Globalisasi dan ‘Anak-anak Durhaka’

Ilustrasi/dictio.id
Salah satu tujuan umum orang memiliki anak adalah agar kelak, di masa tua, ada anak-anak yang merawatnya. Kenyataan itu telah terjadi sejak masa ribuan tahun lalu. Orang berpasangan (menikah), lalu punya anak, dengan tujuan besar; melanjutkan keturunan, dan agar ada yang merawat saat mereka menua. Itu tuntutan evolusi, sekaligus insting manusiawi.

Karenanya, di masa lalu, banyak pasangan yang memiliki banyak anak, dan anak-anak itu biasanya hidup berdekatan satu sama lain. Kehidupan masa lalu belum seglobal sekarang, dalam arti; kalau kamu tinggal di Kota A, maka kamu akan bisa mendapatkan pekerjaan di Kota A. Ketika pasangan suami istri punya banyak anak, masing-masing anak itu bisa mencari nafkah di kota mereka sendiri, bahkan tempat tinggalnya sering kali berdekatan, atau setidaknya satu kampung.

Kalau kamu termasuk generasi milenial atau generasi sebelumnya, kemungkinan besar kamu mendapati bahwa beberapa tetanggamu adalah juga saudara/familimu, khususnya kalau kamu tinggal di kota kecil. Karena leluhur kita dulu punya banyak anak, lalu anak-anak itu tinggal di rumah yang saling berdekatan. Ketika kita kemudian lahir, kita pun mendapati beberapa famili kita tinggal di satu kompleks yang sama.

Jadi, ketika kakek dan nenek kita menua, anak-anak mereka (yaitu orang tua kita), mampu merawat mereka dengan mudah. Karena mereka memang tinggal di tempat yang berdekatan. Bahkan ketika akhirnya kakek dan nenek kita meninggal, orang tua kita tetap tinggal di rumahnya semula, meski orang tua mereka (yaitu kakek dan nenek kita) sudah tiada. 

Kehidupan di masa lalu memungkinkan hal semacam itu, yaitu anak hidup di tempat yang berdekatan dengan orang tua, hingga kemudian bisa merawat orang tua sampai si orang tua meninggal. Hal itu dimungkinkan, setidaknya karena dua hal. Pertama, karena masih ada tanah-tanah kosong di dekat orang tua yang bisa digunakan anak untuk membangun rumahnya sendiri. Kedua, karena anak bisa mencari nafkah atau mendapat pekerjaan di kota sendiri, sehingga bisa “nyanding” (mendampingi) orang tua mereka sampai lanjut usia.

Sekarang, kita menempati posisi sebagai anak, dan orang tua tentu juga mengharapkan kita bisa merawat mereka saat lanjut usia, sebagaimana dulu mereka juga merawat orang tuanya. Bedanya, sekarang kita hidup di era globalisasi, yaitu era yang “memencar-mencar” (memisah-misah) anak dengan orang tuanya, kadang dalam jarak yang sangat jauh.

Contohnya begini. Keluargamu mungkin tinggal di Semarang, dan punya tiga anak, yaitu kamu dan dua adikmu. Dari SD sampai Perguruan Tinggi, kamu menempuh pendidikan di Semarang. Tetapi, ketika lulus kuliah dan mulai mencari kerja, kamu sulit menemukan pekerjaan di Semarang. Jadi, kamu pun mencoba melamar kerja ke perusahaan yang ada di Surabaya, misalnya. Ndilalah, kamu diterima bekerja di sana. Kamu senang, tentu saja, tapi kamu juga harus meninggalkan orang tuamu di Semarang, lalu tinggal di Surabaya karena bekerja di sana.

Lalu, adikmu mengalami hal serupa. Sulit cari kerja di Semarang, dan malah dapat pekerjaan di Kalimantan. Maka adikmu pun meninggalkan orang tua di Semarang, dan tinggal di Kalimantan karena bekerja di sana.

Begitu pun adikmu yang kedua. Setelah lulus kuliah, adikmu berusaha melamar kerja di Semarang, berharap bisa tetap bareng orang tua, karena dua kakaknya sudah “mencar” jauh. Tetapi, adikmu tidak juga menemukan kerja di Semarang. Ketika melamar ke kota-kota lain, adikmu juga terus ditolak. Sampai akhirnya ada lowongan kerja di Thailand, dan adikmu nekat melamar. Dan diterima. Adikmu pun terbang ke Thailand, dan meninggalkan orang tua di Semarang.

Itu ilustrasi yang terjadi pada banyak keluarga di zaman sekarang, akibat globalisasi. Orang tuamu punya tiga anak, dan tinggal di Semarang. Tetapi, satu anaknya di Surabaya, satu di Kalimantan, dan satu anaknya lagi di Thailand. 

Ketika kalian bekerja di tiga tempat itu, selalu ada kemungkinan kalian menemukan pasangan di sana, lalu menikah, dan memutuskan untuk tinggal di kota tempat kalian bekerja. Jadi, kamu kemudian memutuskan untuk jadi warga Surabaya, karena pasanganmu orang Surabaya, dan kamu juga bekerja di Surabaya. Adikmu yang di Kalimantan juga sama. Menemukan pasangan di sana, lalu memutuskan jadi warga Kalimantan. Sementara adikmu yang di Thailand juga melakukan hal serupa.

Piye, kalau begitu?

