadi. Orang menjalani kehidupan mereka sendiri, tapi kita yang malah pusing dan meributkan, seolah kita lebih tahu tentang hidup mereka. Orang membangun rumah untuk keluarganya sendiri, tapi kita meributkan, padahal mereka tidak meminta saran atau nasihat apapun dari kita. Oh, mereka bahkan tidak mengajak kita tinggal di rumahnya!

Jika kita suka meributkan kehidupan orang lain, padahal mereka tidak mengganggu atau merugikan siapapun, kita perlu rehat sejenak, dan bertanya pada diri sendiri, “Kenapa aku merasa berhak mengatur-atur hidup orang lain?”

Diakui atau tidak, banyak dari kita yang tampaknya punya “penyakit mental” berupa suka mengurusi dan meributkan kehidupan orang lain. Ada lajang yang menjalani hidupnya sendiri, dan dia bahagia, tapi kita malah ribut, “Kapan kawin?”

Lhah, padahal dia yang menjalani hidupnya, bukan kita. Kenapa malah kita yang pusing?

Ada pasangan yang tidak/belum punya anak, dan mereka menjalani hidup dengan tenang, dengan rumah tangga yang baik-baik saja, tapi kita malah yang ribut, “Kapan punya anak?”

Lhah, padahal mereka yang menjalani hidupnya, bukan kita. Kenapa malah kita yang pusing?

Kalau ada lajang melakukan perkosaan, misalnya, wajar kalau orang-orang ribut. Kalau perlu terus diributkan, sampai dia mempertanggungjawabkan kejahatannya. Begitu pun, kalau ada suami istri terlibat KDRT, wajar kalau orang-orang ribut. Bahkan kalau perlu terus diributkan, agar orang-orang tahu dan sadar bahwa KDRT adalah kejahatan. 

Tapi kalau ada lajang yang hidup baik-baik saja, tidak mengganggu siapapun, lalu kita ngerusuhi hidup mereka, meributkan kehidupan mereka, memangnya kita ini siapa, sampai merasa berhak mengatur-atur hidup orang lain?

Begitu pun, kalau ada pasangan suami istri yang lama menikah tapi belum punya anak, tapi mereka tetap rukun dan harmonis, lalu kita ngerusuhi kehidupan mereka—meributkan kapan mereka punya anak—memangnya siapa kita sampai merasa berhak mengatur-atur rumah tangga orang lain?

Ada teori psikologi yang terkenal, bahwa semakin tidak bahagia hidup seseorang, dia akan semakin sibuk mengurusi hidup orang lain. Teori itu masuk akal, dan nyatanya memang begitu. Kalau hidup kita bahagia, kita akan menikmati hidup kita sendiri. Tapi kalau hidup kita tidak bahagia, kita akan menujukan pandangan pada hidup orang lain, karena kita tidak bisa menikmati hidup kita sendiri. 

Orang yang hidupnya tidak bahagia akan lebih menujukan pandangannya pada hidup orang lain, karena ia akan kecewa jika menujukan pandangan pada hidupnya sendiri yang tidak bahagia. Orang semacam itu menujukan pandangannya pada hidup orang lain, dan berharap bisa bahagia dengan cara ngerusuhi hidup orang lain. Padahal, semakin kita sibuk mengurusi kehidupan orang lain, semakin kita tidak bahagia. 

Jadi, kapanpun kita mendapati orang lain menjalani kehidupannya sendiri yang mungkin berbeda dengan kita, dan orang itu tidak mengganggu atau merugikan siapapun, biarkan saja. Setiap orang menjalani kehidupan berbeda-beda, dan tidak semua orang harus sama seperti kita. Dan jika kita tidak bahagia, jauh lebih baik memperbaiki diri dan hidup kita sendiri, daripada ngerusuhi kehidupan orang lain.

Related

Hoeda's Note 2475366392210968842

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item