Al Zaytun, Sebuah Catatan Zaman Kuliah
https://www.belajarsampaimati.com/2023/06/al-zaytun-sebuah-catatan-zaman-kuliah.html
Ilustrasi/tribunnewswiki.com |
Ponpes atau Ma’had Al Zaytun sedang ramai diberitakan saat ini, buntut beberapa kontroversi terkait ponpes tersebut, yang kini memicu ribuan warga melakukan demo ke Al Zaytun. Polri dan TNI sudah turun tangan, dan kita berharap mereka dapat menangani masalah tersebut dengan baik.
Keributan terkait Al Zaytun mengingatkan saya pada zaman kuliah dulu. Terus terang, saya tidak asing dengan nama Al Zaytun, bahkan sejak bertahun lalu. Di perkuliahan saya, ada kegiatan yang disebut KKL (Kuliah Kerja Lapangan), semacam studi banding untuk mendapat perspektif baru dari berbagai model pendidikan yang diterapkan di berbagai lembaga. Ketika mahasiswa angkatan saya melakukan KKL, pihak kampus kami memutuskan untuk melakukan KKL ke Ponpes Al Zaytun. Para mahasiwa manut saja.
Di hari yang telah ditentukan, para mahasiswa satu angkatan bersama rombongan dosen di kampus kami berangkat ke Ponpes Al Zaytun, di Indramayu, menggunakan beberapa bus. [Tentu sebelumnya pihak kampus kami telah berkoordinasi dengan pihak Al Zaytun, terkait kedatangan untuk keperluan KKL tersebut.]
Sesampai di Al Zaytun, rombongan kami disambut para guru/pejabat di sana, termasuk oleh Panji Gumilang (Pemimpin Ponpes Al Zaytun), dan kami semua seketika terpesona.
Waktu itu kami baru sampai di tempat parkir—tempat bus-bus kami parkir—dan bahkan tempat parkirnya saja sangat luas. Sebagai perbandingan, tempat parkir di kampus kami, yang memiliki ribuan mahasiswa, jauh lebih kecil dari itu.
Turun dari bus, kami semua diajak ke ruangan semacam aula, tempat para pejabat Al Zaytun menjelaskan bagaimana sistem pendidikan yang mereka terapkan di ponpes. Beberapa dari mereka melakukan presentasi. Intinya sih terdengar wajar-wajar saja, dan cukup progresif untuk ukuran zaman saya kuliah dulu. Pokoknya sistem pendidikan mereka benar-benar maju!
Di acara itu pula, pihak Al Zaytun menjelaskan apa saja yang ada di sana, meliputi pertanian dan peternakan yang mereka miliki, berbagai jenis usaha yang mereka kelola, dan aneka hal lain yang semuanya mengerucut pada satu simpulan; Al Zaytun memiliki segalanya!
Saat menulis catatan ini, saya menarik memori dari masa lalu [yang masih terekam jelas], ketika saya dan teman-teman kuliah serta para dosen diajak berkeliling para guru Al Zaytun, untuk menyaksikan luasnya kompleks serta bangunan yang mereka miliki, serta aneka jenis usaha yang mereka jalankan.
Pertama, dan yang terpenting, Al Zaytun memiliki luas tanah yang spektakuler, dengan aneka bangunan besar dan megah. Sebegitu luas tanah yang ada di sana, kami harus menggunakan mobil-mobil khusus yang tampaknya memang disediakan Al Zaytun untuk keperluan semacam itu. Sebut apa saja yang kalian kenal di dunia, khususnya terkait kebutuhan dan keperluan hidup manusia, semuanya ada di sana!
Bangunan utama pondok pesantren di Al Zaytun mirip bangunan sekolah atau kampus, luas dan megah. Di sana juga ada masjid yang sama besar dan megah.
