Ingin Viral Salah, Tidak Ingin Terkenal Juga Salah

Ilustrasi/pixabay.com
Di internet, sering ada video yang merekam orang-orang bertingkah aneh dan tak masuk akal, atau melakukan hal-hal tolol, dengan tujuan agar viral dan terkenal. Fenomena itu telah berlangsung sejak lama, dan sebagian mereka memang ada yang viral dan terkenal. Meski belakangan ya hilang lagi, atau dilupakan, karena nyatanya mereka terkenal bermodal viral.

Tetapi, karena ada sebagian orang yang berhasil terkenal dengan modal viral, akhirnya banyak orang lain mengikuti hal semacam itu. Mereka melakukan hal-hal tak masuk akal (misalnya berusaha menghentikan truk yang sedang melaju), atau melakukan hal-hal tolol (misalnya mandi lumpur), lalu direkam video, dan berharap viral.

Akibat seringnya video-video semacam itu muncul di internet, khususnya di media sosial, banyak orang yang akhirnya muak. Orang-orang yang ngebet terkenal itu sangat jelas ingin viral, meski dengan cara yang kadang sampai di luar batas kewajaran. Dan seperti yang disebut tadi, orang-orang di internet sudah muak dengan hal-hal semacam itu. 

Jadi, kalau kamu masih berpikir ingin melakukan hal tolol dan berharap viral demi bisa terkenal, sebaiknya jangan teruskan. Percuma. Orang-orang di dunia maya sudah tahu kalau kamu cuma ingin viral, dan ngebet jadi orang terkenal. Kalau kamu masih nekat mencoba melakukan rencanamu—ingin viral—siap-siap saja dihujat banyak orang. Intinya, kalau kamu sekadar ingin viral, kamu akan dianggap salah! 

Kata netizen, “Tidak punya karya apa-apa, lalu bertingkah tolol demi viral, dan berharap jadi terkenal. Bagaimana tidak rusak negara kita, kalau anak-anak mudanya seperti itu?”

Sekali lagi, ingat hukum besi yang berlaku di internet. Kalau kamu tidak punya karya apa-apa, tapi ingin viral dan berharap terkenal, kamu salah!

Nah, karena menyadari hal semacam itu salah, saya mencoba melakukan hal sebaliknya. Saya hanya aktif berkarya, menulis ribuan catatan di blog pribadi, juga ribuan artikel di situs ini, dan saya terus melakukannya hingga lebih dari sepuluh tahun, tapi saya tidak ingin terkenal. Saya tidak pernah memasang foto pribadi, dan selalu berusaha untuk tidak terlihat “open”, karena memang tidak ingin dikenal. 

Apakah saya kemudian dianggap benar? Tidak! Saya masih juga dianggap salah! Dan kesalahan saya adalah karena tidak ingin terkenal! 

Lha piye karepe netizen iki?

Ada orang ngebet viral dan ingin terkenal, dianggap salah. Ada orang yang tidak ingin terkenal, masih juga salah. Jadi, jangan-jangan, kalian dianggap salah oleh netizen bukan karena kalian ingin terkenal atau tidak, bukan karena kalian punya karya atau tidak, tapi intinya memang tidak ada yang benar di mata netizen! 

Sampai di sini, sebagian orang mungkin ingin mengatakan, “Kami tidak heran kalau ada orang yang ngebet viral dan ingin terkenal. Itu sangat mudah dipahami. Tapi kenapa ada orang yang justru tidak ingin terkenal? Bagaimana penjelasan logisnya?”

Sebenarnya, jawabannya sederhana. Seperti yang sering saya akui, saya seorang introver. Sebagai introver, saya lebih nyaman menjadi “bukan siapa-siapa”. Nyatanya, saya memang orang biasa, yang kebetulan senang belajar, senang membaca, dan senang menulis. Di luar itu, saya merasa tidak punya kelebihan apa pun, sehingga cukup sadar diri untuk tidak menjadi orang terkenal.

