Mengapa Rata-rata Anak Menyukai Masakan Ibunya?

Ilustrasi/pikiran-rakyat.com
Banyak orang, dari kecil sampai dewasa, menyukai masakan ibunya. Kemungkinan besar, kita termasuk di antaranya. Saya sendiri juga sangat menyukai masakan ibu, bahkan menganggap sayur sup paling enak di dunia adalah sayur sup buatan ibu saya. Jadi, kalau kamu juga berpikir bahwa masakan ibumu sangat istimewa, itu hal biasa, karena hampir semua orang juga menganggap masakan ibunya memang istimewa.

Lalu, kenapa rata-rata orang menyukai masakan ibunya? Setidaknya ada tiga jawaban ilmiah yang bisa kita temukan.

Pertama, karena masakan ibu memang enak. 

Bisa jadi, ibumu memang pintar masak, sehingga masakan buatannya benar-benar enak. Karena masakannya enak, kamu pun menyukainya, bahkan hingga dewasa. Bisa jadi pula, yang menyukai masakan ibumu bukan hanya kamu, tapi orang lain juga menyukai masakan ibumu, karena memang enak. Apalagi jika ada bukti empiris, misalnya ibumu membuka warung makan, dan laris, makin jelas kalau masakan ibumu memang enak, sehingga wajar kalau kamu menyukai masakannya.

Kedua, masakan ibu mungkin biasa-biasa saja, tapi akrab dengan lidah kita—karena kita telah menikmati masakannya sejak kecil—hingga kita menganggapnya enak.

Disadari atau tidak, selera kita pada makanan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, khususnya kebiasaan yang telah kita lakukan/alami sejak kecil. Kalau kamu saat ini doyan makan sosis atau pizza, misalnya, kemungkinan besar kamu telah mengenal makanan-makanan itu sejak kecil, hingga terbiasa, dan menganggapnya enak.

Di sisi lain, orang yang tidak akrab dengan suatu makanan, biasanya akan menganggapnya “asing” sehingga tidak cocok dengan lidahnya. Dalam contoh sosis dan pizza, saya termasuk yang tidak akrab, hingga bisa dibilang tidak doyan. Karena sejak kecil memang tidak pernah kenal dengan makanan itu. Bahkan, ketika dewasa, dan melihat teman-teman saya makan pizza, saya tidak tertarik. Saya pernah mencoba mencicipi pizza, dan saya menganggap rasanya “aneh” di lidah saya. Ini tentu bukan salah pizza-nya, tapi semata karena saya tidak terbiasa memakannya.

Sedari kecil, makanan yang akrab dengan saya adalah tahu, tempe, atau telur. Sampai sekarang, saya masih menggemari makanan-makanan itu, dan menganggapnya makanan enak.  

Kembali ke masakan ibu. Jadi, ada kemungkinan masakan ibu kita biasa-biasa saja, tapi kita menyukai masakannya, karena terbiasa. Hal ini, bisa jadi, akan dialami pula oleh anak yang sejak kecil menikmati masakan asisten rumah tangga (ART). 

Misalnya begini. Ayah dan ibumu sama-sama bekerja, sehingga urusan memasak di rumah diserahkan ke ART. Jadi, sejak kecil, ART di rumahmu tidak hanya bertugas mengasuhmu, tapi juga membuat masakan untuk keluargamu. Artinya, sejak kecil kamu akrab dan terbiasa dengan masakan buatan ART di rumahmu. Apakah masakannya enak? Mungkin enak, mungkin pula biasa-biasa saja. Tetapi, terlepas apakah masakannya enak atau tidak, kemungkinan besar kamu akan menyukainya, karena terbiasa sejak kecil.
 
Ada teman saya yang punya cerita “kocak” tapi mengharukan. Namanya Reno. Ayahnya pengusaha batik, dan ibunya sehari-hari membantu bisnis, mengurusi penjualan, hingga berkomunikasi dengan para pekerja. Karena itu, urusan rumah tangga semisal memasak, diserahkan ke ART. Jadi, sejak kecil, Reno sudah akrab dan terbiasa dengan masakan ART di rumahnya. Dan dia menganggapnya enak, tentu saja.

