Senjakala Toko Buku

Ilustrasi/kompas.com
Toko Buku Gunung Agung, yang mungkin toko buku tertua di Indonesia, dikabarkan akan menutup seluruh gerai mereka di Tanah Air. Kabar itu santer beredar di media sosial Twitter, dan netizen ramai membicarakannya. Kebanyakan tentu sedih, khususnya bagi yang biasa bertandang ke toko buku.

Saya termasuk yang sedih mendengar kabar tutupnya Toko Buku Gunung Agung, karena termasuk pelanggan setia mereka. Selama ini, dua toko buku besar yang kerap saya sambangi adalah Toko Buku Gramedia di Semarang dan Toko Buku Gunung Agung di Cirebon. Dua toko buku itu sangat lengkap, dan saya bisa menemukan hampir semua buku apa pun yang saya cari, termasuk buku-buku langka yang sulit ditemukan di toko-toko buku lain.

Karenanya, mendengar Toko Buku Gunung Agung akan menutup semua gerai jaringan mereka se-Indonesia, saya sedih dan merasa kehilangan. Sayangnya, penutupan toko buku sepertinya terus terdengar dari waktu ke waktu, bahkan melibatkan toko-toko besar dan terkenal.

Dulu, di Grand Indonesia dan Plaza Senayan Jakarta, ada toko buku Kinokuniya. Tapi sekarang yang di Plaza Senayan sudah tidak ada. Kemudian, di Pacific Place dan Cilandak Town Square, Jakarta, dulu ada toko buku bernama Aksara. Sekarang juga sudah tidak ada. Di Mal Taman Anggrek, Jakarta, dulu ada toko buku Gramedia. Tapi, lagi-lagi, sekarang sudah tidak ada. Begitu pula toko buku Eureka di Rawamangun, Jakarta.

Nyeberang ke Bandung, dulu ada Toko Buku Alebene di daerah Sukajadi. Sekarang sudah tiada. Sementara di Jalan Braga, dulu ada toko buku legendaris, bernama Toko Buku Djawa, yang sekarang juga sudah tidak ada. [Nama itu sekarang malah jadi nama kedai kopi.] Di Bogor, QB World Books sudah tinggal kisah.  

Di Malioboro Plaza, Yogyakarta, dulu ada toko buku terkenal, bernama Periplus. Sekarang sudah tidak ada. Terakhir saya keluyuran ke Malioboro, toko buku yang saya temukan di sana bernama Sari Ilmu—entah sekarang masih ada atau tidak.
 
Daftar yang saya tulis itu hanya sebagian, yang melibatkan toko-toko buku besar dan terkenal. Di luar daftar itu, entah berapa banyak toko buku yang terpaksa tutup diam-diam, dan kita tidak pernah tahu. Di kota saya sendiri, dulu ada toko buku Togamas, yang sekarang sudah tutup. Sementara segelintir toko buku lain masih bertahan, tapi sesunyi kuburan, dan pembeli biasanya datang ke sana untuk beli koran—bukan buku.

Apa yang terjadi dengan toko-toko buku di Indonesia? 

Jika ditelusuri ke belakang, toko-toko buku di Indonesia mulai goyah seiring menguatnya penetrasi internet di semua lapisan masyarakat. Ketika internet makin mudah diakses, marketplace dan toko-toko buku online bermunculan, dan itu jadi semacam “jalan pintas” bagi para penggemar buku. Jujur saja, saya termasuk yang diuntungkan jalan pintas itu.

Dulu, sebelum ada internet, saya harus keluyuran ke Semarang, Jakarta, Cirebon, Yogyakarta, dan kota-kota lain, hanya untuk berburu buku. Kenapa saya mau melakukannya? Pertama, karena saya butuh. Kedua, karena di kota saya tidak ada toko buku selengkap yang saya butuhkan. 

Rata-rata, toko buku di kota kecil hanya mendapat “sisa” dari toko-toko buku di kota besar. Jadi, sebagai warga yang tinggal di kota kecil, saya sering kesulitan jika ingin mendapatkan buku terbitan baru, dan harus menunggu sampai lama kalau mengandalkan toko buku di kota saya.

