Mengapa Pria Melakukan Ghosting?

Ilustrasi/faceofmalawi.com
Salah satu istilah yang populer akhir-akhir ini adalah ghosting. Dalam pemahaman saya (tolong ralat jika saya keliru), ghosting adalah orang yang tiba-tiba menghilang, atau menjauh, setelah melakukan pendekatan atau menjalin kebersamaan dengan seseorang. Biasanya, ghosting dilakukan pria pada wanita.

Ada cukup banyak artikel seputar ghosting yang pernah saya baca, dan rata-rata mengungkap alasan ghosting yang bisa dibilang abstrak. Maksud saya, artikel-artikel itu hanya berupa opini si penulis dalam menilai perilaku ghosting, dan tidak secara jelas mengungkap kenapa seseorang melakukan ghosting, khususnya dari pihak si pelaku.

Mungkin artikel-artikel terkait ghosting yang saya baca masih relatif sedikit, jadi saya belum menemukan penjabaran yang lebih luas. Yang jelas, dari yang selama ini saya baca, aktivitas ghosting lebih sering dikaitkan dengan motivasi negatif, meski penilaian itu mungkin spekulatif.

Ada beberapa artikel terkait ghosting yang menggunakan sudut pandang dari pihak yang di-ghosting (dalam hal ini wanita), dan menjelaskan bagaimana mereka (pihak yang di-ghosting) jadi kebingungan karena pria yang semula dekat dan bersamanya tiba-tiba menghilang.

Selama ini, saya belum pernah menemukan satu pun artikel yang membahas ghosting, dengan menggunakan sudut pandang pelaku ghosting (yang tentunya pria), atau semacam kumpulan pengakuan dari para pelaku ghosting, hingga mereka sampai melakukan hal tersebut. Padahal kita butuh pembanding, sekaligus butuh tahu kenapa seseorang melakukan ghosting, hingga tidak hanya berspekulasi.

Secara pribadi, saya menilai perilaku ghosting memang negatif, karena kesannya meninggalkan seseorang begitu saja, tanpa penjelasan apa pun, hingga pihak yang di-ghosting bisa jadi kebingungan dan bertanya-tanya. Namun, masih dalam pikiran saya, perilaku ghosting bisa jadi tidak selalu berlatar motivasi negatif (semisal ingin mempermainkan atau semacamnya).

Mari kita gunakan ilustrasi.

Bayangkan seorang pria tertarik pada seorang wanita, lalu melakukan pendekatan, hingga mereka menjalin kebersamaan dan keakraban. Seiring dengan itu, mereka saling mengenal pribadi masing-masing, karena sering bercakap tentang banyak hal, dan diam-diam si pria mendapati si wanita punya cara berpikir yang jauh berbeda dengannya.

Misalnya, si pria berpikir tentang pernikahan dalam kerangka idealis, menganggap pernikahan sebagai surga tanpa cela, dan menikah akan membuatnya bahagia selama-lamanya, lalu dia dan pasangannya akan memiliki anak-anak, dan seterusnya, dan seterusnya.

Di pihak lain, si wanita berpikir tentang pernikahan secara realistis, menganggap pernikahan hanyalah komitmen di antara dua orang, yang sama-sama bersepakat menjalani kehidupan bersama di bawah satu atap. Sementara terkait kepemilikan anak, si wanita berpikir bahwa bumi sudah terlalu sesak dan rusak, hingga ia tidak ingin punya anak. Bagi si wanita, memiliki anak sama saja mewariskan kerusakan bumi dan bobroknya peradaban.

Ketika hal semacam itu terjadi, si pria bisa jadi mengalami dilema. Dia tertarik pada wanita itu, tapi menyadari cara berpikir mereka jauh berbeda, bahkan bertolak belakang. Sementara mereka telah menjalin kebersamaan, dan bisa jadi si wanita berharap kepastian hubungan.

Kira-kira, apa yang mesti dilakukan oleh si pria, ketika berada dalam situasi semacam itu? Dia tahu tidak mungkin melanjutkan hubungan dengan si wanita, namun untuk “putus” juga tidak mungkin, karena mereka memang belum jadian atau belum memiliki status yang jelas.

