Desta Udud, dan Saya Terkejut

Ilustrasi/tribunlampung.co.id
Saya punya teman, bernama Aditya Rizky. Dia punya lima saudara (kakak dan adik), yang semuanya bernama belakang “Rizky”, dari Naula Rizky, Tiara Rizky, sampai Aditya Rizky. Karenanya, dulu, saya pernah bercanda dengannya, “Jangan-jangan Natasha Rizky (istrinya Desta) itu sebenarnya adikmu, tapi dia diadopsi orang lain?”

Adit tertawa, dan menyahut, “Kalau begitu, aku sodaraan sama Desta, dong!” Sepertinya, dia bangga membayangkan punya adik ipar artis terkenal.

Kemarin, seiring ramainya berita dugaan perceraian Desta dan istrinya, saya bertanya pada Adit, apa benar kalau Desta dan Natasha akan bercerai. Adit sewot, “Kok nanya aku? Kenal juga nggak!”

Saya ngikik.

Saya juga tidak kenal Desta, sih. Selain tahu kalau dia selebritas yang kerap muncul di televisi dan punya acara podcast bareng Vincent di YouTube. Karena tidak kenal secara pribadi, saya pun hanya sekadar tahu Desta sebagai selebritas, bukan sebagai pribadi. Artinya, pengetahuan saya tentang Desta sangat terbatas, sekadar yang saya lihat dari kesan terhadapnya.

Dan kesan saya pada Desta begitu “lurus”. Di mata saya, Desta adalah pria saleh. Dalam arti, tipe pria yang tidak neko-neko, rajin beribadah, hidup sederhana, pendeknya tidak... anu, “tidak duniawi”, kalau boleh disebut begitu. Mukanya yang kalem, di mata saya, mirip mas-mas yang biasa aktif di organisasi Rohis (Rohani Islam). 

Di kampus saya dulu banyak aktivis Rohis, dan orang-orangnya bisa dibilang mirip Desta. Berwajah kalem, religius, dengan jenggot tipis di dagu, penampilannya bersahaja, dan tidak suka neko-neko. Saya tidak bermaksud menggeneralisasi, ya. Cuma, gambaran aktivis Rohis di kampus saya dulu memang kira-kira seperti itu. Karenanya, ketika lihat Desta, kesan saya kepadanya juga begitu.

Sampai suatu waktu, Desta muncul di podcast Close The Door, ngobrol dengan Deddy Corbuzier. Sebenarnya itu biasa saja. Yang bikin saya kaget luar biasa adalah saat melihat... Desta merokok!

“Lhoh?” Saya melongo. “Kok dia udud?”

Kesan Desta sebagai anak Rohis di benak saya seketika rusak berkeping-keping. Karena, setahu saya, anak Rohis tidak ada yang merokok! Sekali lagi, saya tidak bermaksud menggeneralisasi. Cuma, anak-anak Rohis di kampus saya dulu memang tidak ada yang merokok. Jadi, ketika melihat Desta ternyata udud, saya merasa mengalami “kerusakan persepsi”—kalau memang istilah itu ada.

Dan ternyata Desta tidak hanya udud di Close The Door. Dia punya podcast sendiri di YouTube, berduet dengan Vincent Rompies. Di acara itu, saya juga mendapati Desta asyik udud sambil nyangkruk dengan orang-orang yang diundang ke podcast. Artinya dia memang seorang ududer (perokok/smoker). Dan itu, sekali lagi, membuat saya terkejut.

Kalau Vincent, terus terang, tidak akan membuat saya terkejut andai dia merokok. Karena penampakan luarnya memang sudah terlihat ada mbeling-mbelingnya. Jangankan udud, wong umpama dia mabok juga tidak akan bikin saya terkejut!

Ayolah, kalian pasti sepakat dengan saya. Vincent dan Desta, sebagai duo seleb yang berteman karib, bukan hanya tampak sebagai dua orang berbeda, tapi juga dua personifikasi yang berbeda. Vincent adalah personifikasi pria muda yang mbeling, dengan tato yang jelas terlihat, dengan penampilan yang seolah memberi tahu kalau dia suka neko-neko—well, jenis pria yang “sangat duniawi”, kalau boleh disebut begitu.

Sementara Desta adalah personifikasi yang berkebalikan dari itu. Mukanya lempeng seperti orang saleh, penampilannya bersahaja, jenggot tipisnya khas orang religius, dan sejauh ini—setidaknya yang saya tahu—hampir tidak ada gosip miring apa pun tentangnya. Fakta bahwa dia punya istri yang berjilbab, makin menguatkan keyakinan kalau Desta memang orang alim. Karenanya, baru melihat dia udud saja, saya sudah terkejut.

Fenomena yang saya alami ini, terkait Vincent dan Desta, disebut “kesan penampilan” atau “persepsi penampilan”. Yaitu fenomena ketika kita mengevaluasi dan menilai orang lain berdasarkan wujud luar yang kita lihat. Hal ini dapat mencakup penilaian tentang kepribadian, kemampuan, gaya hidup, dan lain-lain. Yang jadi masalah, kesan penampilan dapat dipengaruhi oleh persepsi subjektif kita, dan tidak selalu mencerminkan realitas sebenarnya.

Persepsi penampilan mengacu pada cara kita menafsirkan dan memahami penampilan seseorang, dan tidak bisa dilepaskan dari interpretasi subjektif yang dapat mempengaruhi cara kita melihat dan memahami orang lain, berdasarkan penampilan mereka. Karenanya, persepsi penampilan juga tidak selalu akurat atau sesuai kenyataan.