Ketika saya dan rombongan kampus ke sana, Al Zaytun sedang membangun masjid baru—kalau tak salah ingat akan diberi nama Masjid Bung Karno—yang waktu itu sedang dalam proses pembangunan. Panji Gumilang, waktu itu, sempat menyatakan bahwa masjid yang sedang dibangun tersebut akan jadi masjid terbesar se-Asia Tenggara. Kami percaya hal itu, karena melihat wujud konstruksinya yang luar biasa. [Saat ini masjid itu pasti sudah selesai dibangun—entah benar jadi yang terbesar se-Asia Tenggara atau tidak, saya tidak tahu.]
Pada waktu rombongan kampus saya datang ke Al Zaytun, ada banyak bangunan yang sedang dikerjakan, selain masjid tadi. Artinya, kemegahan yang sudah kami saksikan waktu itu sebenarnya belum selesai—saat ini kemungkinan jauh lebih megah dari yang dulu saya saksikan. Tetapi bahkan seperti itu pun, kami butuh waktu seharian untuk mengunjungi bangunan per bangunan yang ada di sana, karena saking luas dan banyaknya.
Menggunakan mobil-mobil khusus (semacam pikap tapi dengan atap), kami diajak berkeliling, mengunjungi berbagai tempat, bangunan, dan aneka hal terkait Al Zaytun.
Guide, yang ditugaskan Al Zaytun membawa kami berkeliling, memegang megaphone dan menjelaskan aneka hal yang kami datangi dan kami saksikan. Pada waktu itulah, kami menyaksikan luasnya pertanian milik Al Zaytun, perkebunan yang menghasilkan aneka buah dan sayuran, juga berbagai peternakan yang mereka miliki. Ada peternakan kambing, kerbau, sapi, sampai peternakan kalkun! Semuanya dalam skala raksasa!
Memasuki jam makan siang, kami dibawa ke kantin untuk mengisi perut yang mulai lapar. Kantinnya luas dan nyaman, dan... makanannya seenak bintang lima!
Saya tidak sedang melebih-lebihkan. Memori saya masih merekam semua yang saya alami waktu itu—meski bertahun-tahun lalu—dan saya masih bisa “melihat” nasi macam apa yang ada di piring saya waktu itu. Butir-butir nasinya saling terlepas, berbentuk elips, akas tapi empuk, putih dan menawan. [Sekadar catatan, nasi yang dihasilkan dari beras berkualitas terbaik dapat dimakan tanpa lauk apapun, dan rasanya enak! Jika kalian punya kenalan juragan beras, tanyakan hal ini, dan dia akan membenarkan yang saya katakan. Nasi yang biasa kita makan itu berasal dari beras “biasa”, jadi harus dimakan dengan lauk agar terasa enak.]
Di Al Zaytun, tampaknya mereka biasa memakan nasi yang dihasilkan beras berkualitas terbaik, karena mereka memiliki pertanian sendiri! Pihak Al Zaytun juga telah menjelaskan bahwa pertanian mereka diolah dengan cara yang benar-benar alami, dengan padi terbaik, hingga menghasilkan beras berkualitas super. Aneka peternakan mereka juga dipelihara dengan alami, dengan pakan yang benar-benar diperhatikan, hingga menghasilkan daging ternak berkualitas. Itu bukan omong kosong, karena saya sudah membuktikannya!
Selain nasi yang enak, aneka lauk di sana juga sama-sama enak, karena, lagi-lagi, dihasilkan dari peternakan mereka sendiri. Saya mengambil paha ayam goreng, waktu itu, dengan sedikit kuah opor, dan bumbu semacam serundeng. Dan kerupuk. Seperti yang saya sebut tadi, enaknya sekelas bintang lima! Wong alami semua!
Jadi, kalau segala yang saya saksikan waktu itu mau direkap, inilah hasilnya: Al Zaytun memiliki tanah yang sangat luas, dengan bangunan-bangunan besar dan megah; meliputi kelas-kelas untuk kegiatan belajar mengajar; kantor-kantor untuk para guru; asrama untuk para santri, guru, dan para pekerja di sana; laboratorium-laboratorium; masjid; lapangan olahraga; sampai tempat bermain. Mereka bahkan memiliki penerbitan sendiri, yang mencetak buku-buku ajar dan majalah bernama Al Zaytun. [Sepertinya, para tamu yang berkunjung ke sana diberi majalah tersebut.]
