Teman Ajaib Bernama Buku

Ilustrasi/narasi.tv
Bagi orang yang suka menikmati kesendirian, saya menganggap buku semacam teman yang ajaib. Sebuah buku bisa mengungkapkan banyak pengetahuan menakjubkan, atau kisah-kisah magis, wawasan-wawasan yang membuka pikiran, atau mengenalkan saya pada tokoh-tokoh besar dunia, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Bersama buku, saya tidak pernah merasa kesepian. 

Meski telah membaca buku sejak kecil, sampai sekarang saya masih takjub bagaimana sebuah buku bisa membuat pembacanya tertawa-tawa sendirian, atau terpaku di tempat duduknya hingga tak bergerak, atau bahkan menangis. Padahal buku hanya berisi kata-kata, rangkaian kalimat, paragraf dan alinea, dan susunan tulisan itu mampu menimbulkan efek sangat besar pada pembacanya. 

Zaman kecil dulu, ketika SD, saya suka masuk perpustakaan sekolah, dan membaca buku-buku dongeng semacam Sinbad, Alibaba, Aladdin, dan semacamnya. Dan saya takjub dengan dongeng-dongeng itu. Buku-buku itu hanya menyuguhkan tulisan. Tapi tulisan yang saya baca mampu memantik imajinasi saya hingga menciptakan bayangan-bayangan di kepala, sesuai dongeng yang saya baca.

Saya tidak pernah melihat seperti apa jurang tempat Sinbad terjatuh, dan menemukan mutiara-mutiara yang berserakan di dasar jurang, lalu dia mengikat tubuhnya di kaki rajawali raksasa agar terangkat dari jurang. Saya hanya membaca tulisannya, narasi dan deskripsi yang menjelaskan itu, tapi imajinasi saya mampu menciptakan gambaran tentang semua itu, hingga saya merasa “related” dengan dongeng yang saya baca. Bagaimana tulisan bisa menimbulkan dampak “segila” itu, masih membuat saya takjub.

Di SMP, saya kenal dengan serial Lupus. Kalian yang juga membaca kisah-kisah Lupus pasti tahu bagaimana pembaca bisa cekikikan sendiri tiap membaca kisahnya. Itu pula yang saya alami. Saya selalu cekikikan setiap kali membaca kisah Lupus. Padahal itu cuma tulisan. Tidak ada visual yang menggelitik urat tawa, misalnya, tapi pembaca bisa tertawa-tawa.

Belakangan, hal serupa terjadi ketika saya membaca buku-buku Raditya Dika, khususnya yang Kambing Jantan. Kalau lucunya Lupus bisa dibilang “lucu yang sopan”—maklum saja, kisah dia berlatar tahun ’90-an—jadi efek pada pembaca sebatas cekikikan atau tawa yang sama sopan. Sementara Kambing Jantan-nya Raditya Dika itu “lucu yang brutal”, hingga efek ke pembaca sama-sama brutal. Saya benar-benar sampai guling-guling di sofa seperti orang gila saat membacanya.

Memasuki SMA, saya mulai mengenal novel-novel Indonesia, dan para penulis yang merajai dunia kepenulisan Indonesia saat itu. Seperti Marga T., Gus Tf. Sakai, Gola Gong, V. Lestari, Mira W., bubin LantanG, S. Mara GD., dan para penulis lain segenerasi mereka. Banyak novel Marga T. dan Mira W. yang membuat saya menangis saat membacanya. Kisah-kisah yang mereka tulis begitu menyentuh, hingga pembaca seperti tersedot masuk ke dalamnya, dan tanpa sadar ikut menangisi tokoh-tokoh di dalamnya.

Sementara Gus Tf. Sakai dan Gola Gong selalu mempesona saya dengan cara mereka mengisahkan cerita-ceritanya. Saya menyukai karya-karya mereka, meski hanya satu dua novel mereka yang mampu membuat saya menangis. Misalnya Segitiga Lepas Kaki (Gus Tf. Sakai) dan Tembang Kampung Halaman (Gola Gong). Entah bagaimana, dua novel itu mampu menarik saya ke dalamnya, memahami perasaan masing-masing tokoh di dalamnya, dan saya benar-benar hanyut dalam keharuan luar biasa.

Bagaimana buku-buku itu, yang sebenarnya benda mati, dan hanya berisi kata-kata, mampu menggerakkan pikiran, menarik simpati, menyentuh empati, hingga membuat saya tertawa dan menangis saat membacanya? Bahkan sampai sekarang, saya masih takjub setiap kali memikirkannya. 

