Mengapa Saya Tidak Pernah Menulis ‘Beliau’
https://www.belajarsampaimati.com/2023/05/mengapa-saya-tidak-pernah-menulis-beliau.html
Ilustrasi/ellenconny.com |
Judul catatan ini diawali pertanyaan “mengapa”, tapi di ujung kalimat tidak ada tanda tanya (?). Apakah ini kesalahan? Tidak juga, karena judul catatan ini dimaksudkan sebagai afirmasi (penegasan), bukan sebagai pertanyaan. Karena afirmatif, judul itu tidak membutuhkan tanda tanya.
Jadi, saya menulis catatan ini untuk menjelaskan alasan kenapa selama ini sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, menulis kata ganti “beliau”.
Di blog pribadi, saya menulis lebih dari 3.000 catatan. Dari ribuan catatan itu, hanya ada satu-dua kata ganti “beliau” di dalamnya, dan hanya saya gunakan ketika menyebut Nabi Muhammad, atau ketika menyebut ulama yang saya hormati. Selebihnya, saya menggunakan kata ganti yang netral (ia, dia, atau -nya).
Sementara di situs Belajar Sampai Mati, ada lebih dari 5.500 catatan/artikel. Dari lima ribu lebih artikel itu, sejauh ini saya belum pernah menggunakan kata ganti “beliau”. Menyebut siapa pun—dari filsuf, tokoh-tokoh terkenal di berbagai bidang—saya terus konsisten menggunakan kata ganti yang netral (dia, ia, atau -nya).
Mengapa saya sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah menggunakan kata ganti “beliau” dalam tulisan? Pertanyaan itulah yang akan saya uraikan dalam catatan ini.
Dalam bahasa Indonesia, “beliau” adalah kata ganti yang ditujukan untuk menyebut orang yang kita hormati, atau orang yang kita tuakan, seperti guru, tokoh agama, atau kepala negara. Tetapi, sebenarnya, konteks “beliau” yang ditujukan untuk hal-hal semacam itu hanya berlaku ketika kita menulis secara informal/nonformal (misalnya tweet atau mention di Twitter), atau ketika sedang bercakap-cakap, atau ketika sedang berpidato/ceramah (di luar konteks ilmiah).
Masalahnya, banyak orang tidak mengetahui hal itu. Dengan alasan untuk menghormati, banyak orang menggunakan “beliau” untuk menyebut siapa saja, dan kekeliruan ini bahkan dilakukan oleh para jurnalis yang mestinya menguasai tata cara penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Tulisan dalam bentuk karya jurnalistik, sebagaimana tulisan ilmiah lainnya, harus mengedepankan objektivitas dan netralitas. Karenanya, penyebutan siapa pun di dalam tulisan harus egaliter, memperlakukan semua orang secara sederajat, sehingga wartawan atau jurnalis harus menggunakan kata ganti “ia” atau “dia”, tanpa bermaksud “tidak sopan”.
Jadi, menulis kata ganti “ia” atau “dia” yang ditujukan untuk tulisan ilmiah itu bukan bentuk ketidaksopanan, melainkan karena memang aturannya seperti itu.
Masalahnya, banyak orang tidak memahami hal ini.
Kata “beliau” yang digunakan dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Melayu Kuno. Dalam bahasa Melayu Kuno, terdapat dua bentuk kata ganti orang ketiga tunggal, yaitu “dia” (untuk menyebut orang secara umum) dan “baginda” (untuk menyebut raja atau orang yang terhormat).
Seiring waktu, kata “baginda” kemudian berubah jadi “beliau”, dan digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua atau berstatus tinggi, seperti ulama, tokoh agama, atau pemimpin. Di Indonesia, kata “beliau” mulai digunakan pada zaman kolonial Belanda, saat Bahasa Melayu—atau bahasa yang kemudian dikenal sebagai Bahasa Indonesia—digunakan sebagai bahasa administratif dan pengantar komunikasi resmi di Indonesia.
Jadi, sejak awal, istilah atau kata ganti “beliau” memang ditujukan untuk menunjukkan adanya kasta atau strata sosial tertentu, yang membedakan satu orang dengan orang lainnya.
Di negara seperti Indonesia, hal itu (istilah semacam “beliau”) tentu relevan, khususnya ketika digunakan dalam percakapan atau tulisan-tulisan nonformal. Tetapi, seperti yang disebut tadi, karya jurnalistik atau tulisan ilmiah harus objektif sekaligus netral, dan, konsekuensinya, semua orang harus disebut secara setara atau egaliter. Dalam hal itulah, kita harus menggunakan kata ganti yang umum atau netral seperti “dia” atau “ia”, dan penggunaan kata ganti yang umum itu tidak dimaksudkan bahwa kita tidak menghormati orang yang kita sebut.
