Mengapa dan Bagaimana Kita Mengalami Déjà vu?
https://www.belajarsampaimati.com/2020/05/mengalami-deja-vu.html
Ilustrasi/epilepsyadvocate.com |
Istilah itu pertama kali diperkenalkan oleh Emile Boirac, psikolog Prancis yang mempelajari fenomena tersebut pada 1876. Déjà vu juga disebut dengan istilah paramnesia, yang berasal dari bahasa Yunani—“para” berarti “sejajar”, dan “mnimi” berarti “ingatan”.
Pada otak manusia, ada sesuatu yang disebut recognition memory. Recognition memory adalah memori yang menyebabkan kita menyadari apa yang kita alami sekarang sebenarnya sudah pernah kita alami sebelumnya. Otak kita berfluktuasi antara dua jenis recognition memory, yaitu recollection dan familiarity.
Recollection (pengumpulan kembali) adalah ingatan atau memori yang memungkinkan kita menyebutkan dengan tepat seketika itu juga; kapan situasi yang kita alami pernah muncul sebelumnya. Misalnya, pada pagi hari, kita bertemu si A di lapangan olahraga. Sore harinya, kita bertemu si A di swalayan. Seketika itu, kita dapat mengingat bahwa kita telah bertemu si A pagi hari tadi di lapangan olahraga.
Sedangkan familiarity adalah ingatan atau memori yang muncul, namun kita tidak bisa menyebut atau menjelaskan dengan pasti kapan hal itu terjadi. Déjà vu adalah contoh familiarity. Selama mengalami déjà vu, kita mengenali situasi yang sedang kita hadapi, namun kita tidak tahu kapan kita pernah menghadapi situasi itu sebelumnya.
Berlawanan dengan déjà vu adalah jamais vu, istilah Prancis yang secara harfiah memiliki arti “tidak pernah melihat”, yaitu kondisi ketika seseorang untuk sementara waktu tidak dapat mengingat atau mengenali peristiwa atau orang yang sebelumnya sudah pernah dikenal.
Fenomena ini juga sering kali dialami sebagian kita, namun kita bisa dengan mudah menyimpulkannya sebagai “lupa”. Berbeda dengan jamais vu, déjà vu lebih menarik perhatian, karena seolah menyimpan misteri.
Diperkirakan, ada 60 sampai 70 persen penduduk bumi pernah mengalami fenomena déjà vu, entah berupa pandangan, suara, perasaan, atau bahkan bau. Hampir di antara kita pernah mengalami sensasi aneh itu—sebuah perasaan yang seolah menyatakan bahwa peristiwa yang kita alami atau sesuatu yang kita lihat, atau bahkan suara yang kita dengar pada saat ini, pernah kita alami jauh sebelumnya.
Ada kalanya kita bercakap-cakap dengan seseorang, dan tiba-tiba “menyadari” bahwa kita pernah mengalami percakapan dengan orang tersebut, dengan topik percapakan yang sama—di waktu sebelumnya. Bisa pula kita menyaksikan sebuah rumah, dan tiba-tiba “ingat” bahwa jauh sebelumnya kita pernah menyaksikan rumah yang sama. Kita “merasa” pernah mengalaminya, tapi kita tidak bisa menjelaskan kapan atau mengapa kita mengalaminya. Yang kita tahu hanyalah bahwa kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.
Itulah déjà vu.
Mengapa kita kadang mengalami déjà vu? Sebagian orang mengaitkannya dengan masalah otak, gangguan syaraf, sementara sebagian lain menghubungkannya dengan kehidupan di masa lalu. Para ilmuwan, psikolog, dan peneliti, telah mencoba mencari jawaban atas fenomena misterius ini, namun hingga sekarang belum ditemukan jawaban yang memuaskan.
Sejak tahun 1876, Emile Boirac telah melakukan penelitian atas fenomen déjà vu, namun ia tidak pernah tuntas menyelesaikan penelitiannya. Sejak itu pula, banyak peneliti lain yang telah mencoba memahami fenomena itu, hingga akhirnya lahir sekitar 40-an teori yang berbeda mengenai déjà vu, mulai dari gangguan syaraf sampai peristiwa paranormal.
Sebagian besar peneliti mencoba menghubungkan déjà vu dengan penyakit-penyakit semisal schizophrenia, kegelisahan, atau gangguan neurologi lainnya. Namun mereka juga belum mendapatkan kepastian antara hubungan penyakit-penyakit tersebut dengan déjà vu.
Sebagaian peneliti lain mencoba menghubungkan fenomena déjà vu dengan kegagalan sistem kelistrikan otak, dan déjà vu dipercaya sebagai suatu sensasi keliru pada ingatan atau memori. Beberapa obat-obatan—semisal amantadine dan phenylpropanolamine—juga dipercaya sebagai salah satu faktor pemicu déjà vu, karena obat-obatan tersebut dapat melahirkan perasaan seperti déjà vu. Tapi itu pun belum sampai pada kesimpulan.
