Mengapa Amangkurat I Membantai 6.000 Ulama?

Ilustrasi/jejaktapak.com
Amangkurat I memiliki nama lahir Raden Mas Sayyidin, dan dia adalah putra Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Kerajaan Mataram Islam. Amangkurat I lahir pada 1619 dari permaisuri kedua, bernama Raden Ayu Wetan. Dia adalah cicit Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram.

Ketika Sultan Agung wafat, tahta Mataram jatuh pada Amangkurat I. Namun, berbeda dengan ayahnya yang memimpin Mataram dengan cerdas dan bijaksana, Amangkurat I memimpin Mataram dengan tangan besi. Di masa pemerintahan Amangkurat I itulah, Kerajaan Mataram memasuki masa-masa kelam, ketika semua orang—dari kalangan pejabat sampai rakyat jelata—merasa waswas, khawatir, bahkan ketakutan.

Pasalnya, seperti yang disebut tadi, Amangkurat I memimpin kerajaan dengan tangan besi. Siapa pun bisa menjadi korban jika dia merasa tidak cocok atau tidak suka. Faktanya, Amangkurat I tega membunuh adik dan ayah mertuanya sendiri, demi melanggengkan kekuasaannya.

Babad Tanah Jawi merekam masa-masa suram itu dengan catatan, “Pada saat itu perilaku Sri Baginda berbeda dari yang biasa; sering menghukum dengan keras, dan terus-menerus melakukan kekejaman.”

Sementara Serat Jaya Baya menggambarkan Amangkurat I sebagai “Kalpa sru semune kenaka putung (masa kelaliman yang dimetaforakan dengan kuku yang putus). “Masa lalim” artinya kekejaman pemerintahan raja, dan “kuku yang putus” maksudnya banyak panglima yang dibunuh. 

Puncak kekejaman Amangkurat I terjadi pada 1647, atau dua tahun setelah Sultan Agung wafat. Di alun-alun Plered, Mataram, Amangkurat I memerintahkan bawahannya untuk membantai semua ulama yang ada di wilayah Kerajaan Mataram. Jumlah ulama yang menjadi korban kekejaman itu mencapai 6.000 orang, ditambah anggota keluarga mereka yang turut dibantai. 

Yang mengerikan, pembantaian besar-besaran itu hanya butuh waktu 30 menit. Alun-alun Plered seketika banjir darah.

Bagaimana peristiwa itu terjadi, dan mengapa Amangkurat I sampai tega melakukannya?

Peristiwa itu diawali dua hari sebelumnya, ketika adik Amangkurat I, yaitu Raden Mas Alit, mencoba melakukan kudeta untuk menjatuhkan Amangkurat I dari tahta Mataram. Aksi kudeta itu gagal, dan Raden Mas Alit tewas dalam pertempuran melawan pasukan Amangkurat I.

Meski berhasil menumpas kelompok yang bermaksud melakukan kudeta, bahkan telah membunuh adiknya sendiri, Amangkurat I menganggap itu belum selesai. Ia ingin memastikan semua orang yang bersekongkol dengan adiknya harus dihabisi, dan sejak itulah dia mulai mencari siapa saja orang-orang yang sekiranya berpihak pada adiknya. Pencarian itu merujuk pada para ulama yang ada di Mataram.

Dilatari kecurigaan bahwa para ulama di Mataram berpihak pada adiknya, Amangkurat I pun merencanakan pembantaian pada semua ulama yang ada di kerajaannya. Dalam perencanaan itu, Amangkurat I ingin melakukan pembalasan dendam, tapi dia tidak ingin orang tahu bahwa dialah perencananya.

Maka, Amangkurat I lalu menunjuk empat pembesar Mataram, dan mereka diberi tugas untuk menjalankan rencana tadi. Empat pembesar yang ditunjuk itu adalah Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra. Mereka berempat diperintahkan untuk bergerak ke empat penjuru mata angin untuk melancarkan pembantaian ini. 

Menurut sejarawan H.J. de Graaf, dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961), Amangkurat I juga berpesan agar tidak ada satu ulama pun yang lolos dari pembantaian tersebut. Semua anggota keluarga para ulama itu juga harus disertakan dalam pembantaian, agar “para pengkhianat bisa dilibas dalam sekali pukul”.

