Apa yang Disebut Skema Ponzi, dan Bagaimana Cara Kerjanya?
https://www.belajarsampaimati.com/2020/12/apa-yang-disebut-skema-ponzi-dan.html
Ilustrasi/hujjah.net |
Investasi memang menghasilkan keuntungan bagi para pelakunya, tapi biasanya “wajar”. Dalam arti, besar atau kecil keuntungan yang diperoleh, skema investasi itu bisa dipertanggungjawabkan.
Contoh, investasi dalam bentuk deposito, menghasilkan keuntungan sekitar 5 persen per tahun. Keuntungan yang kecil, juga dengan risiko kecil. Sebaliknya, investasi saham bisa menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar, tapi juga menghadapi risiko besar. Dua contoh itu, dengan keuntungan kecil maupun besar, sama-sama bisa dipertanggungjawabkan.
Bank tempat kita menyimpan deposito akan menggunakan uang kita untuk investasi-investasi yang relatif aman, dan mereka akan membagikan keuntungannya kepada kita sebagai pemilik deposito. Sekali lagi, hasilnya tidak besar, tapi ini investasi yang bisa dibilang aman dan minim risiko.
Sebaliknya, investasi saham menjanjikan hasil besar, tapi juga bisa berisiko besar, karena kerap fluktuatif, dan kadang terjadi hal-hal tak terduga yang bisa menyebabkan para pemain saham mengalami kerugian. Meski begitu, investasi saham bisa dipertanggungjawabkan, karena kita tahu dari mana keuntungan yang kita peroleh, dan kenapa kita sampai mengalami kerugian.
Hal berbeda terjadi pada skema ponzi. Investasi dalam skema ponzi menghasilkan keuntungan sangat besar, bahkan di luar kewajaran, tapi tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan hasil akhirnya biasanya adalah kerugian banyak orang.
Secara mudah, cara kerja skema ponzi adalah seperti ini:
Kita diminta menyetor uang Rp10 juta, misalnya, dan diberi iming-iming akan mendapat keuntungan Rp5 juta dalam 60 hari. Itu keuntungan yang sangat besar, dan tentu akan menarik minat banyak orang. Yang jadi masalah, dari mana keuntungan itu berasal?
Keuntungan besar yang tidak wajar itu berasal dari orang-orang lain yang ikut “berinvestasi”, khususnya yang mendaftar setelah kita. Jadi, ketika orang-orang lain mendaftar dan menyetor “investasi”, uang mereka digunakan untuk memberi keuntungan pada kita—tentu dengan bagian (komisi) untuk panitia/penyelenggaranya pula.
Si A ikut skema ponzi, dan menyetor Rp10 juta. Dua bulan kemudian, dia mendapat keuntungan Rp5 juta, hingga total “investasinya” jadi Rp15 juta. Tambahan Rp5 juta itu diambil dari peserta lain, Si B, Si C, Si D, Si E, dan seterusnya, dan skema yang dijalankan tetap sama. Uang dari anggota/peserta baru digunakan untuk memberi keuntungan pada anggota/peserta sebelumnya.
Dengan cara/skema semacam itu, para peserta “investasi” memang mendapat keuntungan besar, tapi skema ini bermasalah. Karena keuntungan itu hanya akan terjadi selama masih ada anggota/peserta baru yang ikut bergabung. Jika tidak ada lagi anggota baru, keuntungan pun berhenti.
Di waktu bersamaan, para peserta yang terbaru tidak mendapat keuntungan apa pun, bahkan uang mereka hilang, karena digunakan untuk memberi keuntungan pada para peserta sebelumnya.
Karena latar belakang semacam itulah, skema ponzi dianggap sebagai bukan investasi, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Hmm... ada yang mau menambahkan?