Seperti cara saya melihat Vincent dan Desta. Secara pribadi, saya tidak mengenal mereka, selain hanya tahu bahwa mereka dua artis yang bersahabat. Dari kesan yang saya tangkap, Vincent dan Desta mewakili personifikasi dua pribadi yang berbeda, yang, di mata saya, saling bertolak belakang. Yang satu terlihat mbeling, satunya lagi terlihat alim. 

Tapi apakah persepsi saya tentang mereka terjamin benar? Saya tidak bisa yakin, karena bagaimana pun saya tidak mengenal mereka seutuhnya, dan hanya menilai mereka berdasarkan penampilan atau wujud luar yang saya lihat.

Kesan penampilan inilah yang sering kali menggelincirkan kita untuk mudah menghakimi orang lain, hanya karena menilai penampakan luarnya. Seperti kesan saya pada Vincent, misalnya. Bagi saya, Vincent adalah sosok mbeling, dan otak saya sangat mudah mengaitkan sosok Vincent dengan hal-hal negatif, khas pria mbeling. Tapi apakah kenyataannya memang benar begitu? Faktanya, saya tidak tahu, karena saya tidak kenal dia, dan hanya melihat dia dari wujud luarnya. 

Begitu pula kesan saya terhadap Desta. Bagi saya, Desta adalah personifikasi orang lurus, rajin beribadah, pria yang tidak suka neko-neko, tipe mas-mas berjenggot yang biasa ceramah di acara anak-anak Rohis. Sebegitu “lurus” persepsi saya kepadanya, sampai melihat dia udud saja sudah membuat saya terkejut kalang kabut. Dan apakah Desta memang seperti sosok yang saya bayangkan? Sekali lagi, faktanya saya tidak tahu, karena tidak mengenalnya, dan hanya menilai dia berdasarkan wujud luarnya.

Persepsi penampilan ini jelas tidak adil, karena kita bisa menghakimi seseorang hanya karena melihat penampilannya, padahal sebenarnya kita tidak tahu apa-apa. Karenanya pula, persepsi penampilan juga sering dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk mengelabui orang-orang yang tidak tahu. 

Kita mungkin pernah melihat koruptor yang tertangkap, lalu—alih-alih mengakui bersalah karena menggarong duit rakyat—malah mengatakan, “Ini cobaan.” Istilah “cobaan” yang dia katakan itu mengacu pada istilah religius, dan dia jelas keliru menggunakan istilah itu. Wong dia ditangkap karena korupsi, dan itu jelas bukan cobaan Tuhan. Tapi dia mungkin berharap istilah yang dia gunakan dapat membuat kejahatannya jadi “tampak abu-abu”, dan dia tidak dianggap jahat sepenuhnya.

Ada pula penjahat-penjahat yang tertangkap, lalu, ketika hadir di pengadilan, mereka tampak berpenampilan religius. Yang pria biasanya memakai peci, dengan baju lengan panjang seperti orang mau berangkat ke masjid. Sementara yang wanita tiba-tiba memakai jilbab dan berpakaian tertutup ala muslimah. Padahal mereka penjahat, yang melakukan aneka kejahatan, hingga tertangkap dan diajukan ke pengadilan. Apa kira-kira tujuan mereka tiba-tiba berubah menampilkan diri sebagai sosok religius?

Inilah persepsi penampilan. Dalam budaya ketimuran seperti Indonesia, orang tanpa sadar memuja penampilan atau penampakan luar. Kita lebih mudah percaya bahwa orang yang tampak saleh memang saleh, dan lebih mudah percaya bahwa orang yang tampak mbeling memang mbeling. Karena kenyataan itu, banyak orang yang menampilkan dirinya sebagai orang-orang saleh, mengesankan dirinya orang-orang religius, tapi diam-diam melakukan aneka keburukan bahkan kejahatan.  

Oh, jangan salah paham. Saya tidak bermaksud mengatakan Desta sengaja menampilkan dirinya sebagai orang saleh. Bagi saya, dia beruntung saja karena dilahirkan dalam wujud seperti itu. Saya kan tidak kenal dia, jadi kenyataannya saya juga tidak tahu apa-apa tentang dia. Fakta bahwa saya menganggap Desta orang yang lurus atau tidak neko-neko, itu persepsi saya. Apakah persepsi saya benar atau tidak, kenyataannya saya tidak tahu.

Dan itulah sebenarnya persepsi kita kepada orang-orang lain—kita sebenarnya tidak tahu! Kita hanya “terperangkap” dalam persepsi kita sendiri, akibat aneka doktrin yang kita terima lewat berbagai media yang memuja penampilan luar. Dan itu, belakangan, menjadikan kita mudah menghakimi. 

Jika orang terbukti korupsi dan kita menyebutnya koruptor, itu benar. Jika orang terbukti merampok dan kita menyebutnya perampok, itu benar. Jika orang terbukti menikam orang lain dari belakang, dan kita menyebutnya penjahat, itu pun benar. Tapi jika kita tidak tahu apa-apa tentang seseorang, lalu merasa tahu segalanya tentang dia, dan menjatuhkan vonis seolah dia penjahat, ahli neraka, dan semacamnya, dan semacamnya, kita perlu mengoreksi pikiran kita sendiri. Apakah kita benar-benar mengenalnya, ataukah kita hanya terpedaya oleh nafsu menghakimi orang lain?

Related

Hoeda's Note 5806172595533514220

Posting Komentar

  1. Dan yang membuat saya semakin terkejut, saat vincent dan desta cerita di podcastnya, kalau Desta itu orang liar, sedangkan Vincet justru orang rumahan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh, malah "kebalikan" gitu ya? Saya juga baru tahu.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item