Si pria tidak mungkin mengatakan terangan-terangan bahwa “aku mencintaimu, tapi ternyata kamu memiliki cara berpikir jauh berbeda denganku, jadi kita bubar saja sekarang.” Itu konyol, kalau sampai terjadi. Karenanya, si pria mungkin berpikir untuk “kabur saja” diam-diam.

“Kabur secara diam-diam” itulah yang kini populer disebut ghosting—fenomena ketika seseorang meninggalkan seseorang yang lain tanpa kejelasan. Jika konteksnya seperti yang tadi saya contohkan, motivasinya belum tentu buruk, meski dilematis bagi si pria, dan menimbulkan kebingungan bagi si wanita.

Dalam konteks kasus ini, si pria merasa tidak mungkin melanjutkan hubungannya dengan si wanita—karena bisa menimbulkan persepsi pada si wanita bahwa ia akan melanjutkan hubungan mereka. Seiring dengan itu, si pria juga tidak bisa menyatakan “putus”, karena mereka memang belum memiliki hubungan jelas. Akhirnya, ghosting dianggap jalan terbaik, setidaknya bagi si pria.

Coba saja tempatkan dirimu pada posisi pria tadi, dan pikirkan, kira-kira apa atau bagaimana yang harus kaulakukan, ketika menghadapi situasi semacam itu? Kau membayangkan perkawinan begitu indah, tapi ternyata wanita pujaanmu berpikir perkawinan adalah “hal biasa”. Kau membayangkan kebahagiaan punya anak-anak, sementara wanita yang ingin kaujadikan pasangan ternyata justru tak ingin punya anak.

Kau tidak mungkin mengatakan putus pada wanita yang kaudekati, karena waktu itu kalian belum punya hubungan atau ikatan yang jelas. Sementara kau juga tidak mungkin mengatakan terang-terangan bahwa kalian punya pikiran yang bertolak belakang. Jadi, apa yang mungkin akan kaulakukan?

Kemungkinan besar ya kabur—alias ghosting. Karena pria tidak suka drama bertele-tele, dan bisa jadi ia juga khawatir akan terjebak dalam drama yang akan makin membingungkannya.

Sejujurnya, saya juga pernah melakukan ghosting—jika definisi ghosting adalah seperti yang dimaksud dalam catatan ini.   

Dulu, saya pernah tertarik pada seorang wanita, tapi belakangan saya memilih mundur dan menjauh, karena alasan tertentu. 

Kisahnya diawali di rumah makan ini. Saya sering makan malam di sana, karena cocok dengan masakannya, dan nyaman dengan suasananya. Rumah makan itu tenang dan sering sepi, khususnya malam hari, meski kadang juga ramai kalau pas akhir pekan. Intinya, saya suka makan di sana, dan sering menikmati makan malam sendirian di sana.

Selama waktu-waktu itu, saya kerap mendapati seorang wanita yang juga sering makan malam di sana—kadang sendirian, kadang bersama teman. Sebegitu sering, sampai kami seperti saling kenal, karena hafal wajah masing-masing. Sejak awal melihatnya, saya sudah tertarik. Karenanya, seusai makan, saya sering duduk menyandar dinding, dan merokok, sambil diam-diam curi pandang ke arahnya—kalau dia pas makan di sana.

Saya tahu, saya tertarik kepadanya. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara mendekatinya. Jadi, saya hanya memandanginya saja, diam-diam. 

Lalu “keajaiban” terjadi. Suatu malam, kami bertemu di tempat parkir rumah makan. Saya baru datang, sementara dia akan pulang seusai makan. Di tempat parkir itu, kami berpapasan, dan, entah bagaimana, kami saling tersenyum—mungkin karena sudah biasa ketemu di sana. Dari senyum itu pula, saya memberanikan diri menyapa, “Lho, sudah mau pulang?”

Dia menjawab dengan ramah, dengan senyum indah yang membuat makan malam saya terasa lebih lezat.

Gara-gara insiden itulah, kami kemudian saling mendekat, dan saling mengenal satu sama lain. Tetapi, singkat cerita, saya akhirnya memilih menjauh, meski sebenarnya tertarik kepadanya.

