Idul Fitri, Antara Ajaran Agama dan Warisan Budaya
https://www.belajarsampaimati.com/2023/04/idul-fitri-antara-ajaran-agama-dan.html
Ilustrasi/detik.com |
Kesenian dan kebudayaan adalah salah satu sarana yang mengenalkan orang-orang Nusantara pada ajaran Islam, yang belakangan melebur sebagai akulturasi. Pihak yang paling terkenal menggunakan jalur kesenian dan kebudayaan dalam mengenalkan Islam adalah Walisongo, melalui media wayang.
Wayang adalah seni budaya Nusantara yang telah berusia tua, sehingga akrab dengan masyarakat, dan dianggap sebagai hiburan rakyat. Walisongo menggunakan wayang untuk mengenalkan ajaran Islam, agar lebih mudah diterima. Dalam hal ini, wayang adalah bagian dari budaya. Sementara pesan-pesan keagamaan yang disampaikan Walisongo dalam pewayangan adalah bagian dari ajaran agama.
Islam masuk ke benak dan kehidupan masyarakat Nusantara melalui akulturasi. Karenanya, kita harus memahami hal ini lebih teliti, agar bisa membedakan mana yang bagian dari budaya, dan mana yang bagian dari ajaran agama. Karena, tanpa pemahaman terhadap hal ini, kita akan terjebak dalam ketidaktahuan antara mana yang budaya dan mana yang agama. Seperti perayaan Idul Fitri, misalnya.
Idul Fitri, sebagai hari raya, adalah bagian dari ajaran Islam. Tetapi, cara orang Indonesia merayakan Idul Fitri adalah bagian dari budaya. Sebegitu penting hal ini, hingga saya merasa perlu mengulangi dengan cetakan tebal. Idul Fitri, sebagai hari raya, adalah bagian dari ajaran Islam. Tetapi, cara orang Indonesia merayakan Idul Fitri adalah bagian dari budaya.
Di Indonesia, Idul Fitri dimulai dengan menyerahkan zakat fitrah (yang umumnya berupa beras) sebelum shalat Ied. Sebelumnya, sebagian masyarakat mengecat atau memperbarui rumah. Di hari lebaran, orang-orang memakai pakaian baru, sementara di rumah ada masakan yang umumnya lontong, ketupat, dan opor ayam. Setelah shalat Ied, masyarakat di Indonesia saling sungkem dan maaf-maafan, dengan orang-orang terdekat hingga kerabat jauh, yang umum disebut silaturrahmi.
Dari paragraf itu saja, bisakah kita membedakan mana yang bagian dari budaya, dan mana yang bagian dari ajaran agama?
Rata-rata orang, khususnya umat Islam, tidak bisa membedakan mana yang bagian dari agama dan mana yang bagian dari budaya, karena menganggap semua itu—yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya—adalah bagian dari ajaran agama. Ini kekeliruan umum yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, dan terus diwariskan dari waktu ke waktu.
Padahal, dari uraian paragraf di atas, yang merupakan ajaran agama hanya zakat fitrah dan shalat Ied. Bikin makanan enak di rumah juga termasuk bagian dari ajaran agama, kalau mau dimasukkan. Sementara yang lain—dari mengecat atau memperbarui rumah, memakai baju baru, sampai sungkem dan maaf-maafan di hari lebaran—adalah bagian dari budaya.
Sekali lagi, berapa banyak umat Islam di Indonesia yang menyadari hal ini? Selama bertahun-tahun, dalam banyak tulisan di blog, saya menyatakan bahwa para ulama, para ustaz, dan para intelektual muslim di Indonesia, punya utang penjelasan terkait hal ini kepada masyarakat. Bagaimana pun, masyarakat Indonesia harus diberi tahu soal ini, agar mereka benar-benar memahaminya, dan para ustaz hingga para intelektual muslim punya kewajiban moral untuk menjelaskannya.
Jadi, bagaimana “kekacauan” ini bisa terjadi?
Untuk memahami persoalan ini secara komprehensif, pertama-tama kita harus flashback ke masa 2,5 abad yang lalu.
