Apakah Hidup Ini Adil?
https://www.belajarsampaimati.com/2020/05/apakah-hidup-ini-adil.html
Ilustrasi/gettyimages.com |
Seseorang percaya bahwa hidup ini adil, dan dia tentu berhak punya kepercayaan seperti itu. Wong itu kepercayaan pribadinya.
Sebaliknya, seseorang yang lain percaya hidup ini tidak adil, dan sekali lagi dia juga punya hak atas kepercayaan itu. Wong itu juga kepercayaan pribadinya.
Kepercayaan pribadi sudah masuk ranah privasi orang per orang, dan, biasanya, hal itu terkait dengan kehidupan pribadinya, serta hal-hal yang ia hadapi.
Jadi, apakah kau percaya hidup ini adil... atau tidak? Terserah, wong itu kepercayaan pribadimu. Tetapi, ada baiknya pula, kita meluangkan waktu untuk memeriksa apakah kepercayaan kita benar, atau keliru.
Saya kadang memikirkan persoalan “keadilan” ini dengan membandingkan hal-hal remeh dan sederhana. Misalnya, kaitan antara input dan output. Adil itu kan seimbang, tidak berat sebelah, atau sebanding. Jadi, sesuatu bisa disebut adil, jika input dan output seimbang. Jika salah satunya timpang, atau tidak seimbang, anak SD pun akan bilang itu tidak adil.
Contohnya begini.
Ada orang yang punya hobi makan. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, dia terus makan atau ngemil apa pun. Kalau jalan-jalan ke mana pun, hal pertama yang ia cari pasti makanan. Isi media sosialnya adalah foto-foto makanan. Apalagi isi kulkasnya. Pokoknya, bagi orang ini, hal penting di muka bumi hanyalah makanan.
Kalau orang seperti itu mengalami kelebihan berat badan, kita tentu sepakat bahwa itu hal wajar. Namanya juga orang hobi makan. Iblis di dasar neraka juga akan sepakat bahwa itulah keadilan. Karena banyak makan, maka mengalami kelebihan berat badan. Adil. Seimbang. Input dan output-nya setara.
Tapi juga ada kasus aneh. Ada orang yang makannya sedikit, atau sewajarnya, seperti orang-orang lain umumnya. Meski begitu, dia juga mengalami kelebihan berat badan. Tak peduli dia berusaha mati-matian mengurangi makan, tetap saja badannya melar. Biasanya, orang-orang semacam ini mengalami masalah berat badan bukan karena hobi makan, tapi karena faktor gen atau keturunan.
Terlepas apa pun penyebabnya, kita sepakat itu kondisi yang tidak ideal. Wong makan sudah dikurang-kurangi, badan tetap saja melar. Kalau orang semacam itu mengeluh hidup ini tidak adil, rasanya wajar-wajar saja. Kita pun tentu akan mengeluh kalau makan sedikit tapi badan melar tak karuan. Input dan output-nya tidak seimbang.
Masih soal makan. Ada pula orang-orang yang kurus karena memang jarang makan, terlepas apa pun alasan dan latar belakangnya. Kondisi semacam itu juga wajar. Karena kurang makan, tubuh jadi kurus. Input dan output seimbang.
Yang aneh, ada orang-orang yang makannya banyak, atau makan wajar seperti umumnya orang lain, tapi badannya tetap kurus. Sialnya, saya termasuk dalam golongan ini. Mau makan sebanyak apa pun, saya tetap saja kurus. Saya bahkan pernah mendapati berat badan saya naik 5 kilo di timbangan, tapi kondisi badan saya ya tetap gitu-gitu aja, seperti tidak ada penambahan berat sama sekali!
Makan banyak, tapi tubuh tetap kurus, saya pikir itu kondisi yang tidak adil. Karena input dan output-nya tidak seimbang.
Melalui ilustrasi sederhana itu, kita mulai melihat bagaimana konsep adil dan tidak, yang biasa muncul dalam pikiran orang per orang.
Kalau seseorang makan sedikit tapi badannya melar tak karuan, dan dia mengeluh hidup ini tidak adil, sepertinya ya wajar. Karena nyatanya dia memang menghadapi “ketidakadilan” terkait kondisinya.
Sebaliknya, kalau orang makan banyak dan badannya melar, lalu dia mengeluh hidup ini tidak adil, kita pun tahu bahwa yang salah adalah dirinya, atau cara berpikirnya. Bukan hidup yang tidak adil, tapi cara berpikirnya yang keliru.