Alasannya? Sederhana, saya menganggap dia “terlalu mewah” untuk saya. Ketika saya memilih menjauh dan akhirnya menghilang—dengan kata lain, ghosting—itu sama sekali bukan karena dia kurang ini atau kurang itu, tapi semata-mata karena saya menyadari bahwa... ya itu tadi, dia terlalu mewah untuk saya. Artinya, saya menjauh bukan karena dia punya kekurangan tertentu, tapi justru sebaliknya.

Sebagai pria, sejujurnya, saya merindukan wanita yang sederhana, menjalani kehidupan sederhana, dan nyaman dalam kesederhanaan. Karena saya orang sederhana, yang menjalani kehidupan seperti orang-orang biasa. 

Dalam bayangan ideal, kalau saya kelak memiliki pasangan, wanita pasangan saya adalah wanita seperti itu—yang sederhana, dan hidup dengan kesederhanaan, yang nyaman dan bahagia menjadi orang biasa (meski definisi “sederhana” di sini bisa relatif, ya).

Berdasarkan uraian ini, kita melihat sisi lain ghosting, yang mungkin belum sempat kita pikirkan. Bahwa ghosting belum tentu terjadi karena sesuatu yang bersifat negatif—misal karena si wanita punya kekurangan tertentu—tapi bisa pula karena hal lain, seperti yang tadi saya ceritakan.

Bisa jadi, wanita yang saya ceritakan tadi akan berpikir negatif, karena saya tiba-tiba menjauh darinya tanpa kejelasan. Bisa jadi pula, dia berpikir dan bertanya-tanya, “Apa kekurangan atau kesalahanku, sampai dia menjauh dan menghilang?” 

Saya ingin dia tahu, bahwa dia tidak punya kekurangan apalagi kesalahan apa pun, dan saya menjauh darinya semata-mata karena menganggap dia terlalu baik untuk saya—dalam arti harfiah. Mungkin akan lebih tepat jika dia berpasangan dengan pria yang sama-sama menjalani kehidupan glamor seperti dirinya, yang aktif di berbagai media sosial untuk menunjukkan eksistensi dan keinginan untuk dikenal dunia—bukan dengan pria sederhana seperti saya. 

Karenanya, wanita yang kebetulan menghadapi kenyataan semacam itu—pria yang mendekati tiba-tiba menjauh dan menghilang—tak perlu buru-buru berpikir negatif dan bertanya-tanya apa kekurangan atau kesalahan yang mungkin telah dilakukan. Ghosting yang terjadi mungkin bukan karena kau kurang sesuatu, dan bisa jadi memang begitu.

Related

Hoeda's Note 541035378217008348

Posting Komentar

  1. sedikit curhat #eaea

    dulu pernah juga komunikasi dengan cewek, lumayan intens, ada 1 bulanan lah, tapi lama2 aku merasa makin ga cocok :D
    topik pembicaraan makin ga nyambung (dalam otakku, aku pikir begitu, belum tentu menurutnya yah)

    ceweknya sih makin tertarik, tapi aku kebalikannya
    sempat suatu saat dia nelpon aku, tapi karena saat itu lagi tidak ingin ditelpon, akhirnya aku berikan ke temenku (jahat banget kan) dan temenku aku suruh memerankan sebagai diriku :D

    kemudian aku mundur pelan2, dia juga masih SMS aku (dulu emang masih zamannya SMS), cuma sering ga aku bales
    sampe akhirnya dia sadar dan ga ngehubungi aku lagi

    itu ghosting juga ga sih? hehe

    kalo itu ghosting, berarti ghosting bisa terjadi karena cowok mulai memahami kalo dia beda frekuensi, susah kalo dipaksakan

    bayangin aja, gimana ga enaknya menjalin hubungan dengan orang yang kita ngomong apa dia ga nyambung

    dan itu juga jadi alasan mengapa aku menikahi Enny, karena emang "nyambung" nya ini yang susah aku dapatkan dari cewek lain

    BalasHapus
  2. Asik nih tulisannya Min! Thank you yah, aku pasti baca artikel yang mendatang ataupun yang sebelumnya. Mudah-mudahan diberikan berkah yang sesuai 🙏

    BalasHapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item