Saya seperti kebanyakan orang yang mungkin kalian temui saat sedang berjalan di trotoar, atau ketika sedang berdesakan di KRL, atau sosok yang kebetulan kalian lihat ketika sedang makan di warung kaki lima. Pendeknya, saya orang biasa yang jauh dari kesan “wah” sebagaimana orang-orang terkenal yang kalian kenal. Jadi, saya sadar diri untuk tidak mengharapkan sesuatu yang sepertinya tidak layak untuk saya. Cukuplah saya jadi orang biasa yang bukan siapa-siapa.

Dalam perspektif saya, setiap orang memiliki “takaran” sendiri-sendiri, yang biasanya sesuai dengan kapasitas dan kepribadiannya. Dan dalam hal ini, takaran yang tepat untuk saya adalah menjadi orang biasa yang bukan siapa-siapa.

Well. Sekian tahun lalu, ada band terkenal, dan lagu-lagu mereka banyak yang hits, sementara konser-konser mereka selalu dipadati banyak orang. Tapi ada satu masalah yang mungkin terdengar konyol. Yaitu, vokalis band itu tidak tahu cara menyapa penonton! Jadi, ketika konser, si vokalis hanya menyanyi. Ketika berinteraksi dengan penonton, tugas itu diserahkan kepada gitaris. Lama-lama, hal itu jadi tampak “wagu”—vokalis tapi tidak bisa ngomong. Akhirnya, vokalis itu dipecat, dan digantikan orang lain. [Kalau kalian sudah cukup puber pada era ‘90-an, kalian pasti tahu band apa yang saya maksud.]

Itulah yang saya maksud dengan “takaran”. Kalau kita sadar tidak bisa berinteraksi dengan penonton ketika konser, ya tidak usah ngotot jadi vokalis band, meski kita mungkin punya suara bagus. Karena tugas vokalis memang menyanyi—di dapur rekaman. Tetapi, ketika konser, vokalis juga bertugas menyapa dan berinteraksi dengan penonton. 

Sejak awal, saya memilih tidak ingin terkenal, karena kesadaran semacam itu. Saya tidak ingin memaksakan sesuatu yang belum tentu saya mampu. Dan menjadi orang terkenal adalah salah satu di antara hal-hal yang saya tidak mampu.

Salah satu kewajiban orang terkenal adalah selalu tampak ramah, siap tersenyum dan berbasa-basi kapan saja, sampai harus selalu ready jika diajak foto bersama orang asing. Kalau kamu orang terkenal, kamu harus memenuhi kewajiban itu. Karena jika tidak, orang-orang akan kecewa dan terluka hatinya. Para artis dan orang-orang terkenal mana pun pasti tahu hal ini.

Saya sadar tidak akan mampu memenuhi kewajiban semacam itu. Di dalam kepala, otak saya terus berpikir tanpa henti—memikirkan banyak hal yang sangat rumit—dan itu menghasilkan konsekuensi yang kurang menyenangkan; ekspresi wajah saya jadi tampak selalu serius. Bagi sebagian orang, saya terlihat murung, atau bahkan tampak seperti orang marah. 

Dalam kondisi seperti itu, saya akan kesulitan jika diminta beramah-tamah atau berbasa-basi dengan nada ceria pada sembarang orang, sebagaimana yang [harus] dilakukan orang-orang terkenal. Jika, misalnya, diajak foto bersama [ala orang terkenal], hasilnya saya akan tampak murung atau seperti orang marah dalam foto. Kan aneh jadinya.

Kesadaran-kesadaran semacam itulah yang membuat saya lebih memilih untuk menjadi orang biasa yang tidak dikenal. Memang, percaya diri itu penting. Tapi sadar diri jauh lebih penting.

Kalau boleh berharap, saya ingin seperti Buya Syafii Maarif [almarhum]; berkontribusi pada kemanusiaan dan peradaban, tapi menjalani hidup dengan bersahaja, seperti orang-orang biasa. 