Seiring waktu, Reno makin besar. Sementara ART di rumahnya menua, hingga pensiun jadi ART. Itu terjadi ketika Reno mulai kuliah. Karena ART yang lama pensiun, orang tua Reno mencari ART yang baru, untuk memasak di rumah mereka. Sejak itu, Reno merasa masakan di rumahnya “berbeda”—dia menganggap masakan ART yang baru tidak seenak masakan ART yang lama.

Padahal, menurut orang tuanya, ART yang baru benar-benar seorang koki profesional, sementara ART yang lama hanya ibu-ibu biasa, dalam arti bukan koki profesional. Artinya, masakan ART yang baru tentu lebih enak, dan itu diakui oleh orang tua Reno serta orang-orang lain. Tapi Reno tetap menganggap masakan ART yang lama lebih enak. Ini bukti kebiasaan bisa “membentuk” lidah kita.

Yang mengharukan, Reno kadang sengaja menjenguk ART yang lama ke rumahnya, demi bisa kembali menikmati masakannya. Ini mungkin sama seperti kita yang sering merindukan masakan ibu, khususnya ketika lama tidak menikmati masakannya.

Jadi, alasan kenapa rata-rata kita sangat menyukai masakan ibu, karena masakan ibu memang enak, sehingga kita menyukainya. Alasan kedua, karena kebiasaan. Apa alasan atau penyebab ketiga?

Penyebab ketiga... karena doktrin!

Doktrinasi tidak hanya berbentuk kata-kata, tapi juga segala sesuatu yang “dipaksakan” kepada kita sejak kecil. Seperti masakan ibu. Bisa jadi masakan ibu kita memang enak, bisa jadi biasa-biasa saja, atau bisa jadi pula sebenarnya tidak enak. Tetapi, terlepas dari kemungkinan-kemungkinan itu, masakan ibu “didoktrinkan” kepada kita sejak kecil, hingga kita terbiasa—bahkan sangat terbiasa—sampai kita percaya bahwa masakan ibu memang enak.

Bahkan sampai hari ini, saya masih belum yakin apakah sayur sup buatan ibu saya memang enak, ataukah itu hanya persepsi lidah saya. Yang jelas, saya masih merasa, menganggap, bahkan meyakini, sayur sup paling enak di dunia adalah sayur sup buatan ibu saya. Kapan pun saya menikmati sayur sup buatan ibu, saya tidak hanya merasakan sesuatu yang sangat akrab di lidah—karena saya telah menikmatinya sejak kecil—tapi juga merasakan “kehangatan” memori yang telah terbangun sejak kecil.

Di berbagai tempat makan, dari kaki lima sampai bintang lima, saya pernah menikmati aneka macam sayur sup. Tetapi, ini menakjubkan, saya masih menganggap bahwa semua sayur sup itu tidak ada yang dapat mengalahkan kenikmatan sayur sup buatan ibu saya. Bisa jadi, kalian pun memiliki kesamaan dalam hal itu. Kalian mungkin menyukai suatu masakan ibu, dan merasa bahwa masakan lain di mana pun tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan masakan ibu kalian.

Bagaimana hal semacam itu bisa terjadi? Ada yang mengatakan bahwa hal semacam itu dilatari enzim amilase. Enzim amilase adalah enzim yang bertanggung jawab mencerna karbohidrat kompleks menjadi molekul-molekul gula yang lebih sederhana. Enzim ini diproduksi di pankreas dan kelenjar ludah, dan bekerja dengan cara memecah ikatan kimia dalam molekul karbohidrat, seperti pati dan glikogen, menjadi molekul-molekul gula yang lebih kecil seperti glukosa dan maltosa. 

Level enzim amilase pada seorang ibu akan mempengaruhi level enzim amilase pada anaknya, sehingga terjadi kesamaan level amilase, dan itu menyebabkan kita “selaras” dengan selera makan ibu kita. 

