Dapat Hidayah ketika Dugem, Bertaubat Gara-gara Podcast

Ilustrasi/paragram.id
Salmafina Khairunnisa, yang juga populer dengan nama Salmafina Sunan, memutuskan untuk berjilbab—atau dia menyebutnya “hijrah”—ketika sedang dugem bersama Awkarin. Salmafina merasa mendapat “petunjuk untuk memulai hidup yang lebih baik”, di tengah ingar bingar kelab malam, aroma bir, dan musik yang berdentam.

Bagaimana bisa seseorang menemukan kesadaran, hingga memutuskan untuk berjilbab dan menjadi muslimah yang baik, di tempat seperti itu? Karena, menurut para ulama, hidayah adalah rahasia Tuhan, dan bisa datang di mana saja. Hidayah bisa datang di kelab malam, seperti yang dialami Salmafina, atau bisa pula di tengah acara dangdutan. Kita tidak tahu kapan hidayah datang pada seseorang, dan itu memang bukan tugas kita.

Hidayah adalah hak prerogatif Tuhan. 

Ada banyak kisah dari masa lalu, yang tertulis di banyak kitab dan buku, tentang orang-orang yang melakukan kejahatan selama bertahun-tahun, lalu—suatu ketika, di tempat dan cara tak terduga—dia mendapat hidayah, lalu masuk ke jalan yang benar, meninggalkan keburukan dan kejahatan. Di sisi lain, paman Nabi Muhammad SAW, yang jelas-jelas membela dan menyayangi Sang Rasul, sampai meninggal tetap tidak mau mengikuti agama keponakannya. 

Jika Nabi Muhammad saja tidak mampu memberi hidayah pada pamannya sendiri, apalagi orang-orang biasa seperti kita? 

Hidayah adalah rahasia sekaligus hak prerogatif Tuhan. Karenanya, menganggap orang lain salah, lalu memaksanya agar mengikuti kita—dengan dalih bahwa yang kita ajarkan adalah kebenaran—adalah sebentuk kesombongan yang sia-sia. Kalau pun kita menganggap orang lain salah, dan kita menganggap diri kita benar, hak kita sebatas menyampaikan. Soal apakah orang itu mau mengikuti atau tidak, sudah bukan lagi urusan kita. Itu urusan Tuhan. 

Andai sebelumnya Salmafina dipaksa untuk berjilbab, belum tentu dia mau. Andai dia diceramahi macam-macam di majelis taklim agar hijrah, juga belum tentu dia mau. Tapi dia tergerak oleh kesadarannya sendiri, justru ketika sedang dugem di kelab malam! Itu apa namanya kalau bukan hidayah?

Nyatanya, cara orang mengikuti jalan kebenaran bisa berbeda-beda. Ada orang yang, misalnya, taat beragama karena mendapat doktrin. Tetapi, di sisi lain, ada orang yang justru menjauh dari agama karena lelah mendengar doktrin. Ini realitas, sehingga teori pendidikan menerima kenyataan bahwa cara orang per orang belajar bisa berbeda-beda. Semua akademisi di seluruh dunia mengakui hal itu.

Salah satu teman akrab saya bernama Adit. Dia anak keempat dari enam bersaudara. Mereka semua sudah dewasa, dan bisa dibilang “sudah jadi orang”, dalam arti masing-masingnya sudah hidup mandiri dengan baik. Saya akrab dengan keluarga Adit, termasuk dengan orang tuanya. Suatu kali, saya ngobrol dengan ayah Adit, dan bertanya bagaimana dia bisa mendidik serta membesarkan enam anak hingga berhasil semua.

Ayah Adit mengatakan bahwa masing-masing anak memiliki karakter berbeda-beda, dan dia serta istrinya berusaha menyesuaikan diri dengan karakter anak-anak mereka. Misalnya, ada anak yang patuh ketika dinasihati, ada yang ogah-ogahan ketika dinasihati, ada pula yang justru melakukan hal yang bertolak belakang dengan yang dinasihatkan. Dia mencontohkan Adit, anaknya yang akrab dengan saya.

“Adit tuh nggak bisa dinasihati,” kata ayahnya. “Kalau saya atau ibunya menasihati sesuatu, dia malah melakukan hal sebaliknya. Pernah, dulu, ibunya menasihati agar Adit potong rambut, karena sudah panjang. Malah dia nggak potong-potong, sampai gondrong. Tapi waktu dibiarkan saja, nggak ada yang menasihati, rambut dia malah pendek dan rapi terus. Karena hal semacam itu terus terjadi, akhirnya saya menyadari, cara terbaik menasihati Adit justru dengan tidak menasihatinya! Jadi, saya maupun ibunya akhirnya membiarkan saja, nggak pernah menasihati macam-macam, dan nyatanya dia malah baik-baik saja, nggak pernah bikin masalah apa pun.”

