Apa Hubungan Wabah Corona Covid-19 dengan Perceraian?
https://www.belajarsampaimati.com/2020/05/hubungan-wabah-corona-covid-19-dengan-perceraian.html
Ilustrasi/istimewa |
Permintaan perceraian para pasangan suami istri itu terjadi sejak 1 Maret lalu, dan mencapai puncak pada 4 Maret—waktu-waktu ketika Tiongkok mulai bisa mengatasi wabah Corona di negaranya.
Apa kaitan wabah Corona, khususnya di Tiongkok, dengan meningkatnya jumlah perceraian?
Selama ini, kita mungkin sering mendengar bahwa penderitaan bersama bisa merekatkan dua orang. Tapi kita mungkin belum mendengar lanjutannya, bahwa kerekatan di antara dua orang bisa menimbulkan dampak tak terduga, yang mungkin tidak kita inginkan.
Ketika wabah Corona melanda, pemerintah Tiongkok melakukan kebijakan lockdown, selama sekitar sebulan. Karena kebijakan itu, semua orang harus berada di rumah, tidak bisa bebas berkeliaran seperti sebelumnya. Yang semula biasa berangkat kerja pagi dan pulang saat petang, kini 24 jam berada di rumah. Artinya, pasangan suami istri akan terus bersama, dari bangun tidur sampai akan tidur lagi, bahkan saat sama-sama tidur.
Kondisi itu menciptakan “kedekatan” yang semula mungkin tidak ada pada banyak pasangan suami istri di sana. Di hari-hari sebelumnya, kebanyakan pasangan hanya bertemu sewaktu-waktu—tidak sampai 24 jam.
Bisa jadi, si suami (atau juga si istri) meninggalkan rumah untuk bekerja, dan baru pulang sore hari, sehingga suami dan istri bisa memiliki waktu luang untuk sendirian di tempat masing-masing. Usai kerja, mereka baru bertemu kembali di rumah, dalam keadaan letih. Mereka hanya bersama dari pulang kerja sampai waktu tidur. Dan esok hari mereka kembali berpisah, seperti biasa, sampai ketemu lagi sepulang kerja.
Lalu muncul wabah Corona, dan mereka harus bersama di dalam rumah, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Akibatnya, pertemuan mereka pun sangat intens. Kondisi itu mungkin terdengar ideal, kalau kita membayangkan bahwa kini pasangan suami istri bisa terus bersama, tidak lagi saling terpisah gara-gara berangkat kerja.
Di satu sisi memang iya. Tetapi, di sisi lain, kondisi kedekatan semacam itu akan memudahkan timbulnya gesekan. Jika sebelumnya waktu pertemuan mereka terbatas, kini tak lagi terbatas, karena terus bertemu. Dan ketika gesekan terjadi, mereka tidak bisa lagi “melarikan diri” seperti sebelumnya, karena mau tak mau harus terus berada di rumah. Hal itu, ditambah tekanan akibat wabah Corona, bisa jadi menyebabkan sumbu emosi mereka memendek, dan mudah meledak. Lalu konflik terjadi.
Di hari-hari biasa, mereka mungkin bisa mengatasi konflik yang terjadi dalam keseharian dengan mendiamkannya, lalu api amarah masing-masing akan mereda seiring waktu. Hal itu bisa dilakukan, karena mereka akan terpisah ketika salah satunya atau keduanya berangkat kerja. Ada waktu-waktu ketika mereka sendirian, sehingga tercipta jarak di antaranya keduanya.
Namun, dalam kondisi lockdown akibat wabah Corona, yang mengharuskan mereka terus bersama tanpa henti, amarah sulit padam, dan emosi mereka kian sulit dikendalikan, karena terus menerus “bergesekan” dengan subjek yang menjadikan mereka marah dan menciptakan konflik. Hasilnya, sebagaimana yang kemudian terjadi, tingkat perceraian meningkat tajam.
Jarak dibutuhkan di antara masing-masing manusia, termasuk suami istri, terlepas bagaimana kita mengartikannya. Karena jarak memungkinkan masing-masing orang saling menjaga dan menghormati, dan ketiadaan jarak sering kali menghilangkan respek.
Dua psikolog, Rob Pascale dan Lou Primaver, Ph.D, menulis di Psychology Today, bahwa kunci penting dalam pernikahan adalah menjaga keseimbangan. “Seimbang itu adalah gabungan dari waktu yang kita habiskan bersama teman dan keluarga, waktu bersama pasangan, dan waktu terpisah untuk diri sendiri. Hal itu dipercaya bisa meningkatkan kualitas pernikahan.”
Hmm... bagaimana menurutmu?