Jadi, apakah hidup ini adil... atau tidak? Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan itu tergantung pada kehidupan yang dijalani orang per orang, serta cara berpikirnya. Karena kenyataannya hidup setiap orang memang berbeda, dan kita tidak pernah tahu apa saja yang telah dihadapinya. Kehidupan, dan hal-hal yang dihadapi serta dialami, ikut membentuk cara berpikir kita.
Dalam kehidupan, urusan makan hanya satu hal. Ada hal-hal lain yang juga kadang, atau bahkan sering, menjadikan orang berpikir hidup ini adil atau tidak.
Urusan kerja, misalnya. Ada orang-orang yang mendapat penghasilan setara dengan hasil kerjanya. Dalam ilustrasi sederhana, semakin banyak dia kerja, semakin banyak pula penghasilannya. Sekali lagi, dalam ilustrasi sederhana, hal semacam itu bisa dibilang adil. Orang mendapat sebanyak usaha yang ia keluarkan. Input dan output-nya seimbang.
Tapi ada juga orang-orang yang menghadapi “ketidakadilan”. Misalnya, kerja sudah habis-habisan, siang malam, tapi hasilnya tetap sedikit. Hasil kerja hari ini hanya bisa dipakai makan satu hari, bahkan kadang kurang. Di sisi lain, ada orang yang kerjanya cuma sebentar, tapi penghasilannya bisa dipakai hidup hingga sebulan, bahkan lebih.
Urusan kerja tentu tidak sesederhana urusan makan, dan bisa jadi ini bukan perbandingan yang setara. Tetapi, melalui ilustrasi ini, setidaknya kita bisa memahami kenapa ada orang-orang yang mengatakan hidup ini adil atau tidak.
Nyatanya memang ada orang baik, dan orang jahat. Ketika orang-orang baik menciptakan sesuatu, biasanya mereka akan berpikir demi kebaikan, untuk kemaslahatan orang banyak. Sebaliknya, ketika orang-orang jahat menciptakan sesuatu, biasanya mereka akan berpikir demi kejahatan, atau minimal demi kemaslahatan (keuntungan) diri sendiri.
Orang baik menciptakan sistem, orang jahat juga menciptakan sistem. Sistem itulah yang kemudian ikut mempengaruhi kehidupan secara luas, hingga berdampak pada kehidupan orang-orang lain dalam jumlah tak terbatas, dan orang-orang terdampak itulah yang pada akhirnya akan berpikir hidup ini adil atau tidak.
Yang salah, pada akhirnya, bukan hidup. Tapi sistem.
Dan yang disebut sistem bisa apa saja. Dari sistem pemerintahan, sistem perusahaan, sistem kemasyarakatan, sampai sistem keyakinan.
Perusahaan bisa dibangun dengan sistem yang baik, menguntungkan semua pihak yang terlibat, dari komisaris sampai cleaning service. Tetapi, perusahaan juga bisa dibangun dengan sistem yang buruk, hanya menguntungkan segelintir pihak, dan sisanya menjadi sapi perah. Begitu pun sistem pemerintahan hingga sistem keyakinan.
Hidup mungkin baik-baik saja, dan tanah tetap menumbuhkan benih yang kita tanam; biji mangga tidak pernah menumbuhkan pohon durian, dan itulah keadilan.
Masalahnya tentu bukan di situ.
Masalahnya adalah sistem yang dibuat manusia, dan sistem itu lalu mempengaruhi kehidupan secara luas, berdampak pada orang-orang nyaris tanpa batas, hingga tanpa sadar kita menganggap sistem itulah hidup.
Adil, pada akhirnya, bukan sama rata, tetapi sama rasa.
untuk urusan makan banyak tapi ga gendut2, aku pernah mengalami saat kuliah
BalasHapustapi sekarang? tidak lagi, makan dikit langsung ada efeknya, ditambah lagi jika aku ga kepikiran apa2, slow mikir, cepet naik
tapi kalo pas lagi stres, ada projek yang harus cepat selesai dalam waktu dekat, kurus lagi
meskipun makannya banyak, tetap kurus, bahkan waktu kuliah beratku cuma 51 kg
saat ini? sudah naik 65 kg :D
mungkin, bisa jadi kamu banyak deadline, jadi ga gendut2
Kalau menurut teman-temanku (dan juga berdasar pengalaman mereka), penambahan berat badan mulai terjadi kalau sudah nikah. Mungkin karena sejak itu jadwal makannya lebih teratur (ada yang mengingatkan kalau-kalau lupa belum makan). Kalau aku sendiri ya emang sering lupa makan sih. :smile:
Hapus