Menatap Langit Sampai Terlelap

Ilustrasi/pngtree.com
Andai adik saya tidak mengalami kecelakaan, tempo hari, sampai sekarang saya mungkin tidak pernah pakai WhatsApp. Saya biasa berkomunikasi dengan telepon langsung atau SMS. Ketika adik saya mengalami kecelakaan dan masuk rumah sakit, saya seperti dipaksa untuk memakai WhatsApp, karena harus berkomunikasi dengan banyak orang baru—dari pihak rumah sakit yang merawat adik saya, sampai pihak kepolisian yang menangani kecelakaan itu—dan mereka semua menggunakan WhatsApp.

Akhirnya saya menginstal WhatsApp di ponsel, demi melancarkan komunikasi waktu itu, dan sampai sekarang aplikasi tersebut masih ada di ponsel. Kadang-kadang, kalau lagi iseng, saya membuka WhatsApp, dan melihat-lihat status teman. 

Seperti tempo hari. Saya duduk di kantor sebuah bank, menunggu nomor antrean saya dipanggil. Sambil menunggu, saya membuka ponsel, dan melihat status teman-teman di WhatsApp. Thariq, salah satu teman, mengunggah foto lumpiang dengan sambal cokelat plus cabai rawit. [Lumpiang adalah gorengan, mirip risoles, tapi lebih gurih—saya tidak tahu sebutannya di daerah lain, tapi di tempat saya disebut lumpiang atau lompyang.]

Saya nge-chat Thariq melalui foto status itu, “Di mana beli lumpiang kayak gitu, Riq?”

Thariq membalas, “Kalau nanti malam kamu dolan ke tempatku, aku siapkan sepiring lumpiang buatmu.”

“Aku datang.”

Malam harinya, saya datang ke rumah Thariq. Dia tinggal sendirian, dan di belakang rumahnya terdapat taman tanpa atap, dengan gazebo cukup luas yang nyaman untuk ngobrol. Kalau saya dolan ke rumahnya, biasanya kami ngobrol di tempat itu, duduk di gazebo, sambil menatap langit.

Malam itu, kami duduk-duduk di sana, bercakap-cakap, dengan sepiring lumpiang—seperti dijanjikan Thariq tadi siang—dan teh hangat. Saya menikmati suguhan itu, mengunyah lumpiang dengan senang, meminum teh di gelas, lalu menyulut rokok.

Setelah mengisap rokoknya sesaat, Thariq bertanya sambil tersenyum, “Bagaimana lumpiang bisa memaksamu datang ke sini?”

“Ceritanya panjang,” saya menyahut. “Kalau kuceritakan, penjelasannya bisa sampai tahun 8479, dan umurmu jelas tidak akan cukup.”

Thariq nyengir. “Jelaskan saja. Kalau aku keburu mati, setidaknya aku sudah mendengar sebagian ceritanya.”

Saya tertawa. Setelah mengisap rokok, saya kemudian berkata perlahan, “Ceritanya dimulai ketika aku masih kecil—masih kelas dua atau tiga SD waktu itu—dan di kampungku ada penjual lumpiang keliling. Penjualnya seorang pria berumur lima puluhan, dengan gerobak sederhana yang dilengkapi alat penggorengan. Biasanya, dia lewat usai isya, dan anak-anak tetanggaku membeli lumpiang yang ia jajakan. Kadang aku ikut beli, tapi sering kali tidak, karena tidak ada uang. Lumpiangnya sangat enak, masih hangat, dan dilengkapi sambal cokelat kental yang tidak pedas. Aku sangat menyukai lumpiang itu, dan rasanya ingin beli setiap malam, setiap kali penjualnya lewat... tapi aku tak pernah punya uang.”
 
Saya kembali mengisap rokok, lalu melanjutkan, “Selama beberapa tahun, sejak penjual lumpiang itu lewat pertama kali, aku membeli lumpiangnya tidak lebih dari lima kali. Setiap malam penjual lumpiang yang enak itu lewat di depan rumahku—penjualnya menabuh alat penggorengan dengan suara yang khas—tapi aku hanya bisa memandanginya... dan, diam-diam, waktu itu aku bersumpah akan beli lumpiang setiap hari jika sudah bekerja dan punya uang.”

“Dan akhirnya itu terwujud?” 

“Tidak,” saya menjawab.

Hening menggantung sesaat. Thariq menunggu lanjutannya.

Saya meneruskan, “Ketika kelas enam SD, aku sudah bekerja, dan mulai punya cukup uang untuk beli lumpiang. Tapi penjual lumpiang itu tidak pernah lewat. Aku menunggu hampir setiap malam, tapi dia tidak juga lewat. Menurut para tetangga, penjual lumpiang itu konon sudah meninggal.”

Thariq berkata, “Aku tidak menyangka akhirnya bakal begitu.”