Bayangkan kamu penggemar novel Dan Brown, misalnya. Ketika novel baru Dan Brown terbit, kamu pasti “gatal luar biasa” ingin segera membaca. Yang jadi masalah, kamu tinggal di kota kecil, dengan toko buku terbatas, dan tidak bisa mengandalkan toko buku di kotamu. Kalau kamu menunggu toko buku di kotamu menyediakan novel terbaru Dan Brown, kamu sudah bisa punya cucu!

Saya masih ingat, ketika “Inferno”-nya Dan Brown terbit, saya harus pergi ke Toko Buku Gramedia Semarang hanya untuk mendapatkannya. Dan kalau kamu menempuh perjalanan hampir 100 kilometer hanya untuk beli buku, masak iya kamu cuma beli buku satu biji? Berat di bensin, bos! Mau tidak mau, kamu harus beli, setidaknya, selusin buku lain. Syukur-syukur sampai penuh bagasi.

Kondisi seperti itulah yang dialami para penggemar buku yang tinggal di kota-kota kecil, seperti saya. Kami menyukai buku, suka membaca dan mengoleksi buku, tapi toko-toko buku di kota kami hanya menyediakan koleksi buku yang [amat] terbatas. 

Kenyataan itu tak bisa dilepaskan dari kebijakan para distributor buku, yang lebih memprioritaskan toko-toko buku di kota besar. Dalam pertimbangan mereka, toko-toko buku di kota besar lebih mampu menyerap buku dalam jumlah banyak, dibanding toko-toko buku di kota kecil. Karenanya, ketika ada buku-buku baru terbit, buku-buku itu masuk ke toko-toko buku di kota besar lebih dulu, baru sisanya masuk ke toko-toko buku di kota kecil.

Itu seperti lingkaran setan. Buku-buku baru terkonsentrasi di toko-toko buku yang ada di kota-kota besar. Sementara, toko-toko buku di kota kecil hanya mendapat sisa [buku terbitan lama.] Akibatnya, orang-orang yang butuh beli buku baru harus pergi ke kota-kota besar. 

Jadi, serapan buku di kota-kota besar itu sebenarnya tidak hanya karena terbeli oleh warga setempat, tapi juga oleh orang-orang dari kota lain yang terpaksa datang ke sana. Sudah melihat benang kusutnya?

Karenanya, ketika internet kemudian muncul dan “memindahkan” toko-toko buku ke dunia maya, itu seperti jalan pintas yang sangat membantu, khususnya bagi orang-orang yang tinggal di kota kecil, atau bagi mereka yang tinggal di wilayah-wilayah yang tak tersentuh toko buku. 

Dengan adanya toko buku online, siapa pun di mana pun bisa membeli buku apa pun, dengan mudah, bahkan tanpa harus keluar rumah! Bagi orang seperti saya, yang sebelumnya harus keluyuran ke kota-kota lain hanya untuk beli buku, kehadiran toko buku online sangat membantu sekaligus menyenangkan.

Sekarang bayangkan, separo saja dari konsumen toko-toko buku di kota-kota besar berhenti belanja di tempat mereka, karena pindah ke toko buku online, nasib toko-toko buku di dunia nyata langsung di ujung tanduk.

Karenanya, ketika toko-toko buku kemudian ambruk satu per satu, saya pikir itu keniscayaan yang tak terhindarkan. Karena toko-toko buku di dunia nyata sebenarnya terjerat dalam benang ruwet distribusi, selain harus menanggung biaya operasional yang sangat besar dalam menjalankan toko. Ketika hasil penjualan tidak lagi mampu menutup besarnya biaya operasional, menutup toko sepertinya memang langkah yang harus dilakukan.

Ini memang kenyataan menyedihkan—satu di antara banyak perubahan akibat disrupsi yang dipicu kehadiran internet. Dan disrupsi yang terjadi pada toko buku sebenarnya bukan hanya terkait toko-toko buku yang ada di dunia nyata, tapi juga pada toko-toko buku yang ada di dunia maya!