Maksud saya begini. Entah kita sadar atau tidak, orang tua berharap kita (anak-anaknya) bisa merawat mereka ketika lanjut usia. Tetapi, era globalisasi memisahkan kita berjauhan dengan orang tua, contohnya seperti tadi. Kira-kira, apa yang perlu kita lakukan, agar tetap dapat menjalani kehidupan kita sendiri dengan baik, namun juga tidak menelantarkan orang tua?

Di Twitter, pernah ada berita tentang anak yang menitipkan ibunya ke Panti Wreda (tempat khusus penampungan lansia), dan dia dihujat banyak orang karena dianggap “anak durhaka”. Sekarang, ketika memikirkan hal itu, saya berpikir, “Jangan-jangan anak itu sebenarnya tidak durhaka, dan keputusannya menitipkan ibu ke Panti Wreda karena tuntutan keadaan.”

Bisa jadi, anak itu—yang menitipkan ibunya ke Panti Wreda—menghadapi kondisi seperti ilustrasi yang tadi saya tunjukkan. Mungkin si anak tinggal di tempat yang jauh, hingga tidak bisa mendampingi ibunya yang sudah lanjut usia, sementara dia juga tidak bisa tinggal bersama di tempat si ibu. Karena mengkhawatirkan ibunya, anak itu lalu memutuskan untuk menitipkan ibu ke Panti Wreda, agar ada orang yang merawat dan mendampinginya.

Jika kamu telah dewasa, sudah menikah dan bekerja, serta hidup berdekatan dengan orang tua, kamu patut bersyukur, karena tidak semua orang bisa memiliki karunia semacam itu. Karena hidup berdekatan dengan orang tua, kamu pun bisa sewaktu-waktu menjenguk orang tuamu, memastikan keadaannya baik-baik saja, dan membantu apa pun keperluannya. Kamu tepat seperti harapan orang tua; anak yang merawat orang tua ketika lanjut usia. 

Sayangnya, tidak semua orang bisa seperti itu. Saya sendiri, jujur saja, harus “mengorbankan diri” karena kesadaran bahwa orang tua membutuhkan saya. Adik perempuan saya tinggal di luar kota, karena mengikuti suaminya. Adik laki-laki saya juga tinggal di luar kota, karena pekerjaannya memang di luar kota. Karenanya, saya mengalah, dan tetap tinggal di kota yang sama dengan orang tua.

Memang, saya tidak tinggal bersama orang tua, dan rumah saya juga cukup jauh dari rumah orang tua. Tetapi, setidaknya, karena tinggal di kota yang sama, saya bisa segera datang kalau sewaktu-waktu orang tua membutuhkan sesuatu.

Kalau mau menuruti ego, semisal mengejar karier, saya sudah tinggal di kota besar yang memungkinkan saya lebih berkembang. Selama bertahun-tahun, saya telah menolak banyak tawaran kerja yang pernah datang. Karena, jika saya menerima tawaran itu, saya harus tinggal di kota lain. Dan jika itu yang saya lakukan, saya merasa dihadapkan pada pertanyaan, “Siapa yang akan merawat orang tua?”

Kadang-kadang saya memang menerima beberapa tawaran yang mengharuskan saya keluar kota atau ke tempat jauh, selama beberapa waktu. Tapi saya hanya bisa sebatas itu. Saya tidak bisa—mungkin lebih tepat disebut khawatir—kalau meninggalkan orang tua terlalu lama.

Itu sekadar ilustrasi bahwa kita sekarang hidup di zaman yang jauh berbeda dengan zaman kakek nenek kita. Kakek nenek kita masih bisa hidup berdekatan dengan anak-anaknya, yaitu orang tua kita. Tetapi, orang tua kita belum tentu bisa hidup berdekatan dengan kita, anak-anaknya, karena globalisasi. Pertanyaannya kemudian adalah... bagaimana kelak dengan anak-anak kita?

Jadi, jika sekarang kita menikah, dan memiliki anak-anak, masih mungkinkah kita berharap kelak anak-anak bisa merawat kita saat lanjut usia?

Related

Hoeda's Note 7666887887556876859

Posting Komentar

  1. Aku juga masih di Surabaya karena orang tuaku. Banyak pertimbangan aku tetap di Surabaya. Memang awalnya menyebalkan karena tidak bisa berkembang. Sampai akhirnya aku menemukan polanya. Meski di Surabaya, aku bisa tetap mendapatkan uang sebesar jika aku di Jakarta. Caranya adalah dengan freelance. Cuma tidak semua pekerjaan bisa di-freelance-kan. Jadi ga berlaku buat banyak orang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sering kali, dalam keluarga memang ada yang [terpaksa] ngalah, demi orang tua, dan bertahan hidup di kota yang sama dengan orang tua. Syukur kalau di kota sendiri itu bisa dapat penghasilan yang cukup. Sayangnya gak semua orang seberuntung itu, jadi terpaksa menahan pahit demi "gak durhaka".

      Tapi, btw, kamu kan tinggal di kota besar, John. Seapes-apesnya tinggal di Surabaya, kayaknya masih mending, lah. Wong itu kota besar. Biasanya kan lebih mudah dalam urusan nyari kerja.

      Hapus
  2. Menurutku, di Surabaya tidak semudah itu meski kota besar. Kalo Jakarta malah lebih mudah dapat pekerjaan dengan gaji yang di atas layak. Dan tentu saja, gajinya mentok di angka tertentu. Beda dengan Jakarta, kamu bisa dapat 3x dari Surabaya dengan skill yang sama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal Surabaya termasuk kota besar, ya. Baru paham. Kirain setiap kota besar memudahkan penghuninya buat nyari kerja atau cuan.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item