Di luar pendidikan, Al Zaytun memiliki sawah-sawah yang sangat luas, tempat mereka menjalankan pertanian dan menghasilkan beras berkualitas super. Mereka juga memiliki aneka peternakan hewan yang dikelola secara alami dan profesional, dan menghasilkan daging ternak kelas bintang lima. Kemudian ada ladang-ladang, dalam skala luar biasa, yang menghasilkan aneka buah-buahan, dari jeruk sampai semangka.
Di luar semua itu, Al Zaytun juga memiliki padang-padang rumput yang sangat luas—mungkin untuk keperluan pakan ternak. Ketika berada di sana, saya menyaksikan banyak tukang kebun yang sedang merapikan rumput.
Itu baru hal-hal yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Hampir bisa dipastikan ada hal-hal lain yang tidak sempat saya saksikan, karena waktu yang tidak cukup. Pihak kampus saya hanya mengalokasikan waktu satu hari di sana, dan waktu sehari itu sepertinya tidak cukup untuk mengelilingi semua yang ada di Al Zaytun.
Dengan kompleks yang begitu luas, dengan santri atau murid yang begitu banyak, serta dengan berbagai kebutuhan dan keperluan sehari-hari, Al Zaytun jelas melibatkan ribuan orang untuk menjalankan operasionalnya. Jadi, ada puluhan ribu orang yang ada di sana, hidup mandiri dengan segala kebutuhan yang terpenuhi, tanpa harus repot-repot mencari apapun ke luar. Dan itu... ya, seperti negara dalam negara!
Satu-satunya masalah di sana cuma... dilarang merokok!
Ada banyak tanda “Dilarang Merokok” di mana-mana, di berbagai bagian kompleks yang amat sangat luas itu, dan saya—dengan teman-teman sesama perokok—terpaksa merokok di dalam bus saat mulut terasa asem. Di luar larangan merokok, sepertinya orang-orang yang hidup di kompleks Al Zaytun bisa mendapatkan apapun tanpa harus keluar. Intinya, semua yang kita butuhkan untuk bertahan hidup di dunia, semuanya ada di sana! Kecuali rokok, tentu saja.
Sepulang acara KKL itu, bersama dorongan rasa takjub dan penasaran, saya mencari informasi seputar Al Zaytun. Di internet, saya menemukan banyak sekali informasi yang saya cari, yang menjelaskan apa sebenarnya Al Zaytun. Saya juga menemukan buku-buku yang membahas Al Zaytun, yang di antaranya ditulis Al Chaidar, seorang pengamat terorisme. Dari buku-buku dan informasi yang saya baca, semuanya merujuk pada satu simpulan yang sama; ada banyak ketidakberesan terkait Al Zaytun.
Buku-buku dan catatan-catatan Al Chaidar bahkan menjelaskan dengan sangat rinci dan detail seputar Al Zaytun, meliputi asal uang mereka hingga bisa membangun kompleks semegah itu, sampai siapa sebenarnya Panji Gumilang yang menjadi pemimpin Al Zaytun. [Kalian bisa searching soal ini di internet, atau membaca buku-buku Al Chaidar, untuk mengonfirmasi hal tersebut.]
Jadi, isu “Al Zaytun menyimpang” atau “Al Zaytun tidak beres” sebenarnya bukan isu baru—itu sudah ada sejak lama, bahkan sejak zaman saya kuliah, bertahun-tahun lalu. Tetapi, sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai sekarang, Al Zaytun seperti tak tersentuh. Mereka seperti Wakanda yang memiliki “selubung gaib” hingga tidak bisa diterobos apapun.
Kini, ponpes itu kembali menarik sorotan banyak orang... dan kita bisa menunggu untuk menyaksikan bagaimana akhirnya.