Mari saya tunjukkan.

Dulu, awal ada toko buku di internet, toko-toko itu umumnya berupa website yang memajang sampul buku dan keterangan/sinopsis buku. Masing-masing website toko buku itu bisa memajang ratusan hingga ribuan sampul buku... tapi sebenarnya mereka tidak menyediakan buku-buku yang dijual!

Ketika kita belanja buku di website-website toko buku itu, kita pilih buku yang ingin dibeli, masukkan ke keranjang, membayar total belanjaan, lalu pihak toko buku akan menghubungi gudang penerbit yang buku-bukunya terjual. Jika kebetulan buku-buku yang kita beli adalah buku-buku terbitan dari 9 penerbit, misalnya, pihak toko buku akan menghubungi gudang 9 penerbit itu, untuk meminta buku-buku yang telah dipesan/dibeli pengunjung website mereka. 

Karenanya, proses membeli buku di masa itu bisa dibilang cukup menguras kesabaran, karena bisa butuh waktu lama. [Saya pernah mengalami harus menunggu sampai sebulan lebih, karena membeli sekitar 500-an buku.] Semakin banyak buku yang kita beli, biasanya semakin lama waktu tunggunya. Belum lagi, kadang—bahkan sering—ada buku-buku yang sudah telanjur kita beli dan kita bayar, tapi ternyata stok bukunya tidak ada.

Pada masa itu, para pembeli buku di internet bertahan dengan cara membeli seperti itu, meski harus sangat bersabar, karena baru itulah sarana yang tersedia.

Lalu, muncullah marketplace-marketplace yang menjelma raksasa, dan di sana ada tak terhitung banyaknya penjual buku. Kali ini, para penjual buku di marketplace tidak hanya memajang sampul, tapi benar-benar menyediakan bukunya! Karenanya, begitu kita bayar buku yang kita beli, saat itu juga buku bisa langsung dikirim. Disrupsi ini, diam-diam, telah menumbangkan banyak toko buku online yang sebelumnya eksis. Di marketplace, membeli 500 buku bisa langsung diproses saat itu juga, dan bisa ditunggu kedatangannya dalam hitungan hari!

Itulah sebagian potret “kehidupan buku” di Indonesia, dan latar belakang yang menyebabkan tumbangnya toko-toko buku offline di dunia nyata, setidaknya dalam perspektif saya. Pertama, distribusi yang timpang, yang lebih memprioritaskan toko buku di kota-kota besar, sehingga pembeli buku dari kota-kota kecil harus susah-payah jika ingin membeli buku baru. Kedua, penetrasi internet yang makin kuat dan makin menyebar di seluruh kalangan masyarakat, di semua wilayah Indonesia. [Saya membatasi catatan ini hanya pada toko buku fisik, dan bisnis buku cetak secara makro, dan sengaja tidak membahas pergeseran minat baca dari buku cetak ke e-book, atau hal-hal terkait lainnya, karena bisa dibahas di catatan lain.] 

Tutupnya toko-toko buku di dunia nyata tentu sesuatu yang tidak kita inginkan. Bagaimana pun, khususnya bagi pencinta buku, membeli buku di toko buku secara langsung adalah semacam “ziarah” yang tak dapat digantikan oleh toko-toko buku online di internet. Masuk ke toko buku Gramedia, misalnya, itu rasanya seperti memasuki “tempat sakral”, saat kita tahu akan menemukan sesuatu yang amat kita cintai; buku. 

Lalu kita melangkah perlahan-lahan di antara rak di sana, memandangi hamparan buku di mana-mana, sementara saksofon Kenny G lamat-lamat terdengar. Itu jenis pengalaman batin yang sepertinya tidak akan bisa digantikan oleh toko buku online seperti apa pun, ketika kita hanya menghadapi layar komputer atau smartphone. 

Tapi perubahan sering kali tak terhindarkan, meski kadang tidak kita inginkan, meski kadang, diam-diam, merampas kenangan yang kita miliki.

Related

Hoeda's Note 8421721177841136233

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item