Tapi hipotesis itu belum cukup terbukti. Pasalnya, anak yang sejak kecil terbiasa menikmati masakan ART di rumahnya juga akan “selaras” dengan selera makan si ART. Selain itu, ada orang-orang yang secara objektif menyadari bahwa masakan ibunya biasa-biasa saja, dan menerima kenyataan bahwa ada banyak masakan lain yang lebih enak, meski mereka tetap menyukai masakan ibunya.

Jadi, saya lebih meyakini bahwa kita menganggap masakan ibu sangat enak—terlepas apakah benar enak atau tidak—karena “doktrinasi” yang kita terima sejak kecil. Seperti yang saya alami. Sejak kecil, saya akrab dengan sayur sup dan aneka sayur lain buatan ibu, dan terbiasa, dan menganggapnya enak. Sampai sekarang, saya masih menganggap sayur buatan ibu tetap yang paling enak. 

Sekarang, mari buat ilustrasi terbalik. 

Suatu malam, saya keluar rumah dengan perut lapar. Ketika sedang melaju perlahan-lahan, saya mendapati sebuah tempat makan yang tampak ramai. Ada banyak motor dan mobil yang parkir di sekeliling tempat itu. Saya pun tergelitik, dan berhenti di sana.

Tempat makan yang saya datangi malam itu menyediakan nasi goreng dan capcay. Saya memesan capcay, dan nasi putih. Ketika menikmati hidangan itu, saya benar-benar takjub. Seumur-umur, baru kali itu saya menikmati capcay yang enaknya luar biasa! “Pantas tempat makan ini ramai sekali,” pikir saya waktu itu.

Usai makan, sambil menikmati udud, saya berpikir, apakah capcay yang saya makan malam itu benar-benar enak, ataukah terasa enak karena kebetulan saya sedang lapar?

Beberapa hari kemudian, saya kembali ke tempat itu, karena penasaran, juga karena ketagihan dengan capcay yang sangat enak. Saya kembali memesan nasi dan capcay. Kali ini, saya mempersiapkan pikiran senetral mungkin, agar lidah saya lebih objektif. Hasilnya, capcay itu memang enak! 

Di lain waktu, dengan rasa penasaran yang makin tinggi, saya datang ke tempat makan itu dengan kondisi perut lumayan kenyang. Kali ini, saya hanya memesan capcay, tanpa nasi. Dasar capcay enak, bahkan ketika dimakan dalam kondisi perut kenyang pun, capcay itu masih enak. Saya pun akhirnya yakin, “Ini benar-benar capcay paling enak sedunia!” 

Sejak itu, saya kerap datang ke sana, menikmati capcay untuk makan malam. Saat ngobrol dengan teman, dan kami kebetulan membicarakan makanan, saya pun menceritakan soal capcay yang sangat enak itu, dan teman-teman saya tertarik, lalu ikut mencoba, dan sama-sama ketagihan.

Sampai suatu hari, saya ngobrol soal capcay itu dengan seseorang, dan dia memberi tahu, “Capcay di tempat itu jelas enak, wong pakai babi!”

Saya kaget luar biasa. Dia menjelaskan bahwa tempat makan yang saya datangi itu memang sudah terkenal sebagai penghasil capcay sangat enak, dan sudah jadi rahasia umum kalau masakan di sana menggunakan babi. “Apa iya kamu belum tahu?” dia bertanya memastikan.

Saya benar-benar tidak tahu! 

Sejak itu, saya tidak pernah lagi datang ke tempat capcay tadi. Sampai sekarang. Beberapa teman saya yang sudah telanjur ketagihan makan capcay di sana juga ikut berhenti, ketika tahu capcay yang mereka nikmati mengandung babi.

Padahal capcay di sana enak sekali. Saya bahkan menganggap itu capcay paling enak sedunia, dan teman-teman saya setuju, juga sama-sama ketagihan. Tapi begitu diberi tahu bahwa capcay itu mengandung babi, kami semua berhenti, dan tidak pernah memakan capcay di sana lagi.

Yang kami alami ini... akan disebut apa jika bukan doktrin? 

Related

Makanan & Minuman 3921035872920095583

Posting Komentar

  1. mungkin itulah penyebab adanya Salero Bundo, ga ada selera bapak
    karena selera bapak berubah2, hehe

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item