Mengapa Orang Bikin Ketupat dan Opor Saat Lebaran?

Ilustrasi/hipwee.com
Hampir bisa dipastikan, di rumahmu ada opor ayam dan lontong atau ketupat saat hari raya Idul Fitri. Itu sudah jadi tradisi lebaran di Indonesia. Hingga banyak dari kita yang merasa “kurang” kalau tidak ada ketupat dan opor ayam di hari lebaran. Lucunya, banyak pula dari kita yang sudah eneg makan opor di hari kedua lebaran, lalu kelayapan cari makanan yang “segar” semisal bakso. 

Itu pula yang saya alami. Hari pertama lebaran, saya di rumah orang tua, dan di sana ada opor, ketupat, juga lontong. Plus sambal goreng hati. Seharian saya makan ketupat dan opor. Besoknya, hari lebaran kedua, saya sudah tidak mampu lagi makan opor, dan ingin yang segar-segar. Maka saya pun kelayapan mencari tempat makan yang sekiranya menyediakan makanan yang tidak bikin eneg.

Karena masih hari lebaran, tempat-tempat makan langganan saya kebanyakan masih tutup. Waktu mencari bakso, hampir semua tempat bakso padat luar biasa. Sepertinya, kalau dipikir-pikir, makanan khas lebaran di Indonesia bukan ketupat dan opor ayam, tapi bakso! Karena banyak orang hanya makan opor dan ketupat di hari pertama lebaran, setelah itu rutin makan bakso.

Setelah lama kelayapan mencari tempat makan yang tak terlalu ramai, akhirnya saya masuk warung pecel lele.

Usai makan, saya mikir, kenapa orang-orang harus repot bikin opor ayam dan lontong atau ketupat, kalau pada akhirnya malah kerepotan mencari makanan lain?  

Di catatan sebelumnya, kita memahami bahwa sungkem atau maaf-maafan di hari lebaran adalah bagian dari tradisi atau budaya, bukan ajaran agama yang disyariatkan. Begitu pun mengecat rumah atau memakai baju baru di hari raya, itu juga bagian dari tradisi atau budaya, khususnya budaya Indonesia. Bagaimana dengan lontong, ketupat, dan opor ayam?

Sebenarnya, itu pun bagian dari budaya!

Esensi Idul Fitri, sebagaimana yang telah dijelaskan di catatan sebelumnya, adalah hari raya untuk menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa Ramadan. Artinya, di hari lebaran, kita memang disarankan untuk bikin makanan yang enak untuk dinikmati di hari raya. Tapi apa pun makanannya, bebas saja. Terserah, sesuai selera.

Lalu kenapa masyarakat di Indonesia rata-rata bikin ketupat, lontong, dan opor ayam? Jawabannya kembali ke sejarah dan akulturasi yang memperkenalkan Islam ke masyarakat Nusantara. 

Di masa lalu, Indonesia belum semakmur sekarang, dalam arti masyarakat di zaman dulu menikmati makanan yang jauh lebih sederhana dibanding rata-rata masyarakat sekarang. Seperti opor ayam, misalnya. Bagi rata-rata orang zaman kita, opor ayam itu biasa saja. Kasarnya, rata-rata kita mau makan opor ayam saban hari juga bisa. Wong banyak yang jual di mana-mana.

Tetapi, di zaman dulu, opor ayam adalah makanan mewah. Sebegitu mewah, hingga kebanyakan masyarakat belum tentu bisa menikmatinya sebulan sekali. Sunan Kalijaga, salah satu penyebar Islam di zaman itu, melihat kenyataan tersebut, dan menyarankan orang-orang untuk memasak opor ayam sebagai makanan di kala lebaran. Sebagai pelengkap, Sunan Kalijaga juga menyarankan lontong atau ketupat untuk dimakan bersama opor ayam.

Mengapa harus opor ayam dengan lontong atau ketupat? Sunan Kalijaga memasukkan filosofi ke dalam makanan-makanan tersebut, dan kalian bisa mencarinya sendiri di internet, karena sudah banyak yang menjelaskan. Intinya, dari situlah kemudian masyarakat muslim di Indonesia menjadikan lontong, ketupat, dan opor ayam sebagai makanan khas lebaran.

Jadi, membuat opor ayam dan menikmati ketupat di hari lebaran adalah bagian dari budaya Nusantara. Karena bagian dari budaya, kita boleh mengikutinya, juga boleh tidak.

Maksud saya begini. Esensi Idul Fitri adalah menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa. Namanya “menikmati makanan”, tentunya kita bebas makan apa saja yang kita sukai, dan tidak harus opor ayam dengan ketupat. Kalau kita suka sayur sop, misalnya, ya tidak apa-apa membuat sayur sop untuk merayakan lebaran. Wong kita juga yang makan! Artinya, bikin opor ayam dan ketupat di saat lebaran bukan kewajiban, tapi hanya sekadar budaya.

Tolong dicatat. Saya tidak melarang atau menyalahkan siapa pun yang bikin opor ayam dan ketupat di saat lebaran. Itu hak masing-masing orang. Lagi pula, kalau kamu bikin opor ayam dan ketupat, kamu juga yang akan makan.

Saya menulis catatan ini, karena seringnya mendapati “keluhan” di Twitter dari orang-orang yang merasa eneg karena harus makan opor ayam di hari lebaran. Dari tahun ke tahun, keluhan semacam itu selalu muncul. Nyatanya, kita semua juga mengalami hal sama, kan? Sehari dua hari makan opor ayam mungkin masih enak-enak saja. Tapi masuk hari ketiga dan seterusnya, kita sudah ingin “yang segar-segar”. Makanya warung bakso di mana pun pasti padat tiap kali lebaran.