Buya Syafii itu seorang profesor, dengan tiga gelar akademis di belakang namanya, termasuk MA dan Ph.D. Selain terkenal sebagai ulama serta cendekiawan Indonesia, Buya Syafii juga pernah menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace, dan pendiri Maarif Institute. Begitu besar kontribusinya bagi Indonesia dan kemanusiaan secara luas. Tapi Buya Syafii sangat bersahaja, dan benar-benar tampak seperti orang biasa.

Jika harus meniru seseorang di zaman kita, saya ingin seperti Buya Syafii Maarif. 

Sekadar curhat. Selama ini, saya kadang mendapat tawaran untuk wawancara atau ngobrol di podcast untuk konten YouTube. Alasan mereka mengundang saya bermacam-macam, di antaranya terkait konsistensi kepenulisan saya di dunia maya yang telah melampaui satu dekade. Saya mengucapkan terima kasih atas tawaran-tawaran itu, tapi saya menolak tawaran mereka.

Sekarang, agar tidak dianggap sombong, saya ingin ngomong blak-blakan. Umpama Deddy Corbuzier mengundang saya untuk ngobrol di podcast-nya, saya juga akan menolak.

Saya terpaksa ngomong begini, agar tidak ada anggapan saya menolak suatu tawaran podcast karena “kenapa-kenapa”. Saya menolak tawaran-tawaran untuk muncul di podcast mana pun, karena memang tidak mau. Tetapi, agar adil, saya tidak keberatan untuk "ngobrol-ngobrol" secara offline. Jika kalian kemudian menggunakan obrolan itu untuk dikontenkan, saya juga tidak mempermasalahkan. Tapi intinya saya tidak mau muncul di podcast kalian. Cukup fair, kan?

Ketika saya merespons tawaran-tawaran itu dengan penjelasan di atas, jawaban yang saya terima biasanya, “Tapi kalau kamu nggak muncul secara langsung, ya nggak asyik, lah.”

Kalau begitu ya sudah. Wong tidak ingin terkenal saja kok susah!

Related

Hoeda's Note 8770623396933194152

Posting Komentar

  1. aku juga hampir sama denganmu, tidak ingin terkenal, yang penting punya duit banyak, hehe
    bahkan istriku kadang sebel, tiap kali nganterin dia pengajian, aku pake baju yang biasa aja, celana sebetis dan pake kaos, ga kayak bapak2 lain yang biasanya pake gamis, dkk

    mana kadang aku suka pake kaos oranye, kayak driver shopee food :D

    pernah saking keponya emak2 pengajian tentangku, mereka tanya2 ke istri, mungkin mereka mikir, kok mau istriku nikah sama aku, mana istriku bilang, kalo aku mensyaratkan istri harus mau dipoligami pas awal nikah, dan istri mau, hehe

    pas udah dijawab sama istri, mereka bilang oohhh

    kalo kajian pun, pake baju koko yang biasa, celana kain khas PNS di kelurahan, dan tampil biasa saja.

    bahkan kalo lagi ada jadwal ngantor, dari rumah pake sandal jepit (bikin tetanggaku bertanya-tanya, aku sebenarnya kerja apa, atau jangan2 ga kerja) :))
    (kalo ini sih biar kalo hujan, sepatuku ga rusak)

    sudah cukup buat pelajaran dari kehidupan bapakku, kadang kalo orang lain terlalu tahu tentang kita, mereka akan "memanfaatkan" kita. bahkan sampe sekarang keluargaku, ga ada yang tahu pasti berapa gajiku. yang tahu cuma istriku saja. bahkan ibuku tidak tahu.

    aku enggan terkenal, karena pasti yang ngerusuhin hidupku bakal banyak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah ini yang aku harapkan, "tidak terkenal, yang penting punya duit banyak". Orang pada ingin terkenal itu kan biasanya ujungnya karena ingin dapat banyak duit. Lha kalau bisa dapat banyak uang tanpa terkenal, kayaknya hidup lebih nyaman.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item