Otak manusia merupakan organ yang rumit, kompleks, sekaligus sangat menarik. Otak kita memiliki kecenderungan untuk menarik kesimpulan dari berbagai situasi yang berbeda, dan sering kali mencoba bereksperimen mereproduksi suatu situasi yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
Karena itu, antisipasi atas beberapa kejadian yang dialami seseorang dapat mendorongnya untuk berpikir bahwa dia telah mengalami suatu kejadian sama di waktu sebelumnya. Penjelasan ini terdengar logis untuk lahirnya déjà vu, tetapi penjelasan ini pun belum bisa diterima sepenuhnya.
Masih berkaitan dengan otak, ada teori lain yang coba diajukan sebagai dasar lahirnya déjà vu. Menurut teori itu, otak kita menyimpan banyak memori yang datang dari berbagai aspek kehidupan kita, dari pengalaman sehari-hari sedari kecil, percakapan-percakapan yang pernah kita lakukan, film yang kita tonton, suara-suara yang pernah kita dengar, hingga gambar yang pernah kita lihat dan buku yang pernah kita baca.
Semua informasi itu kita simpan tanpa kita sadari. Sampai suatu waktu, ketika kita mengalami peristiwa tertentu yang (mungkin) mirip dengan informasi yang pernah kita simpan, memori di bawah sadar itu pun akan bangkit kembali. Misalnya, di masa kecil kita pernah menyaksikan film yang menggambarkan suatu tempat. Ketika dewasa, kita mengunjungi tempat itu, dan tiba-tiba merasa familier meski kita tidak ingat lagi film yang dulu pernah kita tonton. Dalam teori ini, déjà vu berhubungan dengan kejadian (memori) yang telah berlangsung di masa lampau.
Teori di atas mendapat dukungan dari Sigmund Freud, yang menghubungkan déjà vu dengan teori alam bawah sadar. Seperti kita tahu, teori alam bawah sadar sering menggunakan ilustrasi “puncak gunung es” untuk menggambarkan kemampuan bawah sadar kita. Puncak gunung es yang terlihat kecil di atas laut adalah kesadaran kita, permukaan air adalah batas kesadaran, sementara bongkahan gunung es yang tak terlihat di bawah permukaan air adalah alam bawah sadar.
Bagi Freud, juga ilmuwan yang sepaham dengannya, sebagian informasi yang kita terima dalam hidup sesungguhnya tersimpan dalam alam/pikiran bahwa sadar, dan hanya sebagian kecil dari informasi tersebut yang benar-benar kita sadari. Prinsip itu menjadi sangat penting ketika mereka mulai menghubungkannya dengan fenomena déjà vu.
Jadi, bagi Freud dan kawan-kawannya, déjà vu akan terjadi ketika seseorang secara spontan teringat pada sebuah ingatan bawah sadar. Orang itu ingat pernah memiliki ingatan tersebut—karena tersimpan di bawah sadarnya—namun tak dapat menjelaskan perinciannya, karena isi ingatan itu tidak muncul akibat terhalang atau dihalangi pikiran sadar. Teori itu kemudian terbukti menjadi landasan bagi munculnya teori-teori berikutnya—yang mendukung ataupun menyangkalnya.
Seorang peneliti bernama Dr. Alan Brown, bersama koleganya, Elizabeth Marsh, mengadakan eksperimen untuk membuktikan bahwa déjà vu tidak berhubungan dengan masa lalu. Mereka mengumpulkan sekelompok pelajar, lalu menunjukkan album foto yang berisi gambar lokasi-lokasi berbeda, yang semuanya belum pernah dikunjungi para pelajar dalam objek penelitian tersebut.
Sebelum album foto itu ditunjukkan, mereka terlebih dulu menayangkan sebagian foto itu di layar, dengan kecepatan sekitar 10 sampai 20 milidetik. Kecepatan slide itu cukup bagi otak manusia untuk menyimpan informasi tersebut di bawah sadar, namun tidak cukup bagi para pelajar itu untuk menyadari dan menaruh perhatian sepenuhnya. Itu merupakan upaya pemberian sugesti kepada subjek penelitian.
Ketika kemudian album foto ditunjukkan, para pelajar tersebut merasa familier dengan beberapa foto yang sebelumnya telah ditayangkan tadi. Artinya, perasaan “familier” yang menyerupai déjà vu tersebut tidak berhubungan dengan masa lampau, meski sama-sama berhubungan dan berasal dari bawah sadar.
