Berhenti Berharap Pada Orang Lain

Ilustrasi/pixabay.com
Di catatan kemarin, saya menyatakan bahwa kalau kamu pria, dan tertarik pada seorang wanita, lalu menyatakan cinta dan ditolak, sebaiknya berhentilah. Pernyataan itu merupakan pandangan pribadi, yang didukung pengetahuan yang saya pelajari. Meski begitu, dalam kasus-kasus tertentu, bisa jadi ada wanita yang memang menolak pria karena ingin “menguji”, atau semacamnya. Tidak menutup kemungkinan hal seperti itu terjadi, dan catatan saya tentu tidak ditujukan untuk menggeneralisasi.

Terlepas dari hal itu, saya memilih untuk berhenti, jika sewaktu-waktu menyatakan cinta pada seorang wanita, dan dia menolak. Saya benar-benar akan berhenti. Tidak akan mengganggunya, tidak akan berusaha mendekatinya lagi, intinya move on dan melanjutkan hidup saya sendiri. Kalau kemudian ternyata wanita itu menolak saya karena ingin “menguji” atau semacamnya, ya itu risiko dia. Saya kan tidak tahu.

Maksud saya begini. Ketika saya mendekati dan menyatakan cinta pada seorang wanita, saya benar-benar jujur. [Lagian aneh aja kalau ada orang nge-prank dengan menyatakan cinta, kan?] Karena saya mendekati dan menyatakan cinta dengan jujur, saya juga akan menganggap respons atau tanggapan si wanita sebagai kejujuran. Artinya, jika dia menerima atau tidak, saya akan anggap itu jawaban yang jujur. Kalau kemudian dia ternyata tidak jujur—misal menolak tapi ternyata bermaksud menguji atau semacamnya—ya itu risiko dia, karena tidak jujur.

Jadi, saya akan berhenti begitu mendapat jawaban penolakan. Jangankan sampai jawaban penolakan, wong mendapat respons yang kurang positif saja sudah membuat saya sadar diri, dan memilih untuk tidak meneruskan pendekatan.

Kalau saya sampai ditolak, saya tidak akan “kepedean” dengan menganggap bahwa dia menolak saya karena ingin menguji atau semacamnya. Karena, kalau saya kepedean dan terus berusaha mendekati, saya khawatir malah akan membuatnya terganggu atau tidak nyaman. Iya kalau dia memang menolak karena ingin menguji. Tapi bagaimana kalau tidak? Sekali lagi, saya kan tidak bisa tahu pasti. Karena itu, daripada berspekulasi dan malah membuat dia terganggu atau tidak nyaman, saya memilih untuk berhenti.

Makin dewasa, saya makin menyadari, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk sama dengan kita, atau berharap orang lain menerima kita. Jadi, alih-alih menujukan pandangan ke orang lain—berharap apalagi sampai memaksa orang lain menerima—saya memilih untuk menujukan pandangan ke diri sendiri. Kalau orang lain mau menerima saya, ya silakan, kalau tidak ya tidak apa-apa. 

Belakangan, prinsip sederhana itu membuat hidup saya lebih tenteram.

Jangankan menyatakan cinta pada seorang wanita, yang menimbulkan konsekuensi serius—yaitu hubungan/komitmen yang mengarah pada perkawinan—wong untuk hal-hal sepele pun, saya berusaha untuk tidak lagi berharap apalagi memaksakan apa pun pada siapa pun. Keinginan adalah sumber penderitaan, kata para filsuf, yang juga dinyanyikan Iwan Fals. Sebenarnya, kalimat itu kurang lengkap. Selengkapnya, “Keinginan pada orang lain adalah sumber penderitaan.”

Memiliki keinginan adalah bagian integral setiap orang, dan itu sunnatullah. Orang gemuk ingin kurus, misalnya. Atau orang miskin ingin kaya. Keinginan-keinginan semacam itu hampir tak bisa dilepaskan dari setiap manusia, dan itu sah-sah saja. Bahkan, dengan adanya keinginan, manusia mengenal usaha, ikhtiar, dan doa. Keinginan-keinginan pribadi semacam itu juga meningkatkan motivasi hidup, menguatkan semangat kita dalam belajar dan bekerja, membantu kita untuk terus tumbuh. Itu jenis keinginan yang berdampak positif bagi masing-masing pribadi.