Masa-masa penting perjalanan membaca saya dimulai ketika SMP. Di dekat sekolah saya, waktu itu, ada perpustakaan umum milik pemerintah, yang menyediakan banyak sekali buku, dan koleksi mereka jauh lebih menarik dari perpustakaan sekolah. Di perpustakaan itulah saya mengenal nama-nama penulis Indonesia yang tadi saya sebut, juga penulis-penulis luar negeri semacam Sydney Sheldon, Danielle Steele, Agatha Christie, Enid Blyton, dan lain-lain. Sementara dari ranah nonfiksi, saya mulai kenal Andreas Harefa, Gede Prama, Norman Vincent Peale, hingga Kenneth Blanchard, dan lain-lain.

Saya mendaftar jadi anggota perpustakaan umum itu, dan petualangan saya menyelami buku dimulai. Saya terus meminjam buku di sana, dari masa SMP, sampai SMA, sampai saya tidak sekolah... sampai belakangan seisi perpustakaan itu “habis”. Tidak ada lagi buku yang bisa saya pinjam, karena semuanya sudah saya baca. Bertepatan dengan itu, perpustakaan tersebut pindah ke tempat yang sangat jauh dari tempat tinggal saya. 

Karena tidak bisa lagi meminjam buku di perpustakaan, sementara “nafsu membaca” saya terus menggila, akhirnya saya mencari buku-buku bekas di pasar loak. Sebenarnya, kalau mau beli buku baru, ada toko-toko buku yang menyediakan aneka buku terbitan baru. Tapi saya tidak mampu beli buku baru, karena tidak punya uang. Jadi, dengan uang yang terbatas, saya sadar hanya mampu membeli buku bekas.

Di tempat tinggal saya ada pasar yang menjual barang-barang bekas, biasa disebut Pasar Senggol. Sebenarnya, di sana tidak ada penjual buku bekas. Tapi kadang saya menemukan buku bekas di antara barang-barang loakan di sana. Dan penjualnya juga biasanya memberikan harga yang murah. Karena mungkin peminat buku sangat jarang, jadi mereka sudah bersyukur ada yang mau beli.

Itulah awal saya mulai membeli dan mengoleksi buku, yaitu lewat pasar loak. Jadi, buku-buku awal yang saya miliki adalah buku-buku bekas. Kadang sampulnya sobek, kadang halamannya tidak lengkap, penuh coretan, tekukan, dan lain-lain. Tapi ya mau gimana lagi, wong namanya juga buku bekas! 

Selama bertahun-tahun membaca buku—dari zaman SD sampai lulus SMA—saya telah mengumpulkan banyak kisah dari buku-buku fiksi, dan mengumpulkan banyak pengetahuan dari buku-buku nonfiksi, plus aneka wawasan dari banyak majalah dan media bacaan lain. Semua yang saya serap dari buku-buku itu terkumpul di kepala saya, menggumpal dan mengkristal dalam pikiran, hingga membentuk perspektif—meski waktu itu saya belum kenal istilah “perspektif”. 

Intinya, semua yang saya baca waktu itu membantu saya menemukan suatu cara berpikir tertentu, membuka ruang-ruang di pikiran yang semula tertutup, dan saya bisa melihat kehidupan dengan cara yang benar-benar baru. Puncaknya terjadi ketika suatu siang saya jalan-jalan ke Pasar Senggol, mencari buku bekas yang bisa saya beli.

Di salah satu tempat di sana, ada penjual barang-barang terkait sepeda (dari pedal sepeda sampai boncengan sepeda bekas). Dan di antara barang-barang terkait sepeda itu, saya menemukan sebuah buku tergeletak. Saya tidak peduli itu buku apa, yang penting bisa dibaca. Saya ambil buku itu—kelihatan lusuh dan tak menarik—judulnya “Keajaiban Berpikir Besar”. Penulisnya David J. Schwartz. [Belakangan, buku tersebut diterbitkan penerbit lain dengan terjemahan yang lebih bagus, dan judulnya “Berpikir dan Berjiwa Besar”.]

Saya membeli buku itu dengan harga murah—penjualnya tampak bersyukur karena ada yang mau membeli buku tersebut.

Di rumah, saya membaca buku itu, dan terpesona dengan isinya. David J. Schwartz, penulis buku itu, entah bagaimana, memiliki pemikiran yang benar-benar sama seperti cara berpikir saya... dan dia membenarkan yang saya pikirkan! Saya, yang kurang bisa bergaul, yang senang menikmati kesendirian, tiba-tiba merasa menemukan teman yang bisa memahami saya, memahami pikiran-pikiran saya, dan saya merasa tidak lagi sendirian.

Sejak itu... petualangan pikiran saya dimulai.

Related

Hoeda's Note 6537698559884572198

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item