Dulu, awal-awal berita online booming di Indonesia, banyak berita yang isinya penuh kata ganti “beliau”. Ketika narasumber menyebut “beliau” untuk menunjuk seseorang yang lain, jurnalis memang bisa mengutip ucapan si narasumber seperti apa adanya, dengan memasukkan “beliau” yang dikatakan si narasumber. Tapi si jurnalis mestinya tidak menggunakan kata “beliau” dalam tulisannya sendiri. Setiap kali jurnalis menyebut seseorang dalam tulisannya, siapa pun, dia harus menggunakan kata ganti yang netral (ia atau dia).
Belakangan, ketika para jurnalis diberi tahu soal ini, mereka memang tidak lagi menggunakan kata ganti beliau. Tapi mereka lalu “mengarang” istilah lain; dirinya.
Bahkan sampai sekarang, kita masih sering menemukan berita yang isinya penuh kata ganti “dirinya”. Mengapa fenomena semacam ini bisa terjadi? Karena para jurnalis merasa “pekewuh” (tidak nyaman) ketika harus menyebut seseorang dengan “ia” atau “dia”, khususnya ketika orang yang dimaksud menempati strata sosial yang tinggi. Karena tidak mungkin lagi menggunakan istilah “beliau”, mereka pun lalu menggunakan istilah lain yang sebenarnya sama problematis; “dirinya”.
Dalam penulisan bahasa Indonesia, penggunaan kata ganti “dirinya” memang diperbolehkan. Tapi kalau kita membaca suatu artikel yang isinya penuh kata ganti “dirinya”—ketika si penulis seharusnya cukup menggunakan kata ganti “dia” atau “ia”—kita pun merasa aneh, dan tidak yakin itu tulisan profesional. Apalagi kalau masih ngotot menggunakan istilah “beliau” dalam tulisan.
Wong menyebut perampok, pakai istilah “beliau”. Menyebut bayi, pakai istilah “beliau”. Menyebut koruptor, pakai istlah “beliau”. Ketika artikel-artikel semacam itu dibaca masyarakat awam, mereka akan terpengaruh, dan kemudian mengikuti. Akibatnya, penggunaan istilah “beliau” jadi semacam kata ganti yang wajib digunakan, dan diterapkan pada semua orang secara serampangan. Ini namanya penyesatan atau pembodohan, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Latar belakang itulah yang membuat saya sengaja tidak pernah, atau setidaknya sangat jarang, menggunakan istilah “beliau” dalam tulisan. Hal itu saya lakukan bukan karena tidak menghormati orang-orang yang saya sebut dalam tulisan, melainkan karena tuntutan profesionalitas. Kapan pun saya menulis secara ilmiah, saya akan konsisten menggunakan kata ganti yang netral (ia, dia, atau -nya). Agar orang-orang yang membaca tulisan-tulisan saya juga mendapat “pembanding”, dan menyadari bahwa penggunaan “beliau” bukan kewajiban.
Sekali lagi, dalam penulisan ilmiah, menyebut seseorang dengan kata ganti “dia” atau “ia”, itu bukan karena kita tidak menghormati orang yang kita sebut, tapi bagian dari memenuhi syarat penulisan yang profesional. Di luar penulisan ilmiah, misal dalam percakapan informal, saya juga tetap menggunakan istilah “beliau” ketika menyebut orang-orang yang saya hormati.
Di Twitter, saya biasa menggunakan kata ganti “aku” untuk menyebut diri sendiri, karena ditujukan sebagai monolog (mirip anak Jakarta yang menyebut dirinya “gue”.) Tetapi, ketika berkomunikasi dengan orang lain, saya menggunakan kata ganti “saya” untuk menyebut diri sendiri, sebagai bagian sopan santun, khususnya ketika yang berkomunikasi dengan saya memang lebih tua.
Ketika menyebut nama seseorang dalam tulisan (misal di blog atau Twitter), saya biasanya langsung menyebut nama, tanpa embel-embel. Tetapi, ketika saya berkomunikasi langsung dengan orang tersebut dalam percakapan, saya tetap menggunakan sebutan yang sopan, semisal “Mas”, Mbak”, “Bang”, “Pak”, “Bu”, dan semacamnya. Meski, tentu saja, hal ini kadang tidak berlaku ketika saya berkomunikasi dengan orang yang seumuran, atau dengan teman sendiri yang sudah akrab.
Itu sekadar ilustrasi bahwa kita perlu memahami kapan suatu istilah (kata ganti) digunakan secara tepat, sesuai konteks dan proporsinya, dan tidak salah memahami ketika mendapati orang lain menggunakan kata ganti tertentu.
Sebagai penutup. Jika sewaktu-waktu kalian menyebut nama saya, dalam tulisan maupun dalam ucapan, jangan gunakan “beliau”. Gunakan saja kata ganti “dia” atau “ia”. Saya tidak layak, sekaligus tidak nyaman, disebut dengan kata ganti “beliau”.