Dua setengah abad yang lalu, Mangkunegara I (lahir 8 April 1725) mendirikan Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian tenggara. Sebagai pemimpin, Mangkunegara I punya kebiasaan melihat keadaan rakyatnya. Setahun sekali, usai shalat Ied pada hari raya Idul Fitri, Mangkunegara I akan menemui rakyatnya di desa-desa, menyambangi para punggawa dan bawahannya—bukan untuk meminta maaf, tapi untuk melihat keadaan rakyatnya.
Kebiasaan itu terus dilakukan setiap tahun, pada hari lebaran, sehingga para bawahan dan rakyat Mangkunegaran di masa itu hafal kebiasaan raja mereka. Karenanya, setiap kali lebaran, rakyat Mangkunegaran akan bersiap-siap menyambut kedatangan sang Raja, dan mereka bergembira saat melihatnya.
Karena menyadari raja akan datang, rakyat pun menyiapkan segalanya, termasuk rumah yang diperbaiki atau dicat warna baru, memakai baju baru atau yang pantas, sampai menyiapkan makanan, minuman, serta jajan di rumah. [Inilah yang belakangan diwarisi turun temurun oleh masyarakat Indonesia, ketika hari lebaran akan datang. Mereka mengecat atau memperbarui rumah, juga memakai baju baru, untuk menyambut lebaran.]
Sampai kemudian, seiring bertambahnya usia, Mangkunegara I mulai merasa berat melakukan kebiasaan tersebut. Selain karena fisik yang makin lemah, berkeliling ke desa-desa untuk menyambangi rakyat dan bawahan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Akhirnya, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, serta biaya, kebiasaan itu lalu dibalik. Jika sebelumnya sang Raja yang mendatangi bawahan dan rakyatnya, sekarang para bawahan dan rakyat yang mendatangi Raja.
Jadi, sejak itu, setiap usai shalat Ied di hari raya Idul Fitri, rakyat Mangkunegaran—bersama punggawa, prajurit, dan para pejabat lain—berdatangan ke istana, untuk menemui raja mereka. Pada masa itu, Mangkunegara I bersama permaisuri duduk menyambut di balai istana, sementara para bawahan dan rakyat berdatangan, melakukan sungkem, dengan tertib, sopan, sebagaimana sikap rakyat kepada raja. Kebiasaan itu lalu berlangsung setiap tahun, tahun demi tahun. [Inilah asal usul kebiasaan sungkem saat lebaran di kalangan masyarakat Indonesia.]
Setelah kematian Mangkunegara I, kebiasaan itu masih ditiru. Bertahun-tahun kemudian, ketika Republik Indonesia terbentuk, berbagai instansi pemerintah mengadakan acara “halal bihalal” dan “sungkeman” setahun sekali, lalu rakyat—kita semua—meniru. Setahun sekali, usai shalat Ied di hari lebaran, orang-orang saling sungkem, saling maaf-maafan.
Jadi, asal usul sungkem dan maaf-maafan di hari raya Idul Fitri—juga mengecat atau memperbarui rumah dan memakai baju baru di kala lebaran—adalah bagian dari warisan budaya, bukan ajaran agama terkait Idul Fitri.
Yang jadi masalah—dan kenapa hal ini kemudian jadi “benang kusut”—ada kekeliruan terkait pengartian “Idul Fitri” di Indonesia. Entah bagaimana asal usulnya, banyak ulama di Indonesia yang mengartikan “Idul Fitri” sebagai “kembali suci”. Gara-gara kesalahan pengartian inilah, mereka lalu menganggap saling memaafkan di hari lebaran sebagai kewajiban, karena kita telah “kembali suci”.
Biasanya, para ulama menyatakan, kira-kira seperti ini, “Hari raya Idul Fitri adalah hari setelah selesainya bulan Ramadan. Selama satu bulan, umat muslim berpuasa di bulan Ramadan, karena itu mereka kembali suci, kembali kepada fitrah. Untuk menyempurnakan hal itu, kita pun saling bermaaf-maafan di hari lebaran. Karena itulah, Idul Fitri memiliki makna kembali kepada fitri atau kembali suci.”
Padahal, mengartikan “Idul Fitri” sebagai “kembali suci” itu keliru.
