Benarkah Pria Selalu Anak-anak dan Wanita Selalu Pengasuh?

Ilustrasi/cnnindonesia.com
Konon, laki-laki, dalam usia berapa pun, tetap memiliki jiwa anak-anak. Sementara wanita, di usia berapa pun, memiliki jiwa seorang pengasuh. Benarkah?

Pandangan terkait laki-laki dan wanita memiliki karakteristik tertentu, berdasarkan jenis kelamin mereka, telah lama diperdebatkan dalam disiplin psikologi dan filsafat. Namun, pandangan ini secara umum dianggap sebagai generalisasi yang terlalu luas dan tidak selalu berlaku untuk setiap individu.

Kita harus memahami bahwa pandangan yang didasarkan pada stereotipe gender mungkin tidak sepenuhnya akurat atau mencerminkan keragaman individu. Selain itu, sifat dan karakteristik yang terkait dengan pengasuhan dan permainan bukanlah karakteristik yang khusus dimiliki wanita atau laki-laki, tetapi lebih merupakan hasil dari pengalaman hidup dan lingkungan sosial individu.

Sebagai contoh, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam hal kecenderungan untuk menjadi pengasuh lebih banyak disebabkan faktor budaya dan sosial daripada faktor biologis. Pendidikan dan lingkungan keluarga dapat mempengaruhi bagaimana seseorang memandang peran pengasuhan, dan orang dapat belajar mengembangkan kemampuan pengasuhan dalam situasi yang berbeda.

Selain itu, pandangan yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki jiwa anak-anak juga terlalu menggeneralisasi. Meskipun beberapa karakteristik seperti minat pada permainan dan aktivitas fisik mungkin lebih sering terkait dengan laki-laki, itu tidak berarti bahwa laki-laki tidak bisa memiliki sikap dan perilaku yang matang dan bertanggung jawab. 

Begitu juga dengan pernyataan bahwa wanita memiliki jiwa pengasuh, karena ada banyak wanita yang tidak memiliki minat atau kemampuan untuk melakukan pengasuhan.

Dalam psikologi, konsep pengasuhan dan permainan dianggap sebagai dimensi yang terkait dengan kepribadian individu, yang mempengaruhi bagaimana seseorang berinteraksi dengan dunia di sekitarnya. Namun, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat perbedaan kepribadian ini sebagai spektrum yang luas, dan bukan karakteristik yang terpisah dan kaku berdasarkan jenis kelamin.

Dalam rangka memperluas pemahaman tentang peran gender dan karakteristik yang terkait, penting untuk mempertimbangkan hasil penelitian terbaru dan melihat individu sebagai unik dan kompleks. Sifat-sifat yang dianggap sebagai karakteristik "jiwa anak-anak" dan "jiwa pengasuh" pada laki-laki dan wanita, bisa saja merupakan hasil dari banyak faktor, seperti pengalaman hidup, lingkungan sosial, atau karakteristik kepribadian yang lebih kompleks.

Selain itu, pandangan yang menggeneralisasi bahwa laki-laki memiliki jiwa anak-anak dan wanita memiliki jiwa pengasuh juga dapat menghambat kemajuan dan perkembangan individu. Ketika kita mengaitkan karakteristik tertentu dengan jenis kelamin, kita cenderung mempersempit potensi dan kemampuan seseorang. Hal ini dapat menghasilkan stereotipe gender yang merugikan, seperti ketika seorang wanita dianggap tidak mampu menjadi pemimpin, atau seorang pria dianggap tidak mampu melakukan perawatan anak.

Bahkan dalam konteks historis, banyak wanita yang telah menunjukkan kemampuan mereka dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang kompleks, sedangkan banyak pria yang sangat ahli dalam pengasuhan anak-anak. Kita tidak boleh membatasi potensi dan kemampuan seseorang berdasarkan jenis kelamin mereka.

Lebih lanjut, pandangan bahwa laki-laki memiliki jiwa anak-anak dan wanita memiliki jiwa pengasuh juga dapat menimbulkan bias dalam pemilihan karier dan pilihan hidup individu. Jika seorang pria percaya bahwa dia harus mempertahankan "jiwa anak-anak" dalam dirinya, ia mungkin cenderung memilih pekerjaan atau aktivitas yang dianggap lebih "bermain-main" atau "berpetualang" daripada pekerjaan yang dianggap lebih serius atau bertanggung jawab. 

Sementara jika seorang wanita dianggap harus memiliki "jiwa pengasuh", ia mungkin cenderung memilih karier atau kehidupan yang dianggap lebih sesuai untuk memenuhi peran pengasuh, tanpa mempertimbangkan pilihan karier atau hidup yang lain.

Jadi, pandangan yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki jiwa anak-anak dan wanita memiliki jiwa pengasuh terlalu menggeneralisasi dan dapat menghambat perkembangan individu, serta menciptakan bias gender yang merugikan. 

Sebagai gantinya, kita harus mempertimbangkan individu sebagai unik dan kompleks, dan mengakui bahwa karakteristik kepribadian seperti pengasuhan dan permainan tidak bergantung pada jenis kelamin seseorang. Kita harus berusaha memahami individu secara lebih holistik, dan membebaskan mereka dari stereotipe gender yang sempit.

Hmm... ada yang mau menambahkan?

Related

Psikologi 780309014686624861

Posting Komentar

  1. Mungkin untuk kebanyakan wanita yang (merasa) dewasa, dia merasa jadi pengasuh.

    Dalam kasusku agak beda sih. Aku dan istri selalu merasa kami adalah anak-anak dan masih muda. Bahkan untuk hal remeh, aku dan istri bisa bertengkar kayak anak kecil, lalu baikan. Ga tahu diri banget yah, padahal udah umur 30++.

    Aku mensugesti diriku masih muda, sekitar umur 17 tahun. Ini penting agar aku tetap semangat belajar. Meskipun kadang aku harus menyadari bahwa udah muncul cukup banyak uban di kumisku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di lingkungan pergaulanku, sering kali yang terjadi emang gitu, John. Pihak wanita (istri) itu emang kayak pengasuh suaminya. Makanya aku sendiri, secara pribadi ya, berpikir kalau memang begitu kenyataannya.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item