“Karenanya,” lanjut ayah Adit, “kita nggak bisa memperlakukan semua anak dengan cara yang sama. Sebagai orang tua, saya harus mendidik mereka sesuai karakter masing-masing.”

Adit dan saudara-saudaranya beruntung memiliki orang tua sebijak itu. Yaitu orang tua yang mendidik dengan cara menyesuaikan karakter si anak, dan bukan hanya memaksakan cara didikannya yang belum tentu cocok untuk semua anak. Terbukti, anak-anak dalam keluarga Adit tumbuh dengan baik.

Saya pikir, begitu pula orang-orang di sekitar kita. Masing-masing mereka memiliki karakter berbeda-beda. Jika kita ingin menarik hati mereka, kita tidak bisa menggunakan satu cara yang sama untuk diterapkan pada semua orang. Karena, seperti yang dikatakan ayah Adit tadi, “ada yang menurut saat dinasihati, ada yang ogah-ogahan saat dinasihati, ada pula yang justru melakukan hal sebaliknya ketika dinasihati.”

Seperti kisah Salmafina tadi. Tidak ada yang menasihati dia agar pakai jilbab. Tapi dia justru tergerak sendiri memakai jilbab, bahkan kesadaran itu muncul ketika dia sedang dugem di kelab malam. [Ya meski belakangan dia logout.]

Ketika menulis catatan ini, saya baru mengunjungi seorang teman yang akan berangkat umroh bersama ibunya. Karena dia tidak ingin nama aslinya disebut, mari kita sebut dia dengan nama Beni. 

Beni adalah teman saya yang mbeling, dan salah satu kembelingannya adalah doyan mabuk (bukan sekadar tipsy, tapi mabuk parah). Di lingkup pergaulannya, kebiasaan mabuk Beni sudah legendaris. Ibunya, juga kakak-kakaknya, sudah capek menasihati Beni agar berhenti mabuk, tapi Beni seperti tidak peduli. Di mata ibunya, Beni adalah anak yang “tidak punya masa depan baik”, berbeda dengan kakak-kakaknya yang “lurus”. [Ayah Beni sudah meninggal.]

Beni punya usaha kain yang relatif sukses, sehingga bisa hidup mapan. Meski begitu, ibunya pesimis dengan masa depan Beni, gara-gara kebiasaannya yang suka mabuk. Dalam pikiran ibunya yang sederhana, “Wanita mana yang mau menikah dengan pria yang mabuk-mabukan saban hari?”

Lalu, suatu hari, terjadi “keajaiban” yang membuat keluarga Beni dan teman-temannya tercengang. Tiba-tiba, Beni berhenti mabuk, dan sejak itu tidak pernah mabuk lagi—sampai sekarang. Belakangan, dia bahkan mengajak ibunya untuk umroh! 

Bagaimana keajaiban itu bisa terjadi?

Di tempat tinggal saya, orang-orang biasa mengunjungi seseorang yang akan berangkat umroh atau naik haji—semacam pelepasan pada orang yang akan pergi jauh. Karenanya, saya pun mengunjungi Beni, bersama beberapa teman lain, sambil mendoakan semoga dia serta ibunya bisa menjalankan umroh dengan baik, dan bisa pulang kembali dengan selamat.

Dalam acara kunjungan itu, saya maupun teman-teman yang lain bertanya, apa yang mendorongnya hingga “bertaubat”, berhenti mabuk, bahkan sampai mengajak ibunya umroh bersama? Dan jawaban Beni mengejutkan kami semua. Dia merasa mendapat “hidayah” ketika sedang nonton podcast!

Jadi, ceritanya, suatu malam, Beni lagi suntuk. Biasanya dia akan mengambil minuman, kemudian mabuk. Tapi, ndilalah, yang waktu itu dia lakukan adalah duduk santai di sofa, membuka ponsel, masuk ke YouTube, dan asal klik video apa saja yang muncul di beranda. Kebetulan, video yang ia klik waktu itu adalah podcast Close The Door, yang menampilkan percakapan Teguh Praz dengan Babe Cabita. 