Idul Fitri, sebagaimana asal istilah tersebut, memiliki arti “hari raya makanan” (berasal dari kata “Ied” yang artinya “hari raya” dan “Fithr” yang artinya “makan/makanan”). Idul Fitri dimaksudkan sebagai hari raya—untuk bebas menikmati makan dan minum—setelah sebulan berpuasa. Itulah makna Idul Fitri, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan maaf-maafan.
Sayangnya, seperti yang disebut tadi, ada kekeliruan di Indonesia terkait pemaknaan Idul Fitri. Sebagian orang meyakini Idul Fitri sebagai “kembali suci”, karena mengartikan akar kata [bahasa Arab] secara keliru. “Ied” dalam Idul Fitri diartikan “kembali”—dikira berasal dari kata “ya’udu”.
Dalam bahasa Arab, “ya’udu” memang artinya “kembali”. Tapi itu bukan akar kata “Ied” dalam Idul Fitri! Dalam ilmu shorof, “kembali” berasal dari kata “’ada – ya’udu – ‘audatan”. Karenanya, “orang yang kembali” tidak disebut “Ied”, melainkan “Audah”. Sekilas memang terdengar mirip, tapi artinya jauh berbeda!
Yang benar, “Ied” dalam “Idul Fitri” artinya “Hari Raya”. Jika dijamakkan, menjadi “A’yad”. Silakan buka kamus Bahasa Arab jika ingin memastikan! Karenanya, dalam bahasa Arab, Hari Natal disebut “Iedul Milad” (Hari Kelahiran), sementara Hari Kemerdekaan disebut “Iedul Wathan”. Begitu pun, Hari Raya Kurban disebut “Iedul Adha”. Karena “Ied”, nyatanya, memiliki arti “Hari Raya”—bukan “Kembali”.
Omong-omong. Kalau “Ied” diartikan “Kembali”, lalu bagaimana kita mengartikan “Idul Adha”?
Kekacauan berikutnya adalah kata “Fitri” pada “Idul Fitri”. Sebagian orang mengira “fitri” di situ artinya “suci”, padahal bukan! “Fitri” dalam “Idul Fitri” berasal dari kata “Fithr” (tanpa ta’ marbutoh), yang artinya “makan/makanan”. Kata dasar “fithr” inilah yang membentuk kata “fathur” (makan pagi), atau “ifthar” (buka puasa).
Sayangnya, sebagian orang mengira “Fitri” dalam “Idul Fitri” berasal dari kata “Fitrah” (menggunakan ta’ marbutoh). Dalam bahasa Arab, “Fitrah” artinya memang “Suci/Kesucian”, tapi itu bukan asal kata Idul Fitri! [Sila konfirmasikan pada ulama atau intelektual mana pun yang menguasai gramatika bahasa Arab, dan mereka akan membenarkan yang saya katakan.]
Jadi, “Idul Fitri”, sebagaimana asal katanya, memiliki arti “Hari Raya Makanan”, yang dimaksudkan sebagai waktu bebas untuk menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa Ramadan. Karenanya, berpuasa di hari Idul Fitri justru dilarang atau haram dilakukan, karena itu hari untuk menikmati makanan. Karena itu pula, kita diwajibkan berzakat fitrah berupa bahan makanan, untuk memastikan semua umat Islam bisa merayakan Idul Fitri dengan makanan di rumahnya masing-masing.
Kembali ke budaya sungkeman dan maaf-maafan di hari lebaran, yang merupakan warisan budaya Mangkunegara I. Gara-gara adanya kekeliruan pemaknaan Idul Fitri yang diartikan “kembali suci”, budaya sungkem dan maaf-maafan itu lalu merasuk ke umat Islam dengan mudah. Karena mereka menganggap Idul Fitri artinya “kembali suci”. Karena kembali suci, kita perlu maaf-maafan dengan sesama, agar benar-benar bersih dari kesalahan. Kedengarannya bagus, tapi menimbulkan masalah.
Agar kita memahami urusan ini seutuhnya, kita perlu memilah, mana yang warisan budaya dan mana yang ajaran agama.
