Mengapa Penyihir Zaman Dulu Kebanyakan Wanita?
https://www.belajarsampaimati.com/2023/03/mengapa-penyihir-zaman-dulu-kebanyakan.html
Ilustrasi/pixabay.com |
Sebenarnya, definisi “sihir” tidak sesempit yang kita bayangkan. Selama ini, kita mungkin mempersepsikan “sihir” dengan hal-hal magis, misalnya bisa terbang dengan sapu, bisa menghilang, bisa berpindah tempat dalam waktu sekejap mata, dan hal-hal supranatural semacamnya. Padahal, dalam konteks sejarah dan peradaban, definisi sihir tidak seperti itu.
Kita saat ini, misalnya, telah biasa memegang dan menggunakan smartphone. Melalui smartphone, kita bisa melakukan hampir segala hal, dari bertukar pesan teks, menelepon dan terhubung lewat suara, sampai berkomunikasi face to face. Sekarang bayangkan jika kita bisa kembali ke masa 100 tahun yang lalu, misalnya, dan menunjukkan kemampuan smartphone pada orang-orang yang hidup di zaman itu. Kira-kira, apa yang ada dalam pikiran mereka? Benar, mereka akan menganggap smartphone adalah benda sihir!
Atau, mari balik ilustrasinya. Andaikan saja, ada orang yang bisa menembus tembok, dan dia mampu melakukannya di depan mata kepala kita. Tunjuk tembok mana pun, dan dia akan bisa menembusnya. Bisa jadi, dia mampu menembus tembok dengan teknologi tertentu—entah apa—tapi kita tidak tahu teknologi yang ia gunakan. Apa yang muncul dalam benak kita, ketika menyaksikan keajaiban semacam itu? Ya, kita akan berpikir itu sihir!
Sihir, dalam konteks sejarah dan peradaban, adalah “suatu kemampuan yang melampaui nalar orang-orang yang hidup di suatu zaman”.
Sekarang, pertanyaannya, mengapa para penyihir di zaman dulu kebanyakan wanita? [Sebenarnya, saya harus memberi tanda kutip pada “penyihir” di kalimat pertanyaan tadi].
Pada zaman dulu, stereotipe gender sangat melekat pada masyarakat, pembagian tugas pada masing-masing pria dan wanita sangat jelas, bahkan absolut. Para pria pergi meninggalkan rumah untuk bekerja, atau—jika mau lebih ke belakang—mencari makanan untuk keluarga, misal berburu binatang di hutan. Mencari nafkah atau makanan untuk keluarga adalah tugas pria sejak zaman dulu kala.
Sementara para pria sibuk bekerja di luar rumah atau berburu binatang di hutan, para wanita berdiam di rumah. Sebagian wanita mengisi waktunya dengan mengasuh anak-anak, khususnya yang telah punya anak, sedangkan yang masih lajang biasanya mengakrabkan diri dengan alam—bercocok tanam, mengenali daun-daun mana yang bisa dimakan dan mana yang beracun, dan semacamnya. Dari situlah kemudian, para wanita ini mengenali bahan-bahan alam yang bahkan bisa dimanfaatkan untuk pengobatan.
Di zaman ketika obat merah dan P3K belum dikenal, kemampuan mengenali daun-daun yang bisa meredakan demam adalah keajaiban. Kalau kita hidup di era primitif—jauh sebelum ada paracetamol—dan bisa memanfaatkan akar pohon tertentu untuk mengatasi pusing kepala, orang-orang akan takjub. Di masa ketika perban dan plester medis belum ditemukan, orang yang mengetahui manfaat getah pohon untuk menutup luka akan dianggap “penyihir”, dalam arti memiliki kemampuan yang melebihi nalar rata-rata orang di zaman tersebut.
Pada masa itu, kebanyakan penyihir—dalam arti mampu mengetahui manfaat alam untuk tujuan pengobatan, hingga dianggap menakjubkan untuk ukuran zaman itu—kebanyakan adalah wanita, karena para wanitalah yang lebih banyak memiliki waktu di rumah, sehingga mereka bisa lebih mengakrabi alam dan mengenali aneka manfaatnya.
Sekarang, bayangkan kehidupan ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu, ketika peradaban masih primitif. Orang menemukan suatu daun dari pohon tertentu ternyata bisa mengobati luka, menutup kulit yang berdarah akibat sayatan duri. Apa yang kira-kira akan mereka lakukan? Jawaban paling logis, mereka akan “menghormati” pohon yang menumbuhkan daun tersebut, dan menjaga pohon itu agar selalu dalam kondisi baik. Mereka, dengan kapasitas nalar di masa itu, akan berpikir, “Pohon ini pasti ada penunggunya, dan kita harus menghormati karena telah membantu kita menyembuhkan luka.”
Praktik yang sekarang kita sebut “jampi-jampi” atau semacamnya, berasal dari hal-hal semacam itu. Sesuatu yang sekarang kita sebut “mantra-mantra sihir” juga berasal dari praktik-praktik semacam itu. Orang-orang di zaman dulu menggunakan jampi-jampi atau mantra-mantra tertentu, karena tidak tahu cara berkomunikasi dengan pohon, atau dengan daun, atau dengan akar, dan sebagainya. Dengan kapasitas penalaran di zamannya, manusia di masa itu menciptakan bahasa sendiri, yang belakangan kita sebut jampi-jampi atau mantra-mantra.
Resep-resep tradisional yang sekarang kita kenal, sebagian berasal dari zaman itu, dan mungkin kita juga menggunakannya untuk keperluan-keperluan tertentu, meski tidak lagi menghormati pohon atau menggunakan jampi dan mantra.
Selain mengenali bahan alam yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan pengobatan, orang-orang di zaman itu, khususnya para wanita, juga mampu mengenali tanda-tanda alam. Mereka memperhatikan, misalnya, ketika semut dalam jumlah banyak keluar bersama-sama dari lubang-lubang di tanah, tak lama kemudian bencana alam terjadi. Karena hal serupa terus terjadi, mereka akhirnya sadar, “Jika rombongan semut keluar bersama-sama dari lubang di tanah, kita harus siap-siap!”
Bayangkan kita hidup di zaman ketika belum ada ilmu pengetahuan tertulis atau teknologi, dan kita benar-benar buta kapan atau di mana gempa bumi terjadi. Lalu, seseorang tiba-tiba mengatakan, “Tak lama lagi, tempat ini akan ‘mengamuk’, tanah akan terbelah, dan sekarang kita harus pergi ke tempat aman!”
Ajaib, tak lama kemudian, tempat itu benar-benar “mengamuk”, hingga tanah terbuka dan siap menelan siapa pun yang ada di atasnya. Apa yang kira-kira akan muncul dalam pikiran orang-orang di zaman itu? Dengan kapasitas pemikiran yang masih terbatas, mereka akan berpikir bahwa orang yang tadi mengingatkan—“tempat ini akan mengamuk”—pastilah bukan orang sembarangan. “Dia pasti penyihir, karena bisa berkomunikasi dengan alam!”
Aneka ritual menghormati alam berasal dari hal-hal semacam itu, sebagian bahkan masih dilakukan sampai sekarang.
Jadi, mengapa “penyihir” di zaman dulu kebanyakan wanita? Jawabannya seperti yang telah dijelaskan tadi. Karena para pria sibuk mencari nafkah atau makanan untuk keluarga, sementara para wanita punya waktu luang untuk mempelajari alam.
Hmm... ada yang mau menambahkan?