Idul Adha dan Filsafat Gus Dur
https://www.belajarsampaimati.com/2023/06/idul-adha-dan-filsafat-gus-dur.html
Ilustrasi/maarifnujateng.or.id |
Ada obrolan khas terkait Idul Adha, khususnya di sebagian kalangan. Obrolan itu menyangkut siapa yang “dikurbankan” Nabi Ibrahim. Ismail atau Ishak?
Seperti kita tahu, Idul Adha adalah peringatan terkait peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim dan anaknya. Suatu ketika, Nabi Ibrahim mendapat mimpi yang memberi tahu bahwa ia harus mengurbankan putranya, sebagai ujian ketaatan kepada Allah. Setelah yakin mimpi itu benar, Nabi Ibrahim pun mematuhi, dan bermaksud mengurbankan putranya, untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar patuh dan taat pada perintah Allah. Belakangan, ketika Nabi Ibrahim sudah bersiap menyembelih (mengurbankan) sang putra, malaikat muncul dan menggantikannya dengan seekor kambing.
Yang jadi pertanyaan—dan yang belakangan jadi topik obrolan sampai perdebatan—siapakah putra Nabi Ibrahim yang waktu itu akan dikurbankan?
Nabi Ibrahim memiliki beberapa anak, totalnya mencapai 13 orang, dari istri-istri yang berbeda. Dua anak Nabi Ibrahim yang terkenal adalah Ismail dan Ishak, yang belakangan juga menjadi nabi. Sebagian kalangan menyebut bahwa putra Nabi Ibrahim yang waktu itu akan dikurbankan adalah Ismail, namun sebagian kalangan lain menyebut Ishak. Perbedaan pandangan itu bukan hanya terjadi pada agama yang berbeda, tapi juga di dalam Islam sendiri.
Sebagian ulama Islam menyatakan bahwa Ismail adalah putra Nabi Ibrahim yang [akan] dikurbankan. Namun, sebagian ulama lain menyebut Ishak. Perbedaan pandangan itu menjadi salah satu perbedaan yang populer dalam diskursus Islam. Dulu, ketika Gus Dur masih hidup, orang-orang pernah bertanya kepadanya, dan meminta Gus Dur memberi penjelasan mengenai siapa sebenarnya yang dikurbankan Nabi Ibrahim waktu itu—Ismail atau Ishak?
Gus Dur menjawab dengan cara tak terduga. Alih-alih menyebut satu nama secara pasti, Gus Dur malah menyatakan, “Tidak penting siapa yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim waktu itu, wong nyatanya Ismail maupun Ishak sama-sama tidak jadi dikurbankan.”
Jawaban itu khas Gus Dur, yang melihat segala sesuatu secara luas. Dalam pikiran Gus Dur, mungkin, jika salah satunya—Ishak atau Ismail—benar-benar dikurbankan [dengan kata lain; mati disembelih Nabi Ibrahim], kita tentu layak mempertanyakan atau bahkan mempersoalkan siapa yang dikurbankan, karena itu penting, khususnya sebagai bagian dari sejarah. Tapi kalau nyatanya, pada akhirnya, tidak ada yang dikurbankan, dan keduanya tetap hidup baik-baik saja setelah peristiwa itu, kenapa hal tersebut dipersoalkan dan diperdebatkan?
Bagi Gus Dur, sepertinya ada banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan, dipersoalkan, atau bahkan diperdebatkan, daripada sekadar meributkan siapa yang [akan] dikurbankan Nabi Ibrahim. Karena bukan itu substansinya. Substansi dari peristiwa itu adalah kurban sebagai bukti ketaatan hamba kepada Tuhannya. Apakah kita sekarang berkurban dengan kambing atau sapi atau kerbau, bebas saja. Umpama tidak/belum mampu berkurban, ya tidak apa-apa.
Jika kita mempelajari pemikiran-pemikiran Gus Dur yang terekam dalam tulisan-tulisannya, kita akan sering menemukan hal itu; substansi. Gus Dur selalu fokus pada substansi, dan cenderung “bodo amat” dengan hal-hal remeh yang tidak penting atau tidak substansial. Karenanya, dulu, waktu aktif di dunia politik—khususnya di awal era Reformasi—banyak pengamat politik yang menyebut langkah politis Gus Dur sebagai “jurus dewa mabuk”.
Berbeda dengan politikus-politikus lain yang langkahnya gampang ditebak seperti pemain catur amatir, langkah dan tindakan Gus Dur di dunia politik masa itu sangat sulit ditebak dan tak terduga. Sebegitu sulit menebak apa yang dituju Gus Dur di setiap tindakannya waktu itu, sampai para pengamat politik memberi sebutan tadi—jurus dewa mabuk—karena tidak bisa yakin apa maksud Gus Dur dengan tindakan-tindakan yang ia lakukan. Belakangan, tahu-tahu Gus Dur jadi presiden.
Bahkan ketika jadi presiden pun, Gus Dur masih setia dengan kebiasaannya; fokus pada substansi. Dari membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial [yang ia sebut “sarang korupsi”], sampai rencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Wacana itu memicu keributan di zamannya, karena bagaimanapun Israel sudah dicap sebagai penjahat, dan Indonesia adalah “saudara muslim” Palestina. Bagaimana Gus Dur malah akan membangun hubungan diplomatik dengan penjahat?
Rencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel itu menjadi contoh paling nyata, yang membedakan cara pikir Gus Dur dengan cara pikir kebanyakan orang. Gus Dur fokus pada substansi, sementara rata-rata orang lain fokus pada hal-hal remeh.
Dalam perspektif rata-rata orang, khususnya di Indonesia, Israel adalah penjahat, perampas tanah Palestina, dan penjajah umat muslim di sana. Karena kenyataan itu, Indonesia harus memutus hubungan diplomatik dengan Israel, sebagai bukti bahwa negara kita berpihak pada Palestina.
Tapi Gus Dur berpikir dengan perspektif yang berbeda. Gus Dur tentu tahu bahwa Israel adalah penjajah Palestina—terlalu naif kalau kita mengira Gus Dur tidak tahu akar konflik Israel dan Palestina. Selain itu, Gus Dur juga berhubungan baik dengan pemimpin Israel waktu itu, Yitzhak Rabin, bahkan Perdana Menteri Israel tersebut mengundang Gus Dur untuk menjadi saksi penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania.
Ketika Gus Dur kemudian berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, Gus Dur menuju sesuatu yang langsung pada intinya; Indonesia bisa berperan langsung dalam upaya perdamaian Israel dengan Palestina. Dan hal itu akan dimungkinkan, jika Indonesia memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Gagasan yang sederhana, dan langsung menuju substansi.
Tetapi, seperti yang telah terjadi sepanjang sejarah, pemikiran besar sering kali harus berhadapan dengan pemikiran kecil. Rencana Gus Dur ditentang habis-habisan oleh banyak orang. Dalam pikiran rata-rata orang, menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sama artinya “bersilaturrahmi” dengan bajingan. Apa kita tidak “pekewuh” dengan saudara-saudara kita yang menderita di Palestina?
Substansi vis a vis dengan hal-hal remeh!
Kita tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, dan apa yang kita lakukan untuk membantu Palestina? Mengirim donasi! Membungkus makanan! Berdoa! Dan apakah masalah Israel dengan Palestina kemudian selesai? Kita tahu jawabannya. Dan entah sampai kapan kita akan melakukan hal-hal sama terus menerus, sambil berharap mendapat hasil berbeda.
Gus Dur melihat jauh ke depan, langsung ke pokok substansinya. Buka hubungan diplomatik dengan Israel, sehingga Indonesia bisa berperan langsung dalam upaya mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Dalam hal itu, Gus Dur menempati posisi yang tidak dimiliki rata-rata tokoh lain; ia pemimpin negara muslim terbesar, sekaligus dipercaya pemimpin Israel—posisi yang sangat strategis untuk mengatasi konflik Israel-Palestina. Tetapi, seperti yang disebut tadi, pemikiran besar sering kali harus berhadapan dengan pemikiran kecil.
Substansi. Itu kata kunci untuk dapat memahami pemikiran orang-orang besar. Karena itulah yang sering kali membedakan antara kita dengan mereka. Kebanyakan kita fokus pada hal-hal remeh, meributkan remah-remah sepele yang tidak penting, sementara para pemikir besar fokus pada substansi dan hal-hal yang penting. Jika susbtansinya benar, hal-hal yang tidak lebih penting akan mengikuti.
Seperti kisah kurban Nabi Ibrahim tadi. Rata-rata kita meributkan hal-hal remeh yang sebenarnya tidak penting, mengenai siapa yang dikurbankan; Ismail atau Ishak. Bagi kebanyakan kita, mungkin, hal-hal itu layak diributkan dan diperdebatkan, sehingga kita tidak sempat memikirkan, “Apakah ini memang penting?” Kalaupun ternyata Ismail atau Ishak—disepakati secara pasti—sebagai putra Nabi Ibrahim yang dikurbankan, lalu apa substansinya?
Gus Dur, sebagaimana pemikir besar lain, bodo amat dengan hal-hal remeh semacam itu, karena sadar perdebatan itu tidak akan menghasilkan substansi apapun, wong nyatanya Ismail maupun Ishak tidak ada yang jadi dikurbankan. Alih-alih menghasilkan substansi, perdebatan terkait hal-hal remeh semacam itu malah dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan yang tidak perlu.
Jangankan meributkan hal-hal “tidak penting” semacam itu, wong sesuatu yang kita anggap sangat penting pun bisa jadi dianggap “remeh” oleh tokoh visioner semacam Gus Dur. Soal agama, misalnya. Bagi kebanyakan kita, agama adalah sesuatu yang penting, semacam cap atau identitas untuk menandai apakah orang itu “baik” atau “jahat”. Agama, bagi kebanyakan kita, adalah identitas untuk memilah mana kawan dan mana lawan.
Tetapi, bagi Gus Dur, dan bagi orang-orang besar semacamnya, agama telah melampaui identitas. Bagi mereka, sekadar menjadikan agama sebagai identitas itu “cemen”, karena fungsinya jadi seperti seragam yang dipakai untuk menakut-nakuti orang lain. Agama, bagi Gus Dur, adalah sarana untuk menjadi pribadi terbaik sebagai manusia, upaya untuk menjadi yang paling bermanfaat bagi dunia—sesuatu yang jauh melampaui sekadar identitas.
Karenanya, salah satu kalimat Gus Dur yang sangat terkenal adalah, “Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, mereka tidak pernah bertanya apa agamamu.”
Alfatihah untuk Gus Dur.