Eksperimen serupa juga pernah diadakan Larry Jacobi dan Kevin Whitehouse dari Washington University. Bedanya, mereka menggunakan sekumpulan kata-kata, bukan album foto. Namun hasil yang didapat sama dengan eksperimen Dr. Alan Brown di atas. Berdasarkan eksperimen-eksperimen itu pula, Dr. Alan Brown kemudian mengajukan sebuah teori yang disebut teori ponsel, atau perhatian yang terpecah.
Teori itu menyebutkan, ketika perhatian kita terpecah, otak kita akan menyimpan informasi mengenai kondisi di sekeliling, namun kita tidak benar-benar menyadarinya. Ketika perhatian kita mulai fokus kembali, segala informasi mengenai sekeliling kita yang tersimpan tadi akan terpanggil keluar, sehingga kita jadi merasa lebih familier. Berkaitan dengan teori alam bawah sadar, kenyataan ini seperti bongkahan es di kedalaman air yang naik ke permukaan.
Misalnya, kita memasuki sebuah gedung sambil asyik bercakap-cakap dengan seseorang. Perhatian kita pun tidak terfokus pada kondisi gedung itu, namun otak kita telah menyimpan informasi mengenai gedung tersebut di bawah sadar.
Ketika kita selesai bercakap-cakap, pikiran kita mulai terfokus, dan informasi yang tadi tersimpan di bawah sadar itu pun muncul. Seketika, kita mulai merasa familier dengan gedung itu. Artinya, berdasar teori ini, déjà vu tidak berhubungan dengan kejadian masa lampau yang telah berlangsung lama.
Upaya para peneliti untuk mengungkap fenomena déjà vu tak pernah berhenti.
Karena déjà vu tidak mungkin diciptakan dengan sengaja, sehingga sulit diteliti di laboratorium yang steril, mereka pun kemudian menciptakan simulasi yang diusahakan mirip dengan fenomena déjà vu.
Kenneth Peller dari Northwestern University, misalnya, menemukan cara sederhana untuk menanamkan “ingatan palsu” pada seseorang—yang ia anggap sebagai asal usul déjà vu. Ilmuwan tersebut mengumpulkan sejumlah partisipan untuk menguji teorinya.
Pada para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang berbeda dalam benak mereka. Beberapa gambar itu sengaja dibuat secara khusus untuk percobaan tersebut, sehingga benar-benar baru dan belum pernah disaksikan siapa pun, khususnya para partisipan.
Setelah hal di atas dilakukan berulang-ulang, para partisipan kemudian diminta untuk memilih gambar-gambar yang benar-benar mereka lihat dan gambar-gambar yang hanya mereka bayangkan. Ternyata, gambar-gambar yang hanya mereka bayangkan sering kali diklaim benar-benar mereka lihat.
Hal itu terbukti karena mereka mengklaim pernah melihat gambar-gambar khusus, yang sebenarnya baru dibuat untuk tujuan percobaan itu. Karenanya, berdasarkan uji coba ini, déjà vu mungkin terjadi secara kebetulan, karena sebuah peristiwa dialami seseorang secara serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.
Kemudian, Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds, juga menciptakan simulasi serupa untuk mengungkap fenomena déjà vu. Kali ini mereka menggunakan praktik hipnosis. Mula-mula, para partisipan yang dikumpulkan diminta mengingat sederet daftar kata-kata. Setelah itu mereka dihipnotis agar “melupakan” daftar kata-kata tersebut.
Ketika kemudian para partisipan itu disodori daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka menyatakan adanya sensasi yang serupa atau mirip déjà vu, sementara setengahnya lagi sangat yakin yang mereka alami itu benar-benar déjà vu. Berdasarkan penelitian ini, déjà vu terkait dengan memori yang terganggu.
Upaya-upaya di atas, dan berbagai penelitian lain menyangkut déjà vu terus dilakukan, namun tetap belum dapat memperoleh jawaban pasti yang dapat disepakati semua pihak. Sampai kemudian, para ilmuwan mencoba mengambil sudut pandang lain mengenai fenomena tersebut, dengan mengaitkannya pada sensasi optik yang diterima mata manusia.
Bagi para ilmuwan terakhir, déjà vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu, daripada sensasi sama yang diterima sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familier pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat.
Jadi, berdasarkan teori ini, bisa saja terjadi salah satu mata kita melihat sesuatu sebelum mata yang lain. Satu mata yang telah melihat itu merekam kejadian tersebut. Kemudian, mata lainnya, yang merekam kejadian sama beberapa milidetik kemudian, membuat otak membuka ingatan.
Seiring dengan itu, salah satu mata merasakan sesuatu, dan otak mengartikannya. Mata lain yang tertinggal beberapa milidetik merasakan hal sama, dan mengirimkan gambar tersebut ke otak. Begitu otak memberikan gambaran yang sama beberapa milidetik kemudian, kita pun merasa telah melihat gambaran itu sebelumnya.