Ketika hari pelaksanaan eksekusi tiba, orang-orang kepercayaan empat pembesar tadi telah disebar ke empat penjuru mata angin, dan mereka menggiring para ulama serta keluarganya ke alun-alun. Aba-aba dimulainya aksi pembunuhan massal itu ditandai dengan letusan meriam dari istana. Berkat persiapan matang, eksekusi berjalan lancar. Dan terjadilah peristiwa mengerikan itu. Enam ribu ulama dan anggota keluarga mereka tewas ditikam para serdadu yang dipimpin empat pembesar kepercayaan Amangkurat I. Semua itu terjadi hanya dalam waktu 30 menit!

Rijcklof van Goens, sejarawan di zaman VOC yang menyaksikan peristiwa itu, menulis dalam catatannya, “Belum setengah jam berlalu setelah terdengar bunyi meriam, 5 sampai 6 ribu jiwa dibasmi dengan cara yang mengerikan.” 

Selama aksi pembunuhan itu berlangsung, Amangkurat I mengurung diri di istana. Dia bertingkah seolah tidak mengetahui apa yang terjadi di luar istana. Besoknya, satu hari setelah pembantaian massal itu, dia tampil di muka umum dengan pura-pura terkejut dan marah.

Sejarawan van Goens mencatat, “Selama satu jam di depan para pejabat, tidak satu patah kata pun terucap dari mulutnya. Semua orang yang hadir pun diam dan suasana kian mencekam. Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang wajah Raja.” 

Seperti yang telah disebut tadi, Amangkurat I ingin tidak ada orang yang tahu bahwa dialah yang merencanakan aksi pembantaian pada ribuan ulama tersebut. Jadi, Amangkurat I menuduh para ulama yang dibantai di alun-alun itu sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas kematian Raden Mas Alit, dan ia lalu memaksa delapan pejabat untuk mengaku bahwa mereka telah merencanakan kudeta terhadapnya. Delapan pejabat itu beserta anggota keluarganya lalu dibantai.

Bagaimana nasib Kerajaan Mataram setelah itu?

Di bawah kepemimpinan Amangkurat I, kejayaan Mataram perlahan-lahan pudar. Amangkurat I benar-benar berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung. Jika Sultan Agung menghadapi masalah dengan kearifan seorang raja, Amangkurat I menghadapi masalah dengan kebrutalan seorang penguasa. Sifat-sifat baik yang dimiliki Sultan Agung sebagai raja tampaknya tidak terwarisi oleh Amangkurat I.

Sejarawan Merle Calvin Ricklefs, dalam buku War, Culture, and Economy in Java 1677-1726 (1993) menulis, “Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai.” Amangkurat I, menurut Ricklefs, tidak memperhatikan keseimbangan dalam berpolitik, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam pemerintahan Jawa abad ke-17. 

Dalam babad-babad tradisional, tindakan gelap mata seorang penguasa adalah pertanda datangnya masa kegelapan sebuah negara. Pujangga Yasadipura dalam Serat Rama (1770) menjelaskan bahwa seorang raja yang menuruti nafsu amarah tak terkendali hanya karena ingin dipatuhi dan ditakuti, pada akhirnya akan dikutuk. 

Amangkurat I akhirnya mendapat “kutukan” itu, dan Kerajaan Mataram akhirnya runtuh. Saat rakyat hingga para pejabat menjalani hidup dengan waswas dan khawatir, mereka kehilangan cinta pada rajanya. Perlahan namun pasti, Amangkurat I hanya menjadi raja, namun sebenarnya tak lagi berkuasa.

Kekuasaan Amangkurat I semakin melemah seiring menguatnya pengaruh VOC yang menggerus basis ekonomi Mataram. Akhirnya, pada awal 1677, ketika seorang pangeran dari Madura, yaitu Trunajaya, melancarkan serangan ke Mataram, kerajaan yang pernah jaya itu pun tamat. Amangkurat I dan keluarganya melarikan diri, dan meminta perlindungan VOC.  

Hmm... ada yang mau menambahkan?

Related

Tokoh 2750100992308309185

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item