Di edisi podcast itu, Teguh Praz dan Babe Cabita ngobrol-ngobrol soal pengalaman Babe yang baru pulang umroh. Dua bocah itu ngobrol sambil bercanda dan tertawa-tawa, sama sekali tidak ada unsur ceramah atau dakwahnya. Intinya, Teguh menanyakan hal-hal yang dialami Babe selama umroh, dan Babe menceritakannya dengan gaya jenaka. Di akhir podcast, Teguh mengajak Babe untuk umroh lagi, bersama istri mereka. 

[Kalau kalian penasaran, sila cari sendiri videonya di channel Close The Door, ya. Saya mau memasukkan videonya di sini, tapi tidak enak, karena belum izin.]

Ketika menontonnya, Beni merasa isi podcast itu menyentuh hatinya yang paling dalam, dan dia, entah bagaimana, merasa mendapat kesadaran baru. “Detik itu pula aku terpikir mengajak ibuku untuk umroh,” katanya, ketika menceritakan kisah tersebut.

Usai menonton podcast itulah, Beni berhenti minum, dan mampu bertahan tidak mabuk sampai berhari-hari—suatu rekor yang ia sendiri takjub, karena bisa melakukannya. Sebulan setelah ia benar-benar tidak mabuk sama sekali, Beni menemui ibunya, dan mengajaknya umroh. Mula-mula, ibunya kaget. Tapi Beni menjelaskan, “Aku udah nggak mabuk sebulan ini, Mah, jadi sekarang benar-benar sadar dan waras.”

Ibunya menangis. Ketika menceritakan hal itu, Beni mengatakan, “Aku belum pernah menyaksikan ibuku sebahagia itu.”

Kisah ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa sesuatu yang kita sebut “hidayah” bisa datang pada siapa saja, dengan cara tak terduga. 

Seorang anak yang telah dinasihati ibunya selama bertahun-tahun agar berhenti mabuk, tetap saja mabuk. Aneka ceramah di masjid dan mushala mungkin telah sering menyuarakan nasihat yang sama—agar menjauhi minuman keras—dan dia tetap mabuk. Tapi ketika nonton podcast yang isinya cuma obrolan ringan, dia malah sadar dan berhenti mabuk, bahkan tergerak mengajak ibunya untuk umroh bersama. Akan kita sebut apa itu jika bukan “hidayah”?

Dan hidayah adalah hak prerogatif Tuhan. Orang bisa mendapatkan kesadaran ketika sedang dugem, ketika sedang menonton podcast, ketika sedang bekerja keras, atau ketika sedang khusyuk belajar. Masing-masing orang memiliki karakter berbeda, dan Tuhan tentu lebih tahu cara terbaik memberikan petunjuk-Nya.

Related

Keislaman 4113777161556406320

Posting Komentar

  1. Btw, yang Salmafina itu sekarang Kristen loh.

    Aku jadi keinget tentang bapak mertuaku.
    Awalnya Katolik, masuk Islam (karena nikah sama ibu mertua), lalu masuk Katolik lagi dan mati dalam Katolik.
    Hidayah memang milik Alloh. Saat bapak mertuaku masih Islam, istriku cerita banyak teman-teman bapak mertua yang Islam pada nipu dia. Intinya banyak orang sekitarnya, Islam tapi berengsek.
    Sampe akhirnya di titik di mana, istri kakaknya (muslimah Sunda) selingkuh sampe hamil dengan cowok lain, saat ditinggal ke luar negeri. Di sinilah kebencian bapak mertuaku terhadap Islam memuncak. Dan memusuhi semua simbol Islam.
    Bahkan istriku, dulu, kalo sholat harus sembunyi-sembunyi. Kalo ketahuan dilempar kaleng kue. Sampe segitunya benci dengan sesuatu yang berbau Islam.

    Kadang aku berpikir, jika bukan jalannya/takdirnya, seseorang akan disulitkan untuk mengenal Islam dengan hal2 sekitar yang menyebalkan. Dari sana aku menyadari, mendapatkan teman-teman yang baik adalah anugerah yang besar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Salmafina dikabarkan sekarang Kristen. Makanya di artikel itu aku nambahin kalimat "Meski sekarang dia logout."

      Turut prihatin dengan bapak mertuamu, John. Kisah orang memang macam-macam, ya. Terkait bapak mertuamu, orang-orang mungkin bisa saja mengatakan, "Itu bisa jadi ujian mualaf." Ya ngomong sih enteng, tapi bagi yang mengalami, sering kali gak semudah itu. Apalagi kasusnya bikin traumatis gitu. Sebagai sesama manusia, kita hanya bisa berharap bapak mertuamu mendapat yang terbaik.

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item