Tetapi memiliki keinginan pada orang lain, sering kali menjadi sumber penderitaan dan masalah. Baik bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain yang terkait dengan keinginan kita. Dalam contoh tadi, saya menyatakan cinta pada seorang wanita; artinya, saya punya keinginan untuk menjadikan dia sebagai pasangan saya. Jika dia menerima, saya tentu bahagia. Tapi jika dia menolak... apa yang akan saya rasakan jika dia menolak?

Jawabannya tergantung pada sikap saya sendiri. Jika dia menolak, dan saya berhenti, lalu melanjutkan hidup saya sendiri, masalah selesai. Saya tetap hidup tenang, dia juga tetap damai. Tapi jika saya tidak bisa menerima kenyataan (penolakan) itu, dan terus mengejarnya sambil berharap dia menerima saya, masalah dimulai. Hidup saya tidak akan tenang karena berusaha mengejar-ngejar seseorang, dan hidup wanita itu juga tidak akan tenang karena merasa terganggu ulah saya.

Ketika menyadari kenyataan semacam itu, saya menerapkan prinsip pribadi untuk tidak lagi berharap apa pun, pada siapa pun. 

Dalam keseharian, misalnya, saya kadang punya rencana ke suatu tempat, dan mengajak seorang teman. Kalau teman yang diajak bersedia, saya senang. Kalau ternyata dia tidak bersedia, apa pun alasannya, ya tidak apa-apa—saya akan berangkat sendiri. Dan saya tetap senang, karena sejak awal tidak terlalu berharap.

Di lain waktu, saya ingin mengerjakan sesuatu, dan mengajak seseorang untuk mengerjakan bersama. Kalau dia bersedia, saya senang. Kalau ternyata dia tidak bersedia, ya tidak apa-apa. Saya akan tetap mengerjakannya, meski sendirian. Dan saya tetap akan senang, karena intinya adalah mengerjakan sesuatu yang ingin saya kerjakan, bukan apakah ada teman yang membantu atau tidak.

Jadi, jangankan menyatakan cinta pada seorang wanita—yang jelas melibatkan perasaan mendalam orang lain—wong untuk hal-hal sepele seperti itu pun saya tidak terlalu berharap. Jangankan berharap kamu jadi pacar saya, wong sekadar jadi temanmu pun, saya tidak terlalu berharap. Kamu mau berteman dengan saya, ya silakan. Kamu tidak mau berteman dengan saya, juga tidak apa-apa. Intinya saya tidak ingin [terlalu] berharap.

Hal semacam itu telah jadi prinsip pribadi saya, dan prinsip sederhana itu telah membantu hidup saya jauh lebih tenang dan tenteram. Saya telah sampai pada kesadaran bahwa semakin sedikit kita berharap pada orang lain, semakin baik dan semakin tenang hidup kita. Sebaliknya, semakin banyak kita berharap pada orang lain, kita lebih sering sedih dan kecewa. Karena keinginan [pada orang lain] adalah sumber penderitaan.

Banyak orang, entah mereka sadar atau tidak, menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Mereka ingin orang lain begini dan begitu, mereka ingin orang lain melakukan sesuatu seperti yang mereka inginkan, mereka ingin orang lain sama dengan mereka, dan lain-lain. Ketika orang lain tidak melakukan hal-hal yang mereka inginkan, ketika orang lain tidak sama dengan mereka, atau ketika orang lain menjalani hidupnya sendiri dengan cara berbeda, mereka sedih dan kecewa. Kalau kita termasuk orang semacam itu, kita sedang menyusahkan diri sendiri.

Sering kali, yang menyusahkan pikiran kita sebenarnya bukan orang lain, tapi harapan kita terkait orang lain. Karenanya, jika orang lain menjalani hidupnya sendiri yang berbeda dengan saya, dan dia tidak mengganggu atau merugikan siapa pun, saya tidak akan merisaukan apalagi meributkannya. Masing-masing orang punya kehidupan sendiri, dan saya tidak tahu seperti apa hidupnya. Kenapa saya merasa punya hak untuk mengatur-atur bagaimana dia hidup?

Memang, ada suatu masa ketika saya begitu naif, berharap orang lain memenuhi keinginan, harapan, atau bahkan khayalan saya. Tetapi saya tidak mendapatkan apa pun dari hal itu, selain kekecewaan dan patah hati. Sebaliknya, ketika saya melepaskan keinginan apa pun pada orang lain, hidup saya jauh lebih baik dan lebih tenteram. Pada akhirnya, saya menyadari, kebahagiaan hidup saya bukan tanggung jawab orang lain, tapi pilihan dan tanggung jawab saya sendiri.

Related

Hoeda's Note 5646505082838441483

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item