Berdasarkan uraian tadi, kita melihat bahwa terkait Idul Fitri, yang merupakan ajaran agama hanya zakat fitrah, shalat Ied, dan membuat makanan di rumah! Sudah, hanya itu. Zakat fitrah hukumnya wajib, shalat Ied hukumnya sunah (sebagian ulama menyebutnya fardhu kifayah), sementara membuat makanan di rumah hukumnya suka-suka alias bebas saja.
Nyatanya, hanya itu pula yang dilakukan sejak masa Nabi Muhammad SAW, hingga zaman para sahabat, tabi’in-tabi’at, dan seterusnya. Mereka merayakan Idul Fitri, tapi hanya sebatas berzakat fitrah, shalat Ied, dan membuat makanan di rumah. Tidak ada yang saling sungkem atau maaf-maafan.
Bahkan, di belahan dunia mana pun—selain Indonesia—umat muslim merayakan Idul Fitri dengan cara yang sama seperti yang diajarkan Nabi Muhammad, yaitu sebatas zakat fitrah, shalat Ied, dan menikmati makanan di rumah. Ketika bertemu dengan orang lain, mereka hanya mengatakan, “Selamat Ied.” Sudah. Tidak ada maaf-maafan sambil mengatakan “minal aidin” dan seterusnya.
Hanya masyarakat di Indonesia yang merayakan Idul Fitri dengan sungkem dan maaf-maafan. Dan hal itu dilatari dua hal. Pertama adalah warisan budaya Nusantara (khususnya sejak zaman Mangkunegara I), dan kedua adalah karena adanya kekeliruan dalam mengartikan “Idul Fitri” sebagai “kembali suci”.
Sampai di sini, sebagian orang mungkin ingin mengatakan, “Tapi maaf-maafan di hari lebaran itu kan hal baik. Kenapa harus dipersoalkan?”
Kita sepakat, bahwa bermaaf-maafan itu hal baik. Dan jika kita bermaaf-maafan di hari lebaran, itu pun hal baik. Tapi karena “bermaaf-maafan di hari lebaran” adalah bagian dari budaya, maka artinya orang boleh tidak melakukannya!
Ini seperti Walisongo menggunakan wayang untuk mengajarkan ajaran Islam. Wayangnya itu budaya, sementara hal-hal yang disampaikan Walisongo adalah ajaran agama. Jadi kalau kita tidak nonton wayang, ya tidak apa-apa, wong itu cuma bagian budaya.
So, kalau kamu misalnya bermaaf-maafan di hari lebaran, itu baik! Tapi kalau ada teman atau tetanggamu yang tidak bermaaf-maafan di hari lebaran, ya jangan disalahkan. Karena bermaaf-maafan di hari lebaran hanyalah budaya, bukan ajaran agama. Artinya, orang tidak berdosa kalau tidak sungkem atau tidak bemaaf-maafan di hari lebaran.
Jika masih ada yang bingung, mari lebih perjelas. Maaf atau saling memaafkan, adalah ajaran agama. Tapi bermaaf-maafan di hari lebaran adalah budaya. Artinya, kalau kita bersalah pada seseorang, misalnya, kita punya kewajiban minta maaf, terlepas di hari lebaran atau di luar lebaran—karena itu ajaran agama. Tapi bermaaf-maafan di hari lebaran bukan kewajiban—karena bagian dari budaya. Bisa dipahami, sampai di sini?
Jadi, sekali lagi, kalau kamu bermaaf-maafan di hari lebaran, ya monggo. Wong itu hal baik, kok. Tapi kalau ada temanmu, tetanggamu, saudaramu, atau siapa pun, yang tidak bermaaf-maafan di hari lebaran, ya jangan disalahkan. Sekali lagi, ingat wayang dan Walisongo. Ajaran Islam, salah satunya, disampaikan lewat cerita wayang. Tapi wayangnya adalah budaya, bukan ajaran agama!
Saya sendiri, misalnya, lebih suka meminta dan memberi maaf di luar hari lebaran, karena kesannya lebih tulus, dan tidak terkesan cuma formalitas sebagaimana maaf-maafan di hari lebaran.
Akhir kata, terlepas kamu maaf-maafan di hari raya atau tidak, saya ingin mengucapkan “Selamat Idul Fitri”. Taqabbalallahu minna waminkum; semoga Allah menerima puasa dan amal kita semua.