“Begitu pun aku,” saya menyahut. “Siapa yang menyangka dia akan meninggal, tepat ketika aku mulai punya cukup uang untuk membeli lumpiangnya? Aku juga tidak pernah membayangkan kalau penjual lumpiang itu akan meninggal—sebenarnya, aku membayangkan dia akan tetap ada selamanya, dan aku bisa membeli lumpiangnya kapan saja, sampai aku dewasa...”

Thariq mengambil lumpiang di piring, memakannya, dan saya mengikutinya. Setelah meminum teh dan kembali menyulut rokok, dia berkata, “Selama ini, kamu tentu sudah menemukan lumpiang di tempat lain, kan? Uhm... semacam ‘penebusan’ atas kekecewaan masa kecil karena kehilangan penjual lumpiang kesukaanmu.”

“Sayangnya tidak,” saya menjawab. “Memang, aku sering mencari penjual lumpiang, di berbagai tempat, dan itu telah kulakukan bertahun-tahun, tapi tidak pernah menemukan yang tepat sama seperti lumpiang di masa kecilku. Aku telah menemukan banyak lumpiang lain, tapi bentuknya beda. Karenanya, waktu tadi siang melihat statusmu, aku langsung tertarik.”

Thariq berkata, “Aku beli lumpiang ini di kampung sebelah. Warung rumahan, menjual gorengan, termasuk lumpiang. Sekarang kamu bisa menikmati lumpiang kapan pun kamu mau.”

Saya nyengir. “Kedengarannya seperti happy ending.”

Kami mengisap rokok, menikmati keheningan di belakang rumah, dan sesekali melihat ke atas, menatap bintang-bintang di langit. 

Thariq berkata ragu-ragu, “Sepertinya, orang-orang seperti kita—yang tumbuh dalam kemiskinan—punya semacam... apa istilah yang tepat? Ya, semacam yang kamu alami. Menginginkan sesuatu ketika masih kecil, tapi tidak kesampaian, lalu berusaha mendapatkannya ketika sudah dewasa.”

“Sepertinya, ya,” saya menjawab. “Hobimu mengoleksi VCD dan DVD, atau hobiku mengoleksi buku, sebenarnya desakan bawah sadar kita yang diam-diam ‘terluka’ ketika masih kecil, dan, ketika dewasa, kita berusaha ‘menghibur bocah terluka’ itu dengan memberinya hal-hal yang tidak bisa ia dapatkan ketika kecil.”

“Tepat sekali!” 

Kami kembali menatap langit, menikmati keheningan, dan Thariq mengisap rokoknya. Seiring asap yang mengepul di depan mukanya, dia berkata ragu-ragu, “Kadang-kadang aku berpikir, apa yang dilakukan anak-anak orang kaya ketika mereka seumuran kita? Maksudku, kita, di usia sekarang, berusaha menebus hal-hal yang dulu tidak kita miliki, lalu berusaha mensyukuri hidup karena setidaknya kita bisa tumbuh lebih baik dibanding masa kecil dulu. Apa yang dipikirkan dan dilakukan anak-anak orang kaya, ketika mereka seumuran kita? Apa yang mereka kejar? Apa yang mereka cari?”

“Aku tidak tahu, Riq,” saya menjawab. “Aku bukan anak orang kaya.”

Lalu kami tertawa-tawa bersama—mungkin menertawakan kekonyolan pikiran kami.

Bercakap-cakap dengan teman dekat sering kali menyenangkan, karena kami saling percaya, dan saling memahami. Dan teman dekat biasanya orang yang memiliki latar belakang sama, dengan cara berpikir sama. 

Ketika kita saling percaya dengan seseorang, kita nyaman bersamanya. Dan ketika nyaman bersama seseorang, kita menjadi diri kita apa adanya. Kita bisa terbuka mengakui hal-hal yang kita risaukan, atau meminta pertimbangannya atas kegalauan yang sedang kita alami. Memiliki teman yang bisa dipercaya, meski hanya satu orang, adalah karunia.

Malam itu, saya bercakap-cakap dengan Thariq sampai larut malam, sementara lumpiang di piring telah tandas, dan asbak penuh puntung rokok. Ketika saya menengok jam di tangan, sudah pukul 01.00. Saya dan Thariq masih asyik ngobrol, hingga dia meminta saya tidak usah pulang.

Dia berkata, “Kita bisa ngobrol di sini sampai terlelap. Mumpung langit cerah dan tidak hujan.”

Itu usul yang menarik. Dan kami berbaring bersisian di gazebo, di belakang rumahnya yang tanpa atap.

Berbaring sambil menatap bintang di langit, saya berkata perlahan, “Rasanya seperti di Anaheim...”

“Kenapa seperti di Anaheim?” sahut Thariq.

“Entahlah, aku tidak tahu. Aku hanya... merasa begitu.”

Kami terus bercakap-cakap, sesekali hening, dan kami menatap pemandangan di langit. Semakin lama, percakapan kami semakin lirih, karena mata mulai meredup. Dan bintang-bintang adalah hal terakhir yang saya lihat sebelum akhirnya terlelap.

Related

Hoeda's Note 7238184031760760196

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item