Jadi, saya pikir, daripada kita menyiksa diri dengan makan opor di kala lebaran, karena sudah beli ayam dan repot-repot memasak, kenapa kita tidak bikin makanan yang benar-benar kita sukai saja?

Yang suka ikan bakar, misalnya, ya buat saja ikan bakar sebagai sajian makanan di kala lebaran. Yang suka sayur asem, juga bisa membuat sayur asem sebagai makanan istimewa di hari lebaran. Itu jauh lebih baik, daripada memaksa diri bikin opor ayam, lalu ngeluh “eneg-eneg”, lalu kelayapan mencari makanan lain yang lebih segar.

Hal-hal seperti ini terjadi di Indonesia, karena agama Islam masuk ke Nusantara melalui akulturasi. Ajaran agama masuk atau dimasukkan ke dalam tradisi dan budaya, hingga keduanya saling bercampur bahkan saling mempengaruhi. Hasilnya, kita—orang-orang di masa kini—kadang kesulitan memilah mana yang syariat agama dan mana yang bagian dari tradisi atau budaya. Sebenarnya itu tidak masalah, asal tidak memaksa diri dan tidak memaksa orang lain.

Seperti tradisi maaf-maafan di hari raya. Itu bagian dari budaya, bukan ajaran agama—dalam arti agama tidak mewajibkan umatnya untuk maaf-maafan di hari lebaran. Karenanya, kalau ada yang maaf-maafan di hari lebaran, ya monggo. Dan kalau ada yang tidak maaf-maafan di hari lebaran, ya tidak apa-apa. Masalah mulai terjadi, ketika kita memaksa diri—atau bahkan memaksa orang lain—untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya, sesuatu yang sebenarnya hanya budaya, seperti diubah jadi kewajiban agama.


Begitu pula dengan membuat opor ayam, lontong, dan ketupat, di hari lebaran. Itu hanya tradisi. Karena merupakan tradisi, orang boleh melakukannya, juga boleh tidak melakukannya. Kalau memang kurang menyukai masakan yang bikin eneg semisal opor ayam, tidak apa-apa kalau misal bikin sayur asem atau lalapan di hari lebaran. Intinya tidak perlu memaksa diri, juga tidak perlu memaksa orang lain, karena hanya sekadar tradisi.

Sering kali saya berpikir, agama mengajarkan kesederhanaan, tapi kita mengubahnya hingga jadi rumit, bahkan memberatkan. Agama mengajarkan bahwa Idul Fitri adalah hari raya untuk menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa Ramadan. Sudah, hanya itu. Karena dimaksudkan sebagai hari raya untuk menikmati makanan, kita bebas membuat makanan apa saja, yang kita sukai. Sederhana, kan?

Tapi kita mengubah hari raya yang sederhana hingga jadi rumit, bahkan memberatkan. Pertama, kita memaksa diri masak opor ayam di rumah, dan memakannya dengan lontong atau ketupat. Lalu mengeluh “eneg-eneg” karena terus menerus makan opor. Lalu kelayapan ke mana-mana untuk mencari makanan lain. Itu pun belum selesai. Kita juga memaksa diri untuk pergi ke mana-mana untuk maaf-maafan, sekaligus “memaksa” orang-orang lain untuk melakukan hal sama.

Kita telah mengubah lebaran atau hari raya, hingga melenceng dari tujuan sebenarnya. Kita bahkan menjauhkan esensi Idul Fitri dari ajaran agama sesungguhnya. 

Idul Fitri, sesuai yang dimaksud ajaran agama, hanya menyuruh kita untuk menikmati makanan di rumah, dengan makanan apa pun yang kita sukai. Sudah, hanya itu. Kita tidak perlu memaksa diri untuk masak makanan yang belum tentu kita suka, lalu keluyuran ke mana-mana karena mencari “makanan yang segar”. Kita juga tidak perlu kelayapan ke mana-mana untuk “maaf-maafan” di hari lebaran, karena agama tidak mewajibkan. 

Kita telah mengubah sesuatu yang mestinya sederhana dan mudah, jadi sesuatu yang rumit sekaligus memberatkan.

Kelak, jika punya keluarga sendiri, saya akan membiasakan keluarga saya dengan hal ini, khususnya terkait budaya lebaran. Pertama, saya tidak akan memaksa pasangan dan anak-anak saya untuk minta maaf di hari lebaran. Saya akan membiasakan kami meminta maaf kapan pun merasa bersalah, terlepas lebaran atau bukan lebaran. Kedua, saya tidak akan memaksa pasangan saya bikin opor ayam dan ketupat di hari lebaran. Dia bebas mau masak apa pun, asal keluarga kami suka.

Sebenarnya, saya lebih suka masakan berbahan sayur dan ikan-ikanan. Jadi, kalau kelak pasangan saya setuju, hari pertama lebaran mungkin kami akan menikmati sayur sop, dengan tempe goreng dan emping. Hari lebaran kedua, kami akan menikmati pecel lele dan lalapan. Hari lebaran ketiga, kami akan menikmati sayur lodeh dengan ikan goreng. Dan begitu seterusnya, hingga kami tidak perlu kelayapan mencari makanan lain di luar rumah. 

Idul Fitri adalah “hari raya untuk menikmati makanan”. Artinya, kami harus benar-benar menyukai makanan yang kami nikmati selama lebaran, bukan malah menyiksa diri dengan makan makanan yang tidak disukai. 

Jadi, kalau misal keluargamu bikin opor ayam di hari lebaran, tapi tetanggamu malah bakar ikan, ya tidak apa-apa. Tak perlu dianggap aneh apalagi disalah-salahkan, wong dia juga yang mau makan!

Related

Keislaman 4029274274809476001

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item