Teori yang kedengarannya rumit namun sederhana itu disebut optical pathway delay. Teori itu hampir dapat diterima sebagai penyebab munculnya déjà vu yang paling masuk akal, namun kemudian dipatahkan secara telak setelah peneliti lain menemukan bahwa orang yang hanya memiliki satu mata juga dapat mengalami déjà vu. Lebih dari itu, orang yang sama sekali buta juga dapat merasakan déjà vu, melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaan.
Meski teori optical pathway delay dianggap tidak mampu menjawab munculnya déjà vu, namun teori itu telah menuntun ilmuwan lain untuk menemukan teori lain yang lebih masuk akal, dan, sepertinya, dianggap sebagai salah satu teori terbaik menyangkut fenomena déjà vu.
Teori itu dilahirkan seorang peneliti bernama Robert Efron, dan menurutnya déjà vu berhubungan dengan cara otak kita menyimpan memori jangka pendek dan jangka panjang.
Pada 1963, Robert Efron menguji teorinya di Veteran Hospital di Boston, dan melahirkan kesimpulan bahwa respons syaraf yang terlambat dapat menyebabkan munculnya déjà vu. Hal itu disebabkan karena informasi yang masuk ke pusat pemrosesan di otak melewati lebih dari satu jalur.
Dalam penelitiannya, Efron menemukan bahwa lobus temporal di otak bagian kiri bertanggung jawab menyortir informasi yang masuk. Ia juga menemukan lobus temporal tersebut menerima informasi yang masuk dua kali dengan sedikit delay di antara dua transmisi. Informasi yang masuk pertama kali langsung menuju lobus temporal, sedang yang kedua kali mengambil jalan berputar melewati otak sebelah kanan terlebih dahulu.
Apabila delay yang terjadi sedikit lebih lama dari biasanya, otak akan memberikan catatan waktu yang salah atas informasi tersebut, dengan menganggap informasi tersebut sebagai memori masa lalu. Dari situlah kemudian seseorang mengalami déjà vu. Seperti yang disebutkan di atas, teori inilah yang—setidaknya sampai saat ini—dianggap sebagai teori terbaik dalam menjawab fenomena déjà vu.
Berdasarkan teori Efron pula, seorang neuroscientist MIT, bernama Susumu Tonegawa, melakukan percobaan lebih jauh untuk semakin memahami fenomena déjà vu. Dia membiakkan sejumlah tikus yang memiliki dentate gyrus—suatu bagian kecil dari hippocampus—yang tidak berfungsi normal.
Dentate gyrus diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indera untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi itu akan “didaftarkan” sebagai pengalaman baru, dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.
Menurut Tonegawa, tikus normal memiliki kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal, diketahui mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama.
Hal ini, menurut Tonegawa, dapat menjelaskan mengapa pengalaman déjà vu meningkat seiring bertambahnya usia, atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer—kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus—sehingga menjadikan pelakunya sulit menentukan apakah sesuatu “baru” atau “lama”.
Dari berbagai teori di atas, kita telah mendapatkan cukup banyak pandangan yang mungkin dapat dianggap paling layak dan masuk akal yang melatarbelakangi munculnya déjà vu. Seperti yang telah disebutkan pula, teori paling akhir yang dianggap terbaik bagi para peneliti, dan mereka sepertinya akan memegangnya terus sebagai penyebab déjà vu... kalau saja tidak muncul fenomena baru yang jauh lebih mencengangkan.
Chris Moulin, seorang psikiater dari University of Leeds, Inggris, menemukan kasus déjà vu yang benar-benar sulit dinalar akal sehat. Dia mendapatkan beberapa pasien yang sering mengalami déjà vu, namun dapat menjelaskan secara rinci bahkan detail atas peristiwa-peristiwa yang (sebenarnya belum pernah) terjadi—jauh berbeda dengan pengalaman déjà vu seperti yang kita kenal selama ini.
Para pasien itu ada yang merasa tidak perlu menonton suatu acara televisi, karena “merasa” telah menontonnya. Yang jadi masalah, orang itu dapat menjelaskan secara jelas dan rinci acara televisi itu—padahal acara itu baru satu kali dan pertama kali ditayangkan, sehingga mustahil dia pernah menonton atau menyaksikannya.
Yang lebih parah lagi, pasien lain bahkan ada yang merasa sia-sia telah menemui Chris Moulin untuk berkonsultasi, karena dia menganggap “pernah” bertemu psikiater itu sebelumnya, dan telah mendapatkan semua jawaban yang sekarang didengarnya!